Minggu, 06 September 2015

Ojek Online, Ilegalkah?

Online. Online itulah kenyataan pada zaman sekarang. Pada zaman teknologi canggih seperti ini online sudah menjadi rutinitas hidup. Bahkan sudah menjadi sebuah kebutuhan. Sekarang jikalau disuruh memilih lebih baik ketinggalan telepon genggam atau dompet, pastilah menjadi pilihan sulit. Iya, pada era teknologi banyak hal yang dapat dilakukan hanya dengan genggaman tangan, ya jelas melalui telepon pintar atau gadget masing-masing. Bahkan yang sedang up to date adalah fenomena ojek online. Ojek memang sudah menjadi bagian dari Kota Jakarta. Saat butuh kecepatan dan terjebak dalam kemacetan, ojeklah yang dipilih sebagai solusi.

Ya, gojek begitulah sebutannya. Berkeliaran tak mengenal waktu dari pagi, siang, sore, malam. Sebenarnya gojek sudah ada sejak tahun 2011, saat itu seorang anak negeri lulusan Universitas Harvard mendirikannya sebuah perusahaan transportasi. Namun, pada saat itu gojek belum begitu dikenal. Menurutnya, pemesannya atau penggunanya pun hanya terbatas kalangan sendiri tidak begitu banyak. Pada era tersebut, gojek menggunakan sistem call center, jika mau memesannya. Memang agak sedikit ribet dan tidak efisien. Pada tahun 2015 inilah gojek disempurnakan, melalui aplikasi bisa digunakan melalui telepon pintar masing-masing orang. Ya dengan berkembangnya teknologi perusahaan ini pun juga mengikutinya. Kini tak perlu ke pangkalan atau melalui call center untuk memesan gojek, hanya dengan memencet aplikasinya gojek pun tiba. Tak perlu waktu lama.  Dengan promo menarik, akhirnya gojek pun dapat tempat di hati para konsumen.



Namun, bukan cuma pengguna gojek saja yang ramai. Orang yang mau menjadi driver gojek pun juga ramai peminat.  Ternyata penghasilan menjadi pengemudi gojeklah yang menarik minat banyak orang. Berita mengenai penghasilan fantastis menjadi pengemudi gojek tersebar melalui mulut ke mulut. Tak hanya itu beberapa media online pun ramai memberitakan penghasilan fantastis ketika menjadi pengemudi gojek. Namun, benarkah yang selama ini diberitakan media tentang penghasilan yang fantastis. Atau ini hanya akal akalan pihak gojek untuk propaganda perusahaannya. Karina, salah seorang driver gojek wanita sudah membuktikannya sendiri “kata orang banyak banget berita kalau penghasilan gojek itu gede.  Saya sih pribadi selama jadi driver gojek ngebuktiin sendiri bisa lebih cepet dibanding kerja kantoranlah.  Jadi sistem pembagian penghasilannya delapan puluh dua puluh. Delapan puluh untuk driver, dua puluh untuk perusahaan.” Para pengguna juga terbantu dengan adanya gojek ini, beberapa berpendat gojek aman dan nyaman.

Gojek mengklaim, pihaknya membuka lapangan pekerja baru. Selain itu, juga mengklaim meningkatkan taraf kehidupan tukang ojek. Tapi, apa buktinya? Driver gojek bukanlah yang tadinya tukang ojek. Hanya sebagian saja. Sebagian lagi karyawan sebuah perusahaan. Bahkan ada seorang manajer sebuah restoran yang masih menjabat. Lantas, inilah yang rawan menimbulkan konflik. Seolah gojek mengintimidasi ojek yang sebelumnya sudah ada. Ojek pangkalan menganggap gojek merebut pangsa pasar. Apalagi gojek mematok harga yang jauh di bawah harga pasar. Inilah yang menimbulkan persaingan tidak sehat. Akhirnya di beberapa tempat ada penolakan terhadap ojek online.



Sayangnya dibalik itu semua ada sedikit yang terabaikan. Entah benar, atau tidak gojek illegal? Saat ini, pemerintah belum punya regulasi yang jelas tentang keberadan gojek. Bahkan beberapa stakeholder terkait menganggap keberadaan gojek sebagai angkutan penumpang melanggar undang undang, menurut Ketua Organda DKI Jakarta, Shafruhan Sinungan, gojek melanggar undang undang nomer 22 tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan. Menurutnya, dalam undang undang tersebut tertulis, kendaraan roda dua bukanlah angkutan umum. Lantas bagaimana dengan ojek konvensional yang sudah ada sejak dulu keberadaannya?!  Jadi tak hanya ojek online yang harus dibuat regulasinya oleh pemerintah ojek konvensional juga. Selama pemerintah tidak membuat regulasi tentang motor sebagai sarana angkutan umum.

Ojek online dan ojek konvensional ILEGAL. Kalau tidak dibuat regulasinya bisa anda bayangkan betapa banyak ojek online akan bermunculan. Saat ini memang baru 2 operator ojek online, yaitu gojek dan grabike. Tapi tidak menutup kemungkinan akan bertambah melihat pangsa pasar yang masih terbuka. Lantas, apa jadinya misalnya ada 10 operator ojek online di Jakarta, katakanlah tiap operator mempunyai sepuluh ribu armada motor. Terbayangkan sudah seperti apa Jakarta
jadinya (Leonardus Kelvin)

Selasa, 01 September 2015

Mental Maps

Siapa sih yang sekarang tidak mengenal GPS? Tiap orang yang memiliki smartphone pasti punya fitur GPS di HPnya. Udah ga perlu nanya orang lagi donk ya karena tempatnya udah ada GPS di hapenya. Ada juga aplikasi di Whatsapp yang tinggal send location ke orang yang akan ditemui. Ikutin jalan yang ada di GPS pada handheld atau handphone dan taraaaa sampailah pada lokasi yang dituju. Lalu bagaimana jika di GPS tiba-tiba jalan keputus dan tidak ada jalan? Padahal realnya ada? gak ada orang yang ditanya? dan kesasarlah basa kerennya. Bingung kan, hehehehehe :D

Saya sendiri masih agak geli ketika membaca berita di Okenews yang mobil masuk jurang gara-gara ngeliatin jalan di GPS. Entah orangnya terlalu ngeliatin GPS sehingga jalannya lupa diliatin atau memang  dia ngikutin jalan di GPS tapi ternyata depan adalah jurang saya tidak tahu. Yang jelas, bagi penilaian subjektifitas saya sendiri banyak orang (meski gak semuanya) sudah salah kaprah dalam menggunakan fitur GPS di hp. Menganggap GPS itu bak dewa yang tau segala jalan sehingga perlu diikuti terus. Apalagi yang namanya routing, (di handheld ada aplikasi yang menunjukkan harus lewat jalan mana saja ketika menuju suatu tempat) GPS pasti akan mencari yang namanya jaringan jalan terdekat. Gak peduli disitu jalan menyempit, jalan searah atau tidak, bahkan pengalaman saya dulu tegalan di tengah sawah terpampang dengan jelas di GPS itu jalan. Akhirnya saya muter lagi sampai ketemu orang dan nanya orang baru deh jalannya bener.

Sebenarnya tipe GPS ada banyak cuman disini saya hanya akan membahas yang ada di hape. Hal yang sangat saya camkan dikepala saya ketika memulai menggunakan gps,

1. Jangan Pernah Percaya Gadget
Gadget itu hanya sebuah alat. Untuk dikota-kota besar, GPS di gadget masih sangat bisa diandalkan. Jika sudah masuk daerah terpencil, jangan pernah sekali-kali percaya yang namanya GPS. Karena google maps yang ada di android, itu hanya interpretasi gambar dari satelit. Seperti cerita saya diatas ada yang tegalan di sawah digambar sebagai jalan di maps di GPS. Jadi, jangan pernah percaya 100% pada alat.

2. Selalu orientasi dimana anda berdiri
Ketika menggunakan maps di android, jika terlihat di gambar ada sebuah jembatan beberapa ratus meter sebelum dilewati usahakan lihat di realnya apakah ada jembatan disitu. Atau bisa juga bangunan sekolah kalau memang tergambar di maps, atau apapun yang tergambar. Usahakan anda selalu tahu dan mengenali ada apa dan bagaimana tempat anda berdiri.

3. Usahakan selalu bertanya pada orang lokal jika ragu
Nah ini yang sering dilupakan orang. Bukankah ada peribahasa "malu bertanya sesat dijalan?". Orang lokal lebih mengerti jalan yang mereka lalui dibanding GPS. Maka, silahkan camkan itu dikepala masing-masing.

Bagi saya dan teman-teman di Geografi, GPS hanya sebuah tools untuk memudahkan sebuah perjalanan. Bukan mutlak sebagai penunjuk arah dan harus terus dianut. Ada istilah di antara kami yang namanya mental maps. Ketika kami ragu dengan tools yang digunakan, kami akan orientasi dimana kami berdiri sekarang. Ada apa di kanan kiri, depan belakang, arah mata angin, bahkan bertanya pada orang pun akan kami lakukan untuk mengetahui dimana dan apa saja ditempat kami berdiri. Dan salah satu dari kami ada yang kesasar, pasti akan jadi bahan bully dan ceng-cengan karena memang sejak pertama kali kami kuliah mental maps harus sudah dipelajari disini. Sekian sampai ketemu di tulisan berikutnya (Adipta Widha)

Selasa, 25 Agustus 2015

Peran Geologi dalam Sistem Hidrokarbon dan Tantangan Migas Indonesia

Ini adalah paper sederhana dari Andipa Damatra, mahasiswa S2 jurusan Petroleum Geology Universitas Gajahmada Yogyakarta. Berdasarkan data-data yang dipaparkannya lewat paper sederhana ini maka di Indonesia masih sangat memiliki potensi migas yang besar. Dari 66 cekungan sedimen hanya sekitar 18 cekungan yang berproduksi hal ini dapat dimanfaatkan oleh pemerintah maupun investor untuk menggali potensi migas di Indonesia. Diperkirakan cadangan migas di Indonesia sekitar 222 milyar barel.


Berikut abstrak dan link untuk mendownload:

ABSTRAK

Minyak dan gas bumi di Indonesia merupakan sumber daya yang memiliki peranan penting. Lebih dari 50% energi yang digunakan di Indonesia berasal minyak dan gas bumi. Namun disisi lain sumberdaya ini merupakan sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui yang akan abis sewaktu-waktu karena pembentukannya membutuhkan waktu yang sangat lama. Untuk itu dibutuhkan pengendalian yang baik dan bertanggung jawab oleh seluruh komponen di Indonesia. “Pengendalian migas di Indonesia tidak hanya tergantung pada kondisi politik, sosial, dan ekonomi namun yang paling penting adalah kondisi geologi” (Satyana, 2013). Pada tulisan ini dibahas secara umum peranan geologi dalam sistem hidrokarbon di Indonesia, potensi migas, dan tantangan migas di Indonesia. 

Download paper PDFnya DISINI

Tamatnya Kampung Pulo

Pemerintah Provinsi Jakarta nampaknya serius ingin membenahi masalah ibu kota. Masalah yang lama ingin dibenahi adalah banjir. Iya banjir. Kalau berbicara banjir di jakarta pastilah tidak lain tidak bukan akan menuju ke sebuah daerah di Jakarta Timur. Kampung Pulo. Iya Kampung Pulo. Kampung Pulo adalah permukiman yang letaknya persis di sepadan ciliwung. Jumlahnya bukan main. Menurut, Ika Lestari Aji, Kepala Dinas Perumahan dan Gedung Pemprov DKI Jakarta, ada 520 kepala keluarga di Kampung Pulo. Tentunya mereka tinggal jauh hari sebelum jakarta ada semenjak zaman kolonial. Jika dilihat dari sejarah, sejak zaman itu sungailah menjadi pusat. Semua kegiatan dilakukan di sungai. Mulai dari perdagangan sampai kegiatan rumah tangga. Tak hanya Jakarta, tapi jauh sebelum jakarta peradaban di Mesir, pun perkembangannya berawal dari pinggir Sungai Nil. Begitu pula di asia bagian selatan contohnya di India, lagi lagi sungai mempunyai peranan penting dalam terbentuknya permukiman yang akan menjadi sebuah kota. Kota-kota disana tumbuh di lembah Sungai Indus.

Selain faktor di atas, juga faktor jakarta menjadi metropolitan bahkan megapolitan inilah juga menarik orang untuk melakukan urbanisasi. Perkembangan Kota Jakarta tak terarah. Jakarta menjadi pusat segalanya bagi Indonesia, pusat ekonomi, pusat bisnis, dan pusat pemerintahan. Semua daya tarik jakarta yang megah dan menawan serta janji dan cerita sukses dari jakarta membuat tak sedikit orang ingin datang ke jakarta. Yang menjadi masalah adalah ketika seseorang tak mampu membeli atau membayar sewa untuk tinggal di kota. Sesuai dengan teori sewa tanah Von Thunnen yang mengatakan bahwa harga tanah di pusat kota jauh lebih mahal. Itulah akhirnya tanah kosong yang milik negara pun ikut disikat. Sebenarnya Belanda pun membangun Kanal Banjir Barat pasti mempunyai tujuan sendiri. Utamanya, untuk jalan air dari hulu ke hilir. Dari Bogor menuju Laut Jawa. Satu per satu hari demi hari tahun demi tahun berlalu, sampai terbentuklah seperti sekarang, Kampung Pulo dengan 520 kepala keluarga.



Siapa yang salah dengan adanya Kampung Pulo? Tentu kita tak harus mencari-cari masalah dalam masalah. Memang seperti yang dijelaskan di atas tadi, sungai memang menjadi pusat peradaban dan berkembangnya permukiman yang akan menjadi sebuah kota. Sekarang tinggal faktor persuasif dan psikologis orang yang tinggal dengan rumah horizontal ganti dengan vertical. Misalnya saja, faktor kedekatan dengan daerah asalnya. Pemerintah pun berfikir keras dan tau akan hal itu. Pemerintah sengaja memilih lokasi yang tak terlalu jauh dengan Kampung Pulo untuk membangun rusun, yang nanti akan menjadi relokasi bagi warga Kampung Pulo. Hanya berjarak kurang lebih 500 meter. Tentunya itu tak menyelesaikan masalah. Masalah yang paling utama adalah kebiasaan. Inilah yang tak mudah mengubah kebiasaan seseorang. Sebaiknya dalam 1-2 tahun ke depan pemerintah menyediakan dan membentuk semacam satgas pendamping untuk warga yang baru pindah di rusun. Dengan pindahnya seluruh warga Kampung Pulo ke rusun jatinegara, bisa dikatakan riwayatnya telah tamat. Di tahun kedepan takkan adalagi cerita Kampung Pulo kebanjiran. Tetapi lantas tak berarti tugas pemerintah selesai dalam menanganin banjir, masih banyak kampung lain dan masih ada tugas lain dalam mengatasi banjir. Yang terpenting adalah nantinya sepadan sungai yang sudah bersih dari penduduk jangan sampai menjadi permukiman lagi. Dan pengawasan serta perawatan rusun-rusun yang menjadi tempat relokasi. Buat warga menjadi kerasan dan betah sehingga lupa akan kebiasaan lamanya (Leonardus Kelvin)

Sabtu, 22 Agustus 2015

Bandung: Catatan Dari Bukit

Jepretan kota Bandung setahun yang lalu dari atas bukit Dago Pakar saat adik masih kuliah disana. Sekarang dia sudah hijrah ke Semarang dan saya pun jadi minim jalan-jalan ke kota ini lagi. Masih membekas di ingatan kaki yang pegal menggelandang ke Pasar Baru hanya dengan tujuan membuat custom jeans, ikut jaga malam di RS Hasan Sadikin, Makan soto di Ganeca ditemani hujan deras dan angin dingin, juga ngobrol di emperan Unpad atau sekedar minum yoghurt gerobakan di emperan parkir ITB. Pernah pula nyamar kuliah sebagai mahasiswa Unisba sampai hampir ketahuan dosennya.



Barangkali kenangan itu semacam kepulan asap bohem mojito dini hari yang akhirnya melesat ke udara di atas kursi kayu sambil menunggu matahari terbit dari atas bukit ini. Seperti di Tegal, Bandung mencapai puncak indahnya saat malam hari (Budi Mulyawan)

China dan Akuisisi

The world is flat kata Friedman, negara tanpa batas telah terjadi semenjak era pemborongan modal. Siapa yang kuat modalnya dia yang bertahan dan siap melakukan akuisisi. Dalam hal ini China adalah negara paling cerdik dengan akuisisinya sampai perusahaan kelas besar Jepang seperti Sony, Panasonic, Sharp nyaris wassalam ditengah perang persaingan produk informasi dan teknologi (dengan istilah The Death Samurai) karena budaya perusahaan mereka yang didominasi "kaum tua" yang sukar berinovasi.

Di benua Amerika mereka membuat geger lewat Lenovo, salah satu perusahaan IT china memakan saham IBM Amerika sebagai alat dalam aliansi raksaksa IT dunia yang membuat nama Lenovo berkibar. Mereka hampir saja memakan Blackberry kalau saja pemerintah Canada tidak mencegah pembelian saham oleh Lenovo karena faktor keamanan. Google juga telah menjual Motorolla ke Lenovo. Tidak tanggung-tanggung, pabrik jet Goldman Sachs juga terkena akuisisi mereka. Hummer, mobil yang dibanggakan USA nyaris menjadi milik China. Transaksi ini batal karena pemerintah Amerika tidak rela saham hummer berpindah tangan, mereka sampai melikuidasi brand mobil ini. Eropa juga mereka tidak ketinggalan mereka goncangkan. Info terbaru yang saya dengar mobil legendaris Itali De Tomaso dibeli sahamnya dibawah harga standar oleh china juga ban Pirelli Italia sudah mereka borong sahamnya. Dan baru tahu juga saham volvo sekarang dibeli dari Ford oleh Geely, perusahaan mobil China. Di London, ada tower building legendaris yang sudah dibeli oleh perusahaan Asuransi dari China.

John Holland, perusahaan asal Australia beberapa tahun kebelakang diborong sahamnya oleh CCCC (China Communications Contruction Company) karena kesulitan permodalan sekalian pula saham peternakan sapi-sapi disana. Ampli gitar favorit kami seperti Orange dan Hughes Kettner sepertinya jangan harap langsung produksi dari Inggris atau Jerman karena pabriknya sudah dihandle china. Eropa, Amerika tidak lama lagi akan benar-benar runtuh karena kunci hidup dari China adalah selalu bersedia membuat replika/antitesis suatu produk tidak seperti benua lain yang mengandalkan pencitraan kualitas belaka. Dalam proses akuisisi mereka siap tempur tak kenal menyerah. Pada awal replika mereka ditertawakan dan sekarang mereka balik menertawakan dunia. China yang komunis kini sangat menikmati menjadi liberal (Budi Mulyawan)

Jumat, 21 Agustus 2015

Toponimi Indonesiaku

Penamaan tempat baik berupa satuan ruang politik tersempit  sampai terbesar (dari desa-kecamatan-kabupaten/kota-provinsi- bahkan negara merujuk lokasional relatif. Lokasional yang relatif sebagai orientasi keberadaan suatu ruang bagian permukaan bumi terhadap ruang-ruang lain di sekitarnya yang dikenali. Lain dengan lokasional absolut yang diwakili oleh koordinat titik (dari berbagai sistem proyeksi matematis permukaan bumi). Apa yang mau di bahas dalam tulisan ini, bukan toponimi sebagai bagian ilmu pengetahuan penamaan tempat dan seluk-beluknya, namun realitas penamaan tempat yang ditemukan di berbagai tempat ruang muka bumi di Indonesia.

Sebagai warga negara Indonesia, siapa yang tidak kenal Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat ? apalagi bagi penduduk yang bermukim di pulau Jawa. Sampai tahun 2000 M (ditandai munculnya provinsi Banten), sebagai realitas implementasi toponimi ‘kein problem’ alias ‘ora popo’. Seorang anak SD kelas 5 bertanya; kang Jowo Kulon iku Banten yo?  Jajalen wangsulono dewe. Paling muncul kata-kata “waduh” piye iki, opo meh nggoblokake gurune? Opo meh disentlik wae bocah kue ngajine ora bener?

Kasus seperti anak SD kelas 5 ini, mengapa jadi demikian pemahamannya? Apa dia salah dengan kalimat pertanyaannya? Apa pernyataan dalam pertanyaannya benar? Wansulono dewe. Paling enak pertanyaan anak SD itu diarahkan kepada Gubernur Jawa Barat, ya ng? Biar Gubernur Jawa Barat bingung, kumaha iey? “Padahal Banten dulunya tergabung dalam provinsi Jawa Barat, kenapa sekarang Jawa Barat yang masuk Banten” gubernurnya ngremeng dewe. #$^@# .....Jowo Kulon iku Banten? *&)&^%.  Coba terka apa tindakan realita politik sekarang gubernur Jawa Barat; “kumpulkan DPRD TK I, nama provinsi Jawa Barat harusnya di ganti sejak tahun 2000, dan saya gubernurnya bukan yang di KPK-kan”, semoga gub. Jawa Barat tidak nyusul ke ruang KPK. Terkaan kedua realita sejarah politik  “yo wis ben lah, memang dulunya bagian Bantani”

Kepolosan pertanyaan anak SD kelas 5, perlu dijawab dengan tegas dan benar. Jawabannya setengah jelas “Ya pulau Jawa Bagian Barat “banget” itu sekarang menjadi provinsi Banten”. Tentu anak SD itu tidak puas. “Kalau begitu, provinsi Jawa Barat di mananya pulau Jawa?” “provinsi Jawa Barat bukan di bagian pulau Jawa bagian arat?” Coba jawab dengan nalar geografi.  Kalau di jawab dengan kalimat “Letak provinsi Jawa Barat itu di baratnya Jawa Tengah dan di timurnya provinsi Banten”. Ini yang jawab masih sabar. Anak SD itu takon maneh “Kenapa namanya Jawa Barat”. Gurunya mulai cari kambing hitam “Siapa sih dulu yang menamai provinsi ini dengan toponimi “Jawa Barat”? paraaaah.

Ituah letak permasalahan yang mungkin timbul akibat pemekaran dewasa ini dengan penamaan tanpa berfikir toponimi itu penting. Hal itu di masa yang akan datang mungkin dihadapi oleh ruang-ruang muka bumi dengan toponimi “Asal” bisa terjadi untuk Jawa Tengah, Jawa Timur yang mengalami pemekaran. Pada level wilayah provinsi di pulau Sumatera ada potensi untuk Sumatera Barat, Sumatera Selatan dan Sumatera Utara. Untuk Pulau Kalimantan potensi yang terjadi pada toponimi Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah dan yang baru Kalimantan Utara. Khususnya untuk kalimantan nama yang tersisa: Kalimantan Tenggara, Kalimantan Barat Daya, Kalimantan Timur Laut dan Kalimantan Barat Laut. Permasalahannya apa dengan 8 nama itu pemekaran sudah final apa final di 5 nama provinsi yang ada sekarang (tengah, timur, selatan, barat dan utara). Begitu juga untuk pulau Sulawesi pada level wilayah provinsi lebih lengkap dengan pola penamaan yang “Asal” (baca terburu-buru). Hanya Sulawesi Timur, Barat Laut, Timur laut, Baratdaya yang tersisa sebagai nama, kalau memakai pola penamaan “Asal”.

Coba perhatikan yang terjadi dengan toponimi sebagai berikut: Provinsi Sumatera Selatan: Musirawas Utara, OKI, OKU, OKU Timur, OKU Selatan. Provinsi NAD: Aceh Barat, Aceh Baratdaya, Aceh Utara, Aceh Timur. Sumatera Utara, Bengkulu, Lampung, Riau, Sumatera Barat, Babel,  juga ada dengan pola penamaan “Asal” dan masih banyak lagi pada level kabupaten. Adapun provinsi yang tidak bernalar toponimi “Asal” salah satunya provinsi Riau Kepulauan. Apakah dilakukan dengan kesadaran tentang toponimi sebagai ilmu pengetahuan atau kebetulan wilayah kepulauan yang masih satuan-satuan kabupaten yang diwakili pulau yang terbesar sebagai namanya? Selain itu pada level Kabupaten di Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Utara dan Bali sepertinya toponiminya memiliki kemandirian nama. Perlu di cermati pada level toponimi kecamatan sampai desa.

Dan kejadian di pulau Morotai, dapat ditemukan toponimi level kecamatan sebagai berikut: Morotai Selatan Barat (awas S-W bukan baratdaya loh) tetapi bagian selatan pulau morotai yang sebelah barat (bingung-bingung nih). Begitu juga yang terjadi di Provinsi Nusa Tenggara Timur ada satu kabupaten dengan toponimi Timor Tengah Utara (bagai mana ini) mengapa tidak dinamai dengan toponimi Kefamenanu?

Kejadian “Asal” ini jangan dianggap salah, bisa jadi sebagai nama yang muncul sebagai pilihan “jalan tengah”. Dengan keberadaan etnis-etnis yang menyatukan diri membentuk suatu pemerintahan pemekaran tidak ada yang diutamakan (pilihan adil yang pada akhirnya membingungkan karena tidak terima ego salah satu kelompok yang dijadikan toponimi). Sebenarnya ranah siapa dalam memberi nama tempat tersebut: tentunya nama-nama tempat terdahulu dilakukan oleh masyarakat pendukung budaya stempat dengan berbagai dalih pengetahuan tempat tersebut untuk diterapkan sebagai nama tempat tersebut. Bisa satu kata, dua kata, tiga kata, empat kata bahkan lebih. Apakah nama generik, nama generik dengan nama spesifiknya, nama spesifik dengan spesifik dlsbgnya. Orientasi pengetahuan tentang tempat bisa berdasar pengalaman Natural, berdasar pengalaman budaya. Pengalaman natural berujut dengan ciri generik bentang alam, iklim, perairan, flora, fauna. Pengalaman culturan bisa atas dasar pengalaman peristiwa yang terjadi di tempat itu dlsb.

Kalau didalami tentang penamaan tempat menjadi sangat penting, misalkan guru besar Al-Bantani, kalau yaitu nama tempat yang melekat pada ulama-ulama terkemuka masa lalu. Sementara sebelum tahun 2000 tidak muncul di peta Indonesia maka seakan-akan putus hubungan dengan murid-muridnya yang ada di Timur Tengah tentang mental map asal daerah gurunya, contoh lagi Al-Singkili, Al Jawi dan begitu juga tokoh lain selalu dikaitkan dengan nama tempat asalnya; Maghribi, ar-Razi/Rhayes, Al-Baghdadi, Al-Iraqi dls. Terkait dengan nama tempat, masyarakat Internasional sudah mencetuskan kesepakatan-kesepakatan bersama dalam bentuk resolusi-resolusi yang diharapkan dilaksanakan di negara penanta tangan resolusi tersebut.

Demikian pentingnya nama agar tidak salah merujuk dan salah alamat. Apakah fenomena Asal yang terjadi tidak hanya di Indonesia ini tetap dilanjutkan? Tergantung pendukung budaya masyarakat di tempat itu dan diharapkan menghargai kesepakatan-kesepakatan yang pernah dibuat bersama (Taqiyudin)

Selasa, 11 Agustus 2015

Singapura, Israelnya Asia

Singapura dulu adalah rawa yang miskin dan kumuh ketika Rafles tiba tahun 1819. Proses pembangunannya di era pasca kolonialisme tidak lepas dari tangan dingin Lee Kuan Yew, seorang mantan penjual lem tapioka di pasar gelap. Konon semua keberhasilan Singapura dalam papan statistik ekonomi adalah mahakaryanya. Dia merintis karir politik lewat partai PAP (People Action Parti) atau Partai Rakyat dengan menganut sosialisme di masa mudanya. Lee Kwan Yew itu anaknya orang Semarang yang pindah ke singapura tepatnya di jalan pemuda (Bo Djong). Lee Kuan Yew punya mimpi agar Singapura menjadi Israelnya Asia, di tengah gencetan musuh-musuhnya tetapi bisa terus eksis. Dia belajar pembangunan ekonomi dan militer dengan Israel sebagai modelnya. Bagi Lee, untuk pergi dari cap negara ketiga otoritarianisme solusinya. Sebelas dua belas dengan Soeharto, sahabatnya.



Negara ini pernah dijajah Jepang dan hampir terjadi Genocide terhadap mereka. Tan Malaka bersaksi ribuan etnis warga tiongkok disitu berbondong-bondong pernah akan dieksekusi pasukan Jepang tapi urung karena mungkun masih ada pikiran sehat dan rasa kemanusiaan dari kaisarnya. Singapura dikeluarkan dari federasi malaysia karena terjadi kerusuhan etnis yang tidak mungkin disatukan kembali. Lee Kwan Yew pada hari itu sampai memohon-mohon pada parlemen agar tidak dikeluarkan dari Malaysia tapi ditolak. Dengan air mata berlinang mereka mengumumkan kemerdekaannya 9 Agustus 1965. Kabar berhembus ternyata Presiden Soekarnolah dalang yang menyulut perpecahan itu dalam konflik ganyang Malaysia lewat komando Dwikora. Tanpa Soekarno sulit sekali singapura terpisah dari Malaysia.

Kalau Anies Baswedan bilang sumberdaya penting bagi Indonesia adalah manusianya. Itu adalah paham Lee Kwan Yew yang sudah dipraktekan puluhan tahun disana,dari tidak memiliki apa-apa menjadi ekonomi terbaik ke-5 dunia Tahun 2013 dengan 70% berada di sektor jasa termasuk pariwisata. Singapore sangat berambisi menjadikan kotanya menjadi destinasi wisata dari kota wisata makanan, Kota wisata judi (yang digagas oleh anak Lee Kwan), sampai kota wisata orang sakit untuk berobat (Budi Mulyawan)

Jumat, 07 Agustus 2015

Dilema GIS dan Nasionalisme

Tak bisa dipungkiri bahwa saat ini sulit membedakan antara geografi dengan GIS (Geography Information Systems), setiap kali saya bertemu dengan orang lain dari disiplin ilmu yang berbeda, setiap kali itulah mereka berpendapat bahwa geografi adalah GIS. Maka tidak heran hampir semua instansi pemerintahan yang sedang melakukan kegiatan baik pemetaan bersifat analog ataupun digital, selalu menerima tenaga ahli dari geografi. 

7 tahun yang lalu, diterbitkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) yang intinya, bahwa setiap informasi publik  bersifat terbuka dan dapat diakses oleh setiap  pengguna informasi publik untuk menuju  penyelenggaraan negara yang baik dan benar (Good Governance), peta tidak lagi hanya disajikan dalam sehelai kertas tapi juga berintegrasi dengan dunia internet, karena dianggap sebuah informasi publik.

Sejak itu, proyek-proyek pemetaan bersifat analog (peta dalam bentuk kertas) dapat dikatakan mulai berpindah menjadi peta-peta dalam bentuk digital yang dapat diakses oleh setiap orang melalui internet. Sejak itu pula GIS berbasis Web semakin popular karena dengan itu segala kegiatan berbasis spasial dapat diinformasikan ke seluruh pengguna, dan dapat dijadikan alat untuk monitoring.

GIS tidak lagi hanya membuat peta, overlay dan menghitung luas, tetapi juga bagaimana menjadikan peta sebagai aplikasi berbasis web untuk monitoring dan analisis spasial. Sejak itu GIS terbagi menjadi beberapa disiplin, diantaranya GIS Operator, GIS Programming, GIS Database, GIS Analyst dan lainya. 

GIS operator sebagai operator pengolah data spasial dan pembuat peta sebelum peta ditampilkan dalam bentuk web. GIS programming bertugas untuk menampilkan data spasial ke dalam bentuk web internet. GIS database untuk membangun data spasial dalam bentuk database, sehingga dapat dimanajemen dan tersimpan baik dalam satu database. Sedangkan GIS analyst sebagai analisa data spasial agar sesuai fungsinya untuk melakukan kebijakan ataupun momitoring. Contoh dari GIS berbasis web itu sendiri yaitu Google Map, Ina Geoportal dari BIG (Badan Informasi Geospasial), Bing Map, Bukapeta.com, ArcGIS online, dan lain-lain.

Bagaimana cara membuat webgis? 
Secara umum ada dua cara, pertama dengan menggunakan software berbayar, kedua dengan software open source

Kedua software tersebut memiliki keunggulan dan kelemahan tersendiri, yang berbayar harganya sangat mahal, bahkan untuk membangun webgis kita juga harus menyediakan perangkat lainnya seperti server dan OS server. Tentu saja harga pembangunan webgis versi ini menjadi melonjak tinggi, biasanya untuk pengembelian softwarenya saja bisa mencapai lebih dari 1 miliar rupiah, dengan hardware dan lain-lain bisa mencapai 4 miliar rupiah. Jadi proyek pembangunan webgis versi software berbayar ini dapat mengeluarkan anggaran sekitar 1 sampai 4 miliar rupiah.

Untuk software open source, kita tidak perlu membeli software, hanya sewa tenaga ahli saja, tapi ini butuh orang yang mampu mengerjakannya. Bila ingin pengadaan hardware atau server maka hanya beli server saja, atau bisa saja menyewa hosting. Proyek ini bisa menghabiskan dana 25 juta sampai 300 juta tergantung pengolahaan datanya. Namun tidak jarang ada yang menganggarkan proyek ini mencapai 1 miliar rupiah lebih.

Software GIS berbayar hargnya bisa mencapai 1 miliar rupiah lebih, sedangkan pekerjanya atau pengembagnya paling hanya digaji beberapa juta saja. GIS menjadi bisnis IT (informasi teknologi) yang menjanjikan bagi perusahaan dan kepentingan. Seolah-olah manusia atau para geografi hanyalah alat pelengkap untuk mengembangkan Web GIS, yang harganya jauh lebih murah ketimbang software itu sendiri. 

Berbagai alasan mengapa pengembangan Web GIS tetap dijalankan walau harganya sangat mahal, “salah satunya adalah belum mampunya SDM (Sumber Daya Manusia) kita untuk membangun Web GIS secanggih software GIS berbayar”. Bila alasanya SDM, sesungguhnya ini alasan yang menggelitik, karena sebenarnya para pengembang software GIS opensource sudah sedemikian maju dan banyak sekali forum-forum dunia internet dari berbagai macam Negara di dunia. dan tidak sedikit orang Indonesia yang kualitasnya juga bagus dalam pengembangan software GIS opensource. 

Import software ini belum pernah di dengar dalam media, padahal dengan import software ini dapat membuat peluang para GIS untuk mengembangkan kemampuannya di bidang GIS berbasis web untuk monitoring ataupun analisa semakin kecil. Lalu, kita akan terus-menerus bergantung pada software berbayar. GIS berbasis web semakin salah arti, yang harusnya menjadi sebuah monitoring dan kebijakan, beralih menjadi proyek-proyek besar yang tidak tahu seperti apa analisanya. 

Akhirnya tidak sedikit para geografi yang mundur dari dunia GIS karena menemukan keganjilan-keganjilan dalam pekerjaannya, terjebak dalam proyek, dan tidak sedikit juga yang bertahan karena tuntutan ekonomi keluarga. Dan sebagian memilih menjadi bohir karena akan menghasilkan uang lebih banyak.

Penting bagi para geografi untuk berdiskusi, tidak hanya dari pihak pemerintah dan kampus, tetapi juga bagi para praktisi. Untuk membicarakan hal yang benar, agar anggaran-anggaran di bidang GIS menjadi efektif dan sesuai dengan kebutuhan dan tujuannya. Tidak hanya soal bisnis melulu….  

Karena di Negara kita ini ada gap teknologi informasi, dimana anak-anak muda sangat terbiasa menggunakan IT sehingga cepat belajar dan tau celah dalam dunia IT, sedangkan orang-orang tua yang umurnya 50 tahun keatas banyak yang tak biasa dengan IT. Sehingga para pemegang kebijakan yang sebagian besar orang tua, tidak tahu apa dampak bagi generasi baru dari pengadaan proyek web GIS yang besar itu.

Secara matematis, 
  1. Bila gaji seseorang 5 juta/ bulan maka dalam satu tahu adalah 60 juta/tahun. 
  2. Bila proyek web GIS seharga 1 miliar rupiah maka sama seperti memperkerjakan 16 orang (1000/60)
  3. Bila proyek web GIS ditambah pengadaan software seharga 4 miliar rupiah maka sama seperti memperkerjakan 64 orang (16 x 4) 
  4. Bila satu instansi ada 4 bidang melakukan hal yang sama maka dapat memperkerjakan 256 orang (64 x 4)
  5. Bila ada geografi yang menganggur, maka ada yang salah dari sistem proyek GIS, karena geografi tidak hanya untuk Web GIS, ada banyak lagi seperti di perencanaan wilayah, kelautan, perkebunan, pertanahan, dan lain-lain.

Sabtu, 01 Agustus 2015

Tren Ilmu Geografi: Mengungkap Fakta dan Realita

Setiap orang bebas mendefinisikan peta sesuai dengan disiplin ilmu yang ia miliki. Tapi yang perlu diperhatikan oleh bagi sivitas akademika geografi adalah geografi itu selalu kontinum datanya. Alam ini geografi. Peta menjadikan data kontinum menjadi data diskret dengan adanya pengkategorian, pengkelasan. Kita bisa melihat pada peta Indonesia, disitu ada daratan – lautan, ada lembah juga ada gunung. Semua informasinya menjadi diskret. Padahal alam ini kontinum yang diskret justru manusianya walaupun nanti juga ada kalanya kontinum. Tantangan bagi orang yang pernah belajar geografi adalah bagaimana memaknai peta menjadi bersifat kontinum bukan hanya melihat peta hanya sebuah dokumen kertas belaka dengan karya seni di dalamnya.  Namun, hal tersebut memerlukan jam terbang yang tinggi untuk mencapai pada level tersebut.

GIS yang banyak dipelajari di kita kebanyakan baru Information System nya karena mudah mendatangkan uang dan lapangan pekerjaan. Tetapi karena banyak yang mempelajari dan mendalaminya meskipun bukan berasal dari disiplin ilmu geografi, saat ini nilainya semakin murah, yang mahal justru sekarang adalah Geography nya dan ini ahlinya masih belum banyak. Tren geografi dalam dunia humanitarian saat ini adalah penggunaan teknologi geopasial yang dikenal geospatial humanitarism.


Saat ini, tren yang berkembang di masyarakat adalah masyarakat ingin menunjukkan rasa empati dan kepedulian terhadap sesama dalam berbagai peristiwa kemanusiaan. Seperti terjadinya suatu bencana, maka ambulan yang datang justru bukan dari rumah sakit tetapi dari LSM, Partai dan komunitas lainnya. Contoh lain tren yang terjadi saat ini adalah Location Based Social Media (Big Data). Dengan menggunakan media sosial seperti twitter, facebook, dll, masyarakat dengan mudah berbagi informasi dengan adanya fasilitas geotagging/geolokasi yang manfaatnya ketika terjadi bencana adalah untuk memudahkan evakuasi dan informasi lokasi. Disini semangatnya adalah humanitarian dan teknologinya hanya sebagai label.

Contoh di atas muncul bukan dari orang geografi tetapi sudah interdisiplin. Ini merupakan tantangan untuk geografi. Peran geografi sangat penting disini, jika kita tidak ikut mengkontribusikan ilmunya maka bisa terjadi salah informasi. Contoh sederhananya adalah ketika terjadi suatu banjir. Wilayah yang terdampak justru bukan dari postingan twitter atau media sosial terbanyak. Ini Kenapa….? Tantangan bagi geografi untuk dapat menganalisisnya, namun dalam menganalisisnya tetap dengan menggunakan cara pandang geografi yang menjadi ciri khasnya, yaitu  spatial analysis, ecological analysis dan regional complex analysis. Meminjam pernyataan the Founding Father Geografi Indonesia I Made Sandy:
a. Geografi tidak percaya pada solusi tanpa fakta dalam penyelesaian masalah
b. Geografi tidak bicara pada ruang yang abstrak tetapi ruang muka bumi yang nyata.

Contoh fenomena lagi yang tak kalah menariknya dan yang sangat hits dan sangat inovatif saat ini adalah GOJEK, GO FOOD, UBER, dan teman-temannya. Aplikasi yang digunakan bisa merekam jejak mulai dari pemesanan hingga posisi realnya dengan tracking yang cukup akurat. Sebagai seorang geograf jika data yang direcord bisa diakses, pertanyaan apa yang bisa dijawab dari fenomena tersebut….?Ini yang perlu kita challenge.
   
"SINGKATNYA SAAT INI SEOLAH YANG MENYETIR SKEMA FENOMENA TERSEBUT ADALAH ORANG IT BUKAN DARI GEOGRAFI. GEOGRAFI TIDAK EKSIS PADA KONDISI SEPERTI DEMIKIAN"

Uraian tadi, saya coba sarikan dari pertemuan diskusi internal yang difasilitasi oleh Pusat Penelitian Geografi Terapan – Departemen Geografi UI dengan Para alumni yang konsen terhadap perkembangan ilmu geografi pada tanggal 10 Juli 2015. Hadir dalam acara tersebut Dr. Asep Karsidi (Mantan Ketua BIG), Dr. Idwan Suhardi, Dr. Rudy Tambunan, Dr. Triarko Nurlambang (Ketua Puslit Pranata Pembangunan UI), Dr. Djoko Harmantyo (Ketua Departemen Geografi), Hafid Setiadi, Dr. Nuzul Achyar, Ibu Widyawati dan rekan –rekan pengajar, asisten dan sivitas akademika geografi UI (Satria Indratmoko)

Antipode Foundation: Jurnal Geografi Radikal

Antipode dikenal sebagai jurnal geografi radikal. Sejak Agustus 1969 antipode telah menerbitkan makalah peer-review yang menawarkan gagasan radikal (Marxis, sosialis, anarkis, anti-rasis, juga feminis) analisis masalah geografis dan yang tujuannya adalah untuk menimbulkan pengembangan pemikiran untuk masyarakat baru yang lebih baik. Saat ini tulisan di Antipode muncul lima kali setahun dan diterbitkan oleh Wiley-Blackwell, Antipode terus mempublikasikan beberapa tulisan terbaik juga provokatif secara radikal pada pemikiran dan riset geografis yang tersedia saat ini; bekerja dari kedua sisi ahli: geografi juga dari sarjana-sarjana terkemuka.


Sebagai editorial penulisan kolektif, antipode mengatakan dalam sebuah editorial baru-baru ini (antipode di era antitesis, antipoda 43: 2): "Kami menyambut tulisan yang menantang, yang menunjukkan kemauan untuk tidak hanya menafsirkan tetapi juga mengubah dunia. Makalah antipoda sangat ketat dan intelektual, mereka harus bergulat dengan perdebatan dalam geografi tetapi bisa membawa para penulisnya ke depan. Tulisannya orisinal, tapi tidak hanya orisinal: Antipode ingin orisinalitasi ini menjadi signifikan untuk teori dan mudah dipraktekkan. Selain itu juga tulisannya harus argumentatif, ilmiah dan jelas, tak hanya bertahan ketika peer reviewnya saja; tetapi tulisan mereka diharapkan hidup di masyarakat dan menarik untuk dibaca.

Dalam banyak kasus mereka cairan semangat politik, tetapi mereka dapat melakukan hal ini dengan cara yang berbeda, bukan hanya melalui retorika marah atau polemik ganas (meskipun ini adalah bentuk-bentuk tulisan radikal yang kami juga mengakui dan menghargai). Makalah antipoda bisa - bahkan mungkin harus - kolaboratif dan kooperatif. Mereka tidak putus asa. Mereka berharap tapi tidak naif begitu. Mereka sering normatif, menyelidiki 'apa yang seharusnya' bukan hanya 'apa yang': dalam pengertian ini, mereka mungkin jelas-diagnostik tetapi juga antisipasi-utopis. Mereka mungkin menginterogasi logika struktural yang lebih luas tetapi juga berbasis di pengalaman hidup. Dan - apakah kita sudah mengatakan ini? - Mereka bergairah! Seperti banyak yang memilih untuk akademisi, kita didorong dan termotivasi; memiliki fastidiousness untuk detail; cinta bahasa dan tesis jelas disampaikan; dan semangat untuk yang tak terduga.

Antipode bagi kita, di atas semua, tentang gairah: gairah menulis yang dibangkitkan oleh semangat untuk keadilan, dalam pelayanan pembebasan daripada keselamatan masyarakat. Disini diharapkan bisa menghasilkan baru, ide-ide praktis untuk politik radikal, didefinisikan secara luas. Selain makalah, antipode juga menerbitkan makalah khusus dan simposium dan serangkaian buku.. Antipode sendiri adalah anggota dari Komite Etika Publikasi; COPE. Antipode mempunyai tugas memberikan saran kepada editor dan penerbit pada semua aspek etika publikasi, termasuk bagaimana menangani kasus penelitian dan publikasi kesalahan (Penerjemah: Budi Mulyawan)

Sumber: http://antipodefoundation.org/about-the-journal-and-foundation/a-radical-journal-of-geography/

Rabu, 29 Juli 2015

Ruang Publik

Para komplainers ngobrol dan diskusi punya alasan mereka sendiri untuk menyangkal para pelakunya, mulai dari label pengangguran, absurd, membuang waktu, hanya retorika tanpa action. Mereka lupa manusia adalah makhluk kata-kata, iqro, Nabi adam pun diistimewakan karena memahami kata dan makna. Umbu Landu sangat menghargai kata-kata sampai yakin bahwa Indonesia merdeka karena obrolan dan diskusi. Menurutnya, mantranya diucap tahun 1928 sebagai sumpah pemuda meskipun baru merdeka tahun 1945.

Di rumah indekos HOS Tjokroaminoto yang merupakan dapur nasionalisme, hampir setiap hari ada ngobrol dan diskusi tentang nasionalisme sampai rumah ini dijuluki dapur api nasionalisme oleh beberapa tokoh penting Indonesia. Pada tahun 1917. Kita ingat Marx meninggalkan Jerman ke Paris untuk beralih ke iklim pemikiran yang lebih liberal. Disinilah Mark bertemu Engels di sebuah Cafe bernama Cafe De La Regence dan memulai perubahan paling radikal dalam menumbangkan kapitalisme.

Mbah Sujiwo Tedjo pernah bertanya Darimana pergerakan dimulai? Apakah dikotamu banyak angkringan? Banyak orang nangkring dan jagongan santai?Selalu waspadalah kita pada warung, angkringan, kafe-kafe karena perubahan dan revolusi sering berawal disini, bukan dari kampus yang dalam bahasa Prof. Tomi Awuy semacam "kehidupan repetisi" (Budi Mulyawan)


Jumat, 24 Juli 2015

Bertemu Max Weber Ketika Mudik

Ketika mudik 2015 di rumah mertua di Pringsari Kabupaten Semarang, saya bertemu dengan Max Weber, eh maksud saya pengikuti Max Weber. Sesuai dengan bukunya: The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism (1958). Orang itu bernama Mujiono, yaitu orang desa yang sudah bertindakan rasional, teguh beragama Islam (ganti dari Prostestan), dan usaha mengejar keuntungan secara nalar (kapitalisme).

Kalau Soekarno menemukan Marhaen di Bandung yang kemudian terkenal dengan Marhaenisme, yaitu seorang petani yang berdikari dengan karyanya sendiri. Di Pringsari saya menemukan Mujinono, yang mungkin nanti bisa menjadi Mujionoisme, yaitu mengikuti tesis MaxWeber: seorang muslim yang teguh (aslinya agama protestan/Calvin), hemat (pangkal kaya), dan seorang petani sekaligus usahawan yang gigih.


Dalam beragama, Mujiono teguh dan menjadi santri tulen, meski dia tidak lulus sekolah dasar, dan hanya ngaji Sullam Safinah kepada mertua saya, tetapi selalu bersikap kritis, rajin dalam bekerja, dan hemat (mungkin agak pelit) dalam mengelola hartanya. Perkataannya yang spektakuler bagi saya, yaitu: “Kalau bulan Ramadhan biasanya orang membelanjakan uangnya untuk keperluan rumah tangga agak berlebih, tetapi saya (sekelurga) justru berkurang.”

Ayah dua putri yang sudah nikah semua ini, kini hidup sejahtera, dengan tiga rumah, satu mobil, satu sepeda motor, satu toko klontong, dan beberapa petak sawah dan kebun. Namun ini hebatnya, zakatnya tidak lupa. Dia zakat mal untuk penghasilannya, hasil sawahnya, dan perhiasannya. Dan kabarnya, sedang menunggu giliran haji dari pemerintah.

Apakah Anda ingin langsung meniru Mujiono, atau membaca buku Max Weber dulu? Monggo. Silahkan (Saiful Bahri)

Kamis, 23 Juli 2015

Belajar dari Kota Jayapura

Waktu itu 30 Juni 2015, dari tempat yang paling luas mata memandang kota dan laut. Dari bukit yang bertuliskan Jayapura City, dengan menghadap utara dari sini, sore itu menjadi teduh. Pelabuhan Numbay dengan peti kemasnya tersusun rapih, dua pulau kecil di timur laut pelabuhan itu, terlihat rumah-rumah terapung yang perairannya terus dilalui perahu-perahu kecil. 

Di bagian barat daya dari tempat saya berdiri itulah daratan kota yang menjadi pusat kehidupan dimana tepi pantai sampai bukit-bukit telah menjadi areal terbangun, jelas terlihat permukiman, hotel, rumah makan dan gedung perkantoran. Saya tatap langit dan awan yang bersih, tidak terlihat asap-asap ngebul seperti layaknya kawasan industri di kota-kota besar Indonesia.

"Foto: Kota Jayapura, Juni 2015"
Apa yang terlihat dari atas bukit tempat saya berdiri, ada sedikit persamaan dengan catatan BPS dimana distribusi PDRB Kota Jayapura tahun 2013 untuk sektor industri pengolahan tercatat 2,48 % atau terendah kedua setelah pertambangan dan penggalian 0,43 %. Dari sini kita dapat berfikir bahwa bahan-bahan kebutuhan pokok masyarakat Kota Jayapura baik primer, sekunder ataupun tersier, sebagian besar berasal dari luar Kota. Namun asumsi ini tidak akan akurat bila kita tidak turun dari bukit dan mengelilingi Kota Jayapura. 

... Keliling Kota Jayapura ...

Satu hal yang membuat saya kagum disini, infrastruktur jalan. Jarang sekali saya melewati jalan yang rusak ataupun berlubang baik di tepi pantai ataupun diatas bukit, bahkan ada jalan yang sedang dibangun diatas laut tepi pantai. Kata supir, itu merupakan jalan tol diatas laut. Ajaib sekali, saya tidak bisa membayangkan apa yang terjadi 10 atau 20 tahun lagi di kota ini bila infrastruktur itu benar-benar selesai, karena saat ini saja aktifitas kendaraan pribadi baik motor dan mobil sudah cukup ramai. 

Agar penasaran saya hilang dengan pembangunan di Kota Jayapura, maka saya mengunjungi Bappeda Kota Jayapura dan Bappeda Provinsi untuk sekedar diskusi dan melihat peta perencanaan. Ternyata jalan diatas laut yang dikira jalan tol adalah ring road yang pembangunannya baru selesai tahap satu, masih ada dua tahap lagi yang diperkirakan satu tahap selesai 3 – 4 tahun, dengan jalan ini diharapkan akses di Kota menjadi lebih mudah dan cepat. Selain itu, pemerintah pusat dan provinsi juga sedang melanjutkan pembangunan jalan dari Kota Jayapura menuju Wamena yang diperkirakan akan selesai tahun depan. Dengan adanya jalan ini diharapkan harga-harga tidak terlalu tinggi di papua pedalaman seperti di Wamena yang masih mengandalkan tranportasi udara.

…. Perbandingan harga di Papua…

“Dari mana semen berasal?” tanya salah seorang pegawai Bappeda Provinsi. “Tentu saja dari Gresik ke Surabaya, lalu diangkut melalui kapal menuju pelabuhan Numbay di Kota Jayapura dan pelabuhan di Kota Marauke. Dari Marauke dibawa menuju kabupaten Boven Digoel, harga semen itu menjadi 200 ribu/sak melalui jalur darat. Sedangkan untuk ke Wamena mesti melalui jalur udara dengan pesawat kecil dari Kota Jayapura, tidak heran harga semen mencapai 2 juta/sak disana.” Dengan lantang ia bicara sambil tersenyum bercerita dengan ramah, “kami berharap pembangunan akses dari Kota Jayapura menuju Wamena agar segera terealisir agar harga tidak terlalu melonjak saat mencapai pedalaman…” 
Gambar: Sketsa Perjalanan Kota Jayapura - Wamena dan Marauke - Boven Digoel

Kembali ke Kota Jayapura….

5 hari di Kota Jayapura tidaklah bisa menggambarkan seluruh aktifitas kehidupan, namun setidaknya ada yang bisa dilihat dan dipelajari sedikit dari sisi sosial, ekonomi dan lingkungan. Pendatang cukup dominan dan menguasai ekonomi di Kota Jayapura, seperti nelayan yang sebagian besar adalah pendatang dari Sulawesi selatan dan tenggara, seperti Bugis, Makassar dan Buton. Merekalah yang menguasai harga-harga tangkapan ikan, serta jasa seperti warung kelontong, rental mobil dan warnet. Ada satu cinema XXI di mol APO, tanah yang menjadi pusat ekonomi itu ternyata dimiliki oleh orang keturunan Cina yang menjadi orang terkaya di Kota Jayapura, dia juga memiliki perusahaan air minum lokal satu-satunya. Pertanian belum maksimal dan sangat jarang dijumpai. Di pemerintahan banyak dijumpai orang medan selain orang dari Sulawesi yang sudah menetap dari 20 tahunan yang lalu.

Lalu dimana orang Papua bekerja?
Foto: Penjual Pinang, Kota Jayapura
Di pinggir jalan, mereka banyak yang menjual buah pinang dan buah matoa. Di hotel dan gedung perkantoran banyak yang menjadi security. Di pemerintahan tentunya yang paling banyak dijumpai, entah sebagai staf biasa ada juga yang menjadi pejabat. Ada orang pendatang yang sudah lama menetap di sana bercerita kepada saya bahwa orang papua di sini masih mengandalkan pekerjaan yang sifatnya langsung menghasilkan uang atau perputarannya cepat, seperti menjual pinang, karena dengan itu mereka tidak pusing-pusing berfikir bagaimana caranya memutar uang. Contoh lainnya yang saat ini sedang popular, batu akik mereka cari di gunung lalu dijual dalam keadaan mentah.

Tidak ada industri besar, tidak ada pertanian, hanya gedung bangunan, restoran, hotel dan perdagangan yang paling sering dijumpai di Kota Jayapura. Hal ini sejalan dengan catatan dari BPS dimana distribusi PDRB Kota Jayapura tahun 2013 paling besar ditempati oleh sektor bangunan 26,05 % lalu diikuti perdagangan hotel dan restoran 19,5 %. Ketiga pengankutan dan komunikasi 18,71 % dan keuangan, persewaan dan Jasa Perusahaan 17,33 %, sedangkan pertanian hanya 3,57 %.
Grafik: BPS Kota Jayapura
….
Tingginya pertumbuhan ekonomi Kota Jayapura tahun 2013 sebesar 12,28 % dan tahun 2010 sebesar 8,99 %, bisa jadi tidak sama dengan tingkat kemakmuran orang papua asli di Kota tersebut, bahkan bisa saja berbanding terbalik. Hal ini mesti kita lihat dari jumlah penduduk dan tingkat migrasi. 2013 jumlah penduduk Kota Jayapura 272.554 orang atau bertambah 1,58 % dari tahun sebelumnya dengan jumlah penduduk miskin tahun 2013 sebanyak 44.300 orang dan tahun 2009 sebanyak 39.050 orang (BPS Kota Jayapura).

Di sektor pendidikan angka parsisipasi sekolah (APS) kelompok umur 7-12 = 98,6 dan 13-15 = 92,6 dan semakin berumur semakin kecil yaitu 16-18 = 68,00. Dapat dikatakan anak SMU semakin sedikit dibanding anak SMP. Di Provinsi Papua sendiri Kota Jayapura menempati angka IPM (Indeks Pembangunan Manusia) tertinggi dibanding kabupaten/kota lainnya yaitu sebesar 77,12. Bisa jadi Kota Jayaputa adalah kabupaten/kota termaju di Provinsi Papua walaupun masih banyak kekurangannya.

…. Kemana arah pembangunan Kota Jayapura …
Foto: Permukiman di Kota Jayapura
Kita ketahui bahwa Kota Jayapura merupakan tempat penyokong kebutuhan pokok untuk kabpuaten/kota lainnya di Provinsi Papua. Kota ini bisa jadi menjadi prioritas pembangunan dan tempat pencari kerja yang menjadi daya tarik bagi para pendatang untuk hidup. Sumberdaya alam yang masih banyak dan indah, serta rahasia geologi yang masih belum terpublikasi bisa saja menjadi rencana ekspansi perusahaan asing yang sudah jelas menguasai tambang seperti Freeport. Perkebunan kelapa sawit mulai merambah dibeberapa wilayah, entah apakah bisa seperti Kalimantan yang kehilangan hutannya karena kepentingan ekonomi. 

Bila saya orang papua tentunya ini sangat menyedihkan, melihat generasi keturunan yang nantinya menjadi apa? Karena semakin terkikis oleh para pendatang. Sumberdaya alamnya melimpah tapi tidak tahu untuk siapa? Mengapa kami orang papua malah tinggal di bukit-bukit dengan lereng cukup terjal? Kami tinggal dengan sangat sederhana, tidak mengenal smartphone, tidak mengenal mol, tidak mengenal makanan yang lezat, kami hanya mengenal pinang dan sepak bola. Di laut penuh dengan nelayan pendatang, di pemerintahaan penuh dengan pendatang. Ahhh… tapi ini Indonesia, berbeda beda tapi satu jua. Kami heran mengapa BBM naik sedikit saja di bumi barat Indonesia sudah ramai penuh demo, sedangkan disini kami terbiasa mahal, jarang kami demo karena harga mahal. Kami biasa beralaskan sandal jepit atau tak beralas berjalan di terik matahari. Kami sangatlah toleransi, belum pernah di Kota Jayapura ini ada konflik agama, kami menghormati orang barat, tapi bisakah lihat sedikit saja sosial di sini, pendidikan disini, kesehatan disini. Mengapa di Indonesia barat begitu maju dan disini terus begini? Atau karena hanya jumlah penduduk kami yang kecil?

Kalau memang alasanya sumberdaya manusia kami yang belum mampu mengelola sumberdaya alam, alanghkah baiknya prioritas pembangunan di Kota Jayapura adalah pembangunan manusianya seperti pendidikannya baik universitas, teknologi dan sekolah menengah kejuruan.

Angka-angka yang tercatat di BPS ataupun lembaga lain, serta peta-peta yang terpetakan oleh instansi-intansi tidaklah cukup mengenal kami, hai orang barat, datanglah kesini, bukan hanya untuk melihat indahnya raja ampat, bukan hanya melihat indahnya karang kami, tapi lihatlah kami, lihat cara kami berjalan, lihat cara kami memakan, dan lihat cara kami tidur. Setidaknya bisa melihat betapa bersyukurnya diri kalian.

…. Tanah Adat ....
Foto: Pantai Holtikamp, Juli 2015
Tahun 2008 nomor 23 terbit peraturan daerah khusus Proivinsi Papua tentang hak ulayat masyarakat hukum adat dan hak perorangan warga masyarakat hukum adat atas tanah. Hukum ini untuk perlindungan dan pengelolaan sumberdaya alam masyarakat hukum adat papua dan hak ulayat. Walau BPN memiliki sertifikat tanah yang bisa dibeli para investor atau perorangan, itu belum resmi sebelum melalui langkah hukum adat. Hal ini bisa menjadi perlindungan atas hak-hak orang papua, walau ada juga dampak negatifnya.

Sebagai contoh wilayah pariwisata pantai yang tidak ada pengelolanya menjadi kotor, tapi pengunjung tetap harus membayar ke orang lokal dengan harga yang mereka tetapkan sendiri. Sayangnya mereka belum bisa memanajemen tempat pariwisata tersebut. Para pendatang atau investor menjadi kesulitan dalam melakukan bisnis apapun di suatu area lahan, karena akan banyak claim kepemilikan lahan adat dari banyak orang papua, harga tanah akan menjadi berkali-kali lipat dari sebenarnya yang ditetapkan BPN. Seandainya saja peta komunal atau peta hak adat bisa dipetakan, mungkin akan lebih mudah persoalan tanah di Papua. PR untuk para geograf… 

Selasa, 21 Juli 2015

Keliling Dunia Virtual


Tengah malam Ramadhan ini saya sering berkeliling dunia. Kadang iseng mampir melihat raut muka orang-orang korea utara yang muram dan tidak bisa ketawa maksimal. Di sana kehidupan mereka sangat sulit sampai model rambut pun dibatasi dan memiliki kitab suci dianggap perbuatan kriminal. Benar-benar mereka materialis sejati sampai pahlawannya harus utuh dibalsam buat semangat perjuangan: Kim Jong Il, sama dengan madhzab komunis pembalsaman jenazah Stalin-Lenin di Russia sana.

Saya juga sedikit menyimak kehidupan Sunni garis keras di taliban yang wanitanya harus memakai cadar. Disana sama seperti kita Indonesia, sekolah terbagi menjadi menjadi sekolah umum dan madrasah. Seorang gadis aliran sekolah umum skeptis pada madrasah karena saudaranya menjadi "ekstrim menurutnya" sebab tafsir yang terlalu kaku terhadap agama.

Pindah negara arab, saya jadi tahu sedikit perihal perbudakan di Yaman dan juga budak konstruksi dibalik Dubai yang megah. Ada juga kehidupan masyarakat miskin di tengah glamor minyak Saudi arabia (cursed of black gold). Seperti di eropa sana juga ada penampakan gelandangan di London yang tidur di gang-gang sempit. Mereka kadang membawa kertas bertuliskan: "lapar, haus, dan tanpa pekerjaan"

Betapa mudahnya logografi sekarang. Lewat dunia virtual kita bisa jalan-jalan seperti Herodotus jika suka mencatat dan menyimak video penjelajahan yang kita lihat. demikian catatan pagi ini. Barokah youtube. (Budi Mulyawan)

Kita Yang Terteknologikan

Hari ini, hari raya Idul Fitri yang kesekian untuk saya dan melihat berbagai update dari banyak teman mengenai Idul Fitri dalam lingkungan mereka pada beberapa media sosial. Tentu saja ini bukan hal buruk. Sebagai manusia yang pernah hidup pada era 90-an saya sempat merasakan awal perkembangan teknologi komunikasi, perkembangannya sangat cepat menurut saya. Cepatnya perkembangan teknologi komunikasi itu tidak dapat saya rasakan karena saya tenggelam juga di dalamnya.

Dulu teknologi hanya menjadi alat, sekarang teknologi menjadi tempat seluruh kegiatan hidup sehari-hari itu telah meletak, dan itu sepertinya membentuk cara pikir dan cara tindak kita. Ingin serba cepat, ingin mendapatkan banyak hal.

Berangkat dari hal tersebut, ada beberapa hal yang menjadi kondisi mengenai diri kita terhadap teknologi.

1. Pelan

Sekarang kata ‘pelan’, ‘santai’, atau ‘lambat’ menjadi negatif konotasinya. Apakah karena kita pemuja kecepatan?

Balas chat harus cepat, accept friend request harus cepat, update berita harus cepat, mengakses suatu hal harus cepat. As soon as possible sepertinya nyaris menjadi moto bagi semua aspek di dunia ini, apalagi setelah teknologi memudahkan kita bahkan mendukung kita untuk serba cepat.

Apakah dengan berpelan-pelan kita akan benar-benar ketinggalan? Bukankah dengan berpelan-pelan kita jadi penuh penghayatan? Bukankah bercepat-cepat kadang  membuat kita menjadi tidak mengetahui apa yang kita kejar? Pasti akan terasa perbedaannya jika kita berangkat kerja yang biasanya dengan kendaraan, lalu pada satu hari kita berangkat berjalan kaki. Akan ada banyak hal yang setiap hari kalian lalui namun tidak kalian sadari. Perbedaan lainnya adalah jika kalian berjalan kaki, kalian akan lebih lelah.

2. Fokus

Fokus mulai sulit untuk diamalkan, kita telah didukung oleh teknologi untuk (merasa) bisa berada dalam keadaan multi-tasking. Sesungguhnya multi-tasking itu cenderung berbahaya and multi-tasking doesn’t work, it gets you nowhere.

Selain itu, karena teknologi komunikasi dan informasi kita jadi memiliki kemudahan mengakses hal-hal yang mendadak kita ingin tahu tapi tidak relevan terhadap tujuan kita. Karena keserakahan, tidak ingin tertinggal. Kita jadi lengket dengan gadget karena hal itu.

Misalnya, ke toilet membawa HP, nonton tivi sambil twitteran, belajar sambil main games. Bahkan mungkin sekarang beberapa sedang berlatih untuk melihat mata lawan bicara sementara tangannya sibuk chatting.

3. Sepi

Kapan terakhir merasakan benar-benar sepi dan sibuk sendiri? Apa saat itu kamu benar-benar sendiri? Sesendirinya kita, kita sendiri bersama. Alone together. Karena dalam kesendirian kita masih dapat mengakses keramaian. Karena masih dikunjungi pesan dari chat, group chat, dan obrolan-obrolan orang di media sosial.

4. Absensi

Gejala FOMO mulai mewabah. Gejala fear of missing out ini adalah takut dianggap hilang dari pergaulan, takut dianggap ketinggalan jaman. Kita dibuat terus harus melapor, melapor melalui media sosial. Padahal, apa salahnya dengan ketidakhadiran? Apa salahnya dengan mengada di realitas yang sedang kita jalani di depan mata kita?

5. Berkecukupan

Salah satu dampak teknologi informasi adalah kita menjadi sulit untuk merasa cukup. Banyak cara dan kemudahan untuk mencapai suatu informasi. Bagus jika informasi yang kita dapatkan adalah informasi yang valid, bagaimana jika informasi yang didapatkan adalah palsu? Sudah kepo sedemikiannya ternyata informasinya palsu, sia-sia lah waktu kamu. Mungkin tantangan manusia saat ini adalah melatih diri mereka untuk merasa cukup dan tidak merasa tersiksa apabila tidak menuruti hasrat sesaat.

Pandai-pandailah bersiasat, dan sepakati dengan diri sendiri bahwa teknologi hanyalah alat.


Kamis, 16 Juli 2015

Degradasi Istilah

Ada istilah mulutmu harimaumu apa yang hendak kamu katakan harus berhati-hati. Memang kata kadang mempunyai banyak makna, tetapi tidak semua memahami apa makna sesungguh kata tersebut. Banyak orang yang memlintirkan makna dari sebuah kata. Akhirnya orang memahaminya dengan makna yang tidak sebenarnya, ini yang membuat keliru. Ironisnya lagi kekeliruan ini, seperti sudah biasa dan terbiasa sehingga orang tidak tau apa makna yang sesungguhnya dari sebuah kata. Parahnya lagi kekeliruan membuat pola pikir seseorang yang mempengaruhi tindakan dan tingkah lakunya.

Misalnya saja pada ketiga kata berikut, selat, pulau terluar, pribumi dan non-pribumi. Ingatkah kalian dahulu, tentang pelajaran ilmu pengetahuan sosial. Mungkin pertama kali bapak atau ibu guru mengajarkan saat sekolah dasar. Entah mengapa bapak atau ibu guru mengartikan selat sebagai laut yang memisahkan dua pulau. Memisahkan, ini yang perlu digarisbawahi dan ditekankan. Iya memisahkan. Padahal menurut kamus besar Bahasa Indonesia sebagai rujukan, selat mempunyai pengertian laut diantara dua pulau. Tidak ada kata memisahkan, entah mengapa kebanyakan bapak atau ibu guru mengajarkan memishkan. Mengapa tidak menyebutkan menghubungkan. Itu kan lebih baik daripada memisahkan. Sepele sih tapi........

Sabang, Merauke, Miangas, Pulau Rote, Entikong, Sipadan dan Ligitan. Sekarang Sipadan dan Ligitan bukan milik Indonesia. Internasional Court of Justice (ICJ) atau lebih familiar Mahkammah Internasional, pada tanggal 17 desember 2002 memutuskan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan bukan merupakan bagian dari NKRI. Dari sebanyak tujuh belas juri hanya satu yg memihak ke indonesia. Alhasil sah secara hukum internasional sipadan ligitan bukan lagi milik indonesia. Lalu yang lebih menyakitkan lagi, salah banyak dari satu alasan adalah malaysia telah membangun sarana dan prasarana di kedua pulau tersebut. Lucu memang tetapi itulah kenyataannya. Sebenarnya yang mau dibahas ya tentang makna sebuah kata. Sebagian orang sering menyebut Sabang, Merauke, Miangas, dan Entikong dengan sebutan pulau terluar atau wilayah terluar. Terluar. Luar berarti daerah tempat dan sebagainya yang tidak merupakan bagian dari sesuatu itu sendiri. Pengertian tersebut berasal dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Mengapa mulai dari presiden pejabat dan tetek bengeknya menyebutnya terluar, padahal secara sah dan resmi pulau-pulau dan wilayah tersebut milik Indonesia dan merupakan bagian dari NKRI. Bahkan, media, kalangan intelektual, dan akademisi pun tetap menyebutnya TERLUAR. Hanya segelintir org saja yang menyebutknya terdepan. Tanya mengapa? Sepele sih, tapi...........

Kata yang terakhir akan saya bahas adalah pribumi dan non-pribumi. Istilah ini muncul sejak zaman kolonial Belanda. Mereka sering menyebutnya inlanders. Kalau menurut orang Indonesia adalah pribumi. Memang istilah atau kata tersebut digunakan untuk membeda-bedakan antara penduduk lokal dan orang asing atau bahasa kerennya rasis. Rasisme memang isu lama yang masih ada sampai sekarang. Namun, pribumi dan nonpribumi pada zaman sekarang khususnya di Indonesia digunakan untuk membedakan antara warga asli Indonesia dengan warga keturunan tionghoa. Diskriminasi sempat terjadi pada mei 1998 dimana runtuhnya rezim orde baru, tetapi saat itu entah siapa yang memulai sampai pada akhirnya terjadi kericuhan yang berujung kerusuhan massal dan sampai pembakaran dan penjarahan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Pribumi berarti penghuni asli yang berasal dari tempat yang bersangkutan. Istilah pribumi dan nonpribumi cenderung rawan menimbulkan konflik.

Seperti pada awalnya saya katakan, memang salah memaknai suatu kata atau penggunaan suatu istilah yang keliru terlihat sepele, tetapi saya sangat tidak setuju. Misalnya saja ,istilah selat adalah laut yang memisahkan antara dua pulau, seolah-olah ini menimbulka mindset atau pola pikir terpisahkan, atau terkotak-kotakan. Orang yang tinggal di Pulau Jawa dipisahkan dari yang tinggal di Pulau Kalimantan, yang tinggal di Pulau Kalimantan dipisahkan dari orang yang tinggal di Pulau Madura, dan begitu seterusnya untuk pulau-pulau lainnya. Padahal Indonesia adalah negara kepulauan. Oleh karena itu, mereka menjadi merasa dirinya sendiri bukan satu indonesia, lain hal jika digunakan istilah menghubungkan, antara Pulau Jawa, Pulau Kalimantaan, Madura, Pulau Sumatera dan pulau lainnya. Mereka terhubung mempunyai hubungan. Akibatnya dari penggunaan istilah itu adalah rawan konflik dan itu yang sering terjadi negeriku tercinta Indonesia Raya.

Adalagi penggunaan istilah pulau terluar. Seperti tadi terluar berarti, bukan bagian dari sesuatu. Kalau Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan (dahulu sblm milik malaysia) sering disebut pulau terluar Indonesia, tak heran jika negara tetangga Malaysia mengambilnya. Mungkin Malaysia sering mendengar presiden menyebutkan pulau terluar sehingga berani membangun karena dua pulau tersebut bukan milik Indonesia. Selain itu, karena pejabat negara menyebutkan pulau terluar terluar berarti bukan milik Indonesia mereka malas membangun sarana dan prasarana disana. Liat saja kebanyakan pulau-pulau terdepan dan daerah terdepan tak tersentuh oleh nikmatnya pembangunan. Memang itu sepele, tetapi sudah ada buktinya ada pulau yang akhirnya "direrbut" oleh negara tetangga. Jadi, kalau anda sekalian masih mau menyebutkan pulau terluar jangan heran kalau di masa mendatang ada pulau yang hilang lagi diambil negara tetangga.

Dan yang terakhir penggunaan istilah pribumi dan nonpribumi sudah tidak tepat lagi. Menurut saya, pribumi dan nonpribumi bukan berarti warga atau penduduk asli. Sepele sih tetapi, jika digunakan tidak tepat istilah ini sangat rawan menimbulkan konflik. Lebih baik pribumi diartikan seperti ini, pri dapat diartikan pro atau setuju atau benar. Bumi berarti merujuk pada negara, negara lebih sempit lagi merujuk pada rakyat. Jadi pribumi adalah prorakyat memihak rakyat, dan non pribumi adalah tidak prorakyat. Jadi, Soe Hok Gie, Kwik Kian Gie, Tan Malaka, sampai Lim Swie King mereka adalah pribumi karena mereka membela rakyat Indonesia melalui caranya masing-masing. Dan yang seharusnya disebut non pribumi adalah mereka-mereka yang mengaku lahir di Indonesia, tinggal di Indonesia tetapi tetap menggerogoti hak rakyat dengan korupsi (Kelvin)

Rabu, 15 Juli 2015

Edisi Penutupan Ramadhan: Tafakkur Dari Robot

Logika dan sains membawa kita hanya A ke B tapi imajinasi bisa membawamu kemanapun kata Einstein. Itu betul-betul terjadi sekarang saat science dan art sangat tidak jelas bedanya, dimana batas antara fiksi dan non fiksi sudah semakin bias. Lahirnya star wars, starship troopers, gundam, transformers adalah sebab khayalan kreatornya. Tapi percaya atau tidak imajinasi seni mereka menjadi imam bagi sains, yang kemudian mengejar perkembangan ini.

Setahun lagi kita benar-benar akan melihat bagaimana duel ala transformer antara Megabot melawan Kuratas. Megabot diciptakan oleh Megabot.inc, sebuah perusahaan Giant Robot di Amerika sedangkan Kuratas diciptakan oleh Suidobashi heavy industries yang terinspirasi Anime.Mereka akan benar-benar bertarung dengan memakai senjata otomatis (meskipun pelurunya bukan misil tapi paint ball)


Di Amerika sana Darpa, Boston Dynamics, juga Google sedang benar-benar mengembangkan proyek-proyek robotnya. Satu karya mereka yang saya kagumi yaitu mikrodrone, drone seukuran serangga dan burung untuk proyek mata-mata. Saya juga kagum pada mantis, sebuah hexabot laba-laba dari Inggris yang mungkin di masa depan akan menggantikan peran Tank karena sangat stabil pada tes terrainnya.Di masa depan perang akan memakai robot kata konsultan pertahanan Australia.
Sementara kita disini masih mlongo dan meributkan masalah logika mistik, NU-Muhammadiyyah, Sunni-Syiah juga khilafiyah agama. Salam fentung! (Budi Mulyawan)

Selasa, 14 Juli 2015

Riset Geografi Manusia Saat Ini

Barney Warf, et al. (2006) menjelaskan dalam Encyclopedia of Human Geography dalam bab mengenai Contrasting Approaches to Social Geography: Theoritical Condition tentang konsekuensi geograf yang mengambil riset dalam bagian geografi manusia. Menurutnya dengan semakin berkembangnya masalah sosial dan politik maka menjadikan geograf yang memiliki pandangan pola keruangan untuk membuat model keruangan untuk membuat karakteristik perbedaan populasi, pemukiman, dan kebutuhan pelayanan sosial.

Geografi manusia kebanyakan keberatan dan menolak deskripsi statistik dan rumus-rumus matematis untuk menjelaskan fenomena dunia sosial. Mereka mengemukakan mengenai terbatasnya penggunaan teknik tersebut untuk mengetahui dan mengungkap kompleksitas, jalinan, dan pokok permasalahan sosial dan bisa merusak pemaknaan kehidupan sehari-hari individu atau masyarakat. Pendekatan geografi manusia penggambarannya mengacu kepada fenomenologi, filosofi, dan etnografi untuk menjelaskan kehidupan manusia lebih jauh, lebih akrab, dan daripada yang dianjurkan oleh ilmuwan keruangan.

Paralel dengan perkembangan geografi manusia, geografi radikal berkembang lebih radikal tentunya. Mereka menolak tradisi pemetaan dan menjelaskan mengenai ruang sosial (sociospatial). Kesejahteraan, Marxisme dan feminisme menjadi hal yang lebih penting dan dikritik daripada menerima status quo untuk dipetakan dan dibuat model. Kritik mereka lebih tentang kesenjangan sosial dalam pemenuhan kebutuhan dasar, hukum sosial, produksi, masalah gender untuk dijadikan analisa sosial yang lebih luas.

Perkembangan terbaru terjadi di Eropa, postmodern dan poststrukturalisme telah mempraktekan pertimbangan yang bersifat skeptis terhadap penjelasan-penjelasan mengenai laporan ilmiah radikalisme dalam geografi sosial. Para sarjana lebih tertarik meneliti sosial dan budaya spesifik yang menjadi bingkai perbedaan kehidupan dan dunia sosial. Kemudian mereka menyebarkan ide-ide mengenai perbedaan sosial, ruang, tempat, dan kekuasaan.

Konsekuensi dari pendekatan dasar empiris-analitis dalam geografi manusia adalah:
1. Fakta akan bisa terungkap
2. Peneliti harus terjun di dunia nyata
3. Bebas nilai (value free) dan non bias
4. Menggunakan analisis deskriptif

Data yang diambil adalah data kualitatif berupa wawancara mendalam. Karakter data kualitatif adalah humanistik, subyektif, induktif, personal, idealistik, internal. Sedangkan data diambil dari:
1. Pembicaraan dan dialog
2. Data primer diambil dari interview dan observasi langsung
3. Data sekunder diambil dari dokumen, gambar, dsb

Untuk menganalisa data kualitatif maka dibutuhkan
1. Deskripsi
2. Klasifikasi
3. Koneksi antar kelas
4. Teknik kuantitatif (jika dibutuhkan)


Sumber: Dari Institute of British Geographer and the Association of American Geographers, dalam Kitchen and Tate, 2000

(Budi Mulyawan)

Geografi Pada Era Post Modern

Dr. Triarko Nurlambang (2002) dalam jurnalnya “Geografi Saat Ini” menjelaskan time series perkembangan Geografi hingga era extreme geography:

  • 1940-1950, Paradigma empirisme dengan kajian regional, human ecology, cultural geography dan isu isu lingkungan hidup  
  • 1950-1960, Pendekatan kuantitatif dan modeling dalam analisa geografi, era ini disebut era kuantitatif atau aliran positivism
  • 1970-1975, pendekatan behavioralism, feminism
  • 1975-1980, Pendekatan Marxism, structuralism, managerialism, munculah radical geography
  • 1980-1990, Munculah post modernism karena banyak muncul pendekatan-pendekatan baru dalam ilmu sosial yang lebih holistik dan multi disiplin, pendekatan ini menekankan pada relativism
  • 1990, Mulailah ditemukan konsep stateless, borderless, placeless, wireless
  • 1997, Munculah istilah extreme geography (David J. Nemeth) yang menekankan pada kebebasan berpikir dan mengekspresikan pikirannya. Munculah istilah “Just do it”, “Geography is what geographer do”, “Just doing Geography”, “Put the question all the basic asumption”, “cross the boundaries without the license”, “Present the unpresentable”, “Never complain, never explain”, “Expect the worst, hope for the best” aliran ini yang membuat geografi lebih diterima masyarakat
(Budi Mulyawan)

Jumat, 03 Juli 2015

Ngopi Geo 3 Edisi Ramadhan: "Bedah Diri"

“Bukan hanya rohis yang bisa melakukan muhasabah, kita semua bisa”. Waktu menunjukan pukul 00.00 dini hari tanda diskusi harus dimulai. Kami memulai ngopi geo ke-3 dengan membaca bismillah. Aftaf selaku moderator membuka dengan mengajak kita bersama merenungi Ramadhan diiringi dengan lagu lama dari Novia Kolopaking: serahkanlah hidup dan matimu. Lagu yang sangat cocok dengan tema perjuangan. Kami pun menyanyi bersama:

Dengan menyebut nama Allah
Jalani hidupmu, yakinkan niatmu
Jangan pernah ragu
Dengan menyebut nama Allah
Bulatkan tekadmu, menempuh nasibmu
Kemanapun menuju

Serahkanlah hidup dan matimu
Serahkan pada Allah semata
Serahkan  duka gembiramu
Agar damai senantiasa hatimu

"Peserta Ngopi Geo 3"
Tema kali ini adalah bedah diri (Muhasabah) di bulan ramadhan ala geograf. Budi Mulyawan mendapat giliran pertama untuk menceritakan bedah dirinya selepas dari geografi. Budi ditanya perihal “penyimpangan setelah lulus dari geografi” seperti yang dibahas dalam ngopi geo perdana. Semua yang hadir tahu sekarang Budi menekuni batik. Budi kemudian mengajak semua yang hadir mempertanyakan ulang: “menyimpang itu apa benar-benar menyimpang? Ataukah justru tersesat? Apakah kalian semua pernah mendengar tersesat di jalan yang benar? Saya di batikpun tersesat dan tidak sengaja. Ada orang yang memesan batik pada saya dan kemudian lupa mengambilnya. Saya pun mencoba menjualnya eh ternyata laku. Mungkin ini yang disebut tersesat tapi di jalan yang benar. Akhirnya saya mulai menekuni bidang ini, ternyata sangat mengasyikan.”

“Tapi dahulu pernah pada semester 2 saya berkuliah batik. Mungkin ini seperti doa, kita tidak tahu bahwa pada akhir kuliah doa ini terkabul dan menjadi jalan hidup. Saya kuliah 145 sks tapi 1 sks ini justru menjadi obor di hidup saya selama ini. Dulu saya juga seperti yang lain, mencoba mengajukan beasiswa S2 juga apply kerja. Juga ditawari sebuah bank Jepang. Sempat bekerja membantu dosen tapi sepertinya passion saya bukan di kota. Akhirnya saya pulang ke kampung saya untuk belajar lagi batik dan pertanian.”

"Budi Membahas Batik, Takdirnya"
“Saya mengalami dilema antara batik sebagai komoditas dan sebagai kesenian. Solusinya justru akhirnya saya menekuni semua bidang di batik dari mulai penjualan sampai mencoba berkarya sendiri, mungkin ini cara bagaimana belajar hidup sebagai manusia. Di perjalanan ini saya mencoba merenung tentang kesenian dalam wilayah budaya. Kesenian adalah sebuah cara untuk melihat dan mengerti kelemahan diri. Peta itu sendiri juga termasuk kesenian. Makanya dikatakan bahwa geography is between art and science, sangat akrab dengan kesenian.

“Acara ngopi geo sendiri sebenarnya acara iseng. Karena Daydeh dan Saya sering berdiskusi sampai larut mencari “bagaimana hakikat geografi”. Acara ini juga bukan acara rutin, malah ini jadinya acara tidak rutin. Seketemunya aja. Ternyata asyik membahas geografi sebagai fenomena dengan sudut pandang sciencenya. Fenomena adalah bentuk sementara geografi sebagai ilmu akan tetap. Kemudian kami iseng pula membuat situs dan memasukan hasil diskusi ke situs geografimanusia.com”

“Saya setuju sekali dengan Dyota, jangan pernah menunggu kaya untuk berbuat sesuatu. Itu fatamorgana. Semua keadaan yang diberikan Allah pada kita adalah cobaan di tengah perintah kita harus bermanfaat bagi masyarakat. Bagi saya bersekolah itu penting, tapi tidak sekolah itu juga lebih penting. Toh kita bersekolah untuk tidak sekolah, artinya porsi hidup “sekolah dan tidak sekolah kita” lebih banyak tidak sekolah. Sekolah yang utama bagi kita adalah memahami hakikat alam raya ini.”

“Sering saya bilang bahwa kita ini ditakdirkan hidup di jaman edan. Orang pintar kalah dengan kekuasaan dan pemerintah alias ilmu tidak lagi utama. Sedangkan orang-orang di pemerintahan kalah dengan uang dan pengusaha. Mayoritas kebijakan kita saat ini dikendalikan oleh politik uang. Tapi masih ada harapan besar sebab ternyata masih ada yang ditakuti para pengusaha yaitu dukun. Sebenarnya saya ingin menjadi dukun, puncak posisi tertinggi sampai menemukan bahwa di atas dukun itu ada para kekasih tuhan. Sekarang bagi saya cita-cita selain menjadi kekasih tuhan adalah cita-cita yang tidak menarik. Kita bisa bekerja apapun dengan profesi apapun tapi masih dalam wilayah dikasihi Tuhan. Tukang sampah yang dikasihi Tuhan masih lebih baik dari para eksekutif muda yang memperoleh kutukanNYa”

“Akal pikir itu bebas tapi kita perlu melakukan batas, mencari parameter dan persepsi sendiri-sendiri, itulah kegunaan dari berdiskusi. Geografi itu adalah takdir lalu kebetulan saja kita menekuninya. Geografi belum bisa berfungsi maksimal di Indonesia karena SDMnya masih sedikit sekali. Padahal di dunia ini Cuma ada dua kebenaran yaitu kebenaran waktu dan kebenaran ruang. Ilmu yang paling bisa menjangkaunya adalah sejarah dan geografi. Negeri manapun yang mempraktekan dua ilmu ini akan menjadi negeri yang sejahtera. Baldatun thoyibah, tapi juga perlu kebenaran Ketuhanan supaya menjadi Wa Robbun Ghofuur”

“Kembali ke geografi, kita kalah dalam semua sektor juga karena banyak anak muda larinya ke company. Geografi sendiri mestinya melindungi orang-orang kecil.  Di Batik, saya menemukan ilmu yang asyik namun tidak melepas geografi, dan saya ingin semua orang tidak minder dengan bidang pekerjaannya apapun jurusannya”. Budi menutup semua muhasabahnya dengan satu lagu tentang perpisahan dari MLTR: Thats why you go.

Giliran muhasabah tiba di Hendri. Hendri bercerita dulu dia sudah keterima di STT telkom tapi Ibu saya tak mau saya jauh darinya. “Dulu saya kurang fokus kuliah dan banyak kegiatan, ada berdagang dan main juga. Selepas kuliah saya sempet kerja di Danu (bukapeta.com) lalu keluar karena ingin membangun bisnis sendiri. Ternyata ada musibah yang menimpa saya dan keluarga sehingga urung membuat PT. Sepertinya ini sinyal bahwa saya tidak mesti ke sana. Sekarang saya pun masih mencari passion”

"Hendry dan Pengalaman Pahitnya"
“Saya merasa bahwa saat ini orientasi orang sudah ke uang semua. Saya kagum pada Danu founder bukapeta.com. Di sisi lain dia memperjuangkan idealisme geografi, di sisi yang lainnya dia juga berbisnis”. Tapi tidak harus geo juga, di luar geo kita pun bisa selama masih terus berkontribusi. Intinya kontribusi”

Dyota memuji, Hendri sendiri punya karakter tulisan dan bahasa inggris yang bagus dan cocok untuk menulis. Ada karakternya di medsos Hendri yang tak ada di orang lain. Hendri melanjutkan: “Saya sendiri lebih suka bekerja dibandingkan bekerja di orang lain”. Kami semua terharu karena ternyata prioritas utama hendri adalah supaya bisa hidup bersama ibunya.

Hendri bercerita musibah yang menimpanya supaya semua dari kita waspada. Di sekitar kita ada mafia azimat, Jin, praktek-praktek kegaiban, dan ilusi uang cepat. Kami menjadi korban mereka. Ada orang yang mengaku bisa membuka harta Soekarno kepada salah seorang saudara saya. Dia mampir ke rumah pas saya sedang ke Malaysia. Orang ini kemudian melakukan ritual dan Ibu saya seperti dipengaruhi olehnya dengan ajakan gaib. Mereka menyuruh ibu dan keluarga saya untuk infaq sebesar kira-kira 100 juta rupiah. “Ini yang membuat saya urung melakukan bisnis di tahun 2014. Sepertinya ini cobaan buat saya dan Ibu. Saya pikir kita tak usah mencari kebahagiaan yang terlalu jauh sebab kebahagiaan sendiri ada di sekitar kita, surga ada di rumah kita: ibu kita” Kenang hendri.

Amri (Geo 2010) kemudian mendapat giliran muhasabah. Dimulai dari ceritanya tentang mengapa dia menentukan pilihan hidupnya di geografi. “Saya terinspirasi kakak di geofisika UGM, kemudian melihat dosen yang melanglang buana kemana-mana sepertinya asyik. Lalu saya ikut tes PTN dan dapatlah geografi. Dulu di SMA, guru yang paling gokil itu guru geografi. Ilmu paling nyantol di saya ya geografi. Saya dulu IPS” Katanya

“Di jurusan, saya ikut proyek. Paling seru adalah ketika mata kuliah geografi manusia digelar. Skripsi saya perihal tawuran antar geng. Geografi membuka mata saya, ternyata banyak hal yang sangat seru. Di luar negeri sudah banyak geografi aneh seperti geography of fashion, bahkan geography of dream di tengah geografi kita yang hanya begini-begini. Proyek penelitiannya sangat luas. Hanya saja kekurangan geo menurut saya adalah karena kita ingin cepet dan instan akhirnya kita terjebak di aplikasi akibatnya konsep geografinya kurang begitu kuat” Kenangnya

“Dahulusempet agak kesel karena ternyata geografi berbeda dengan geofisika. Kuliah sambil proyek dulu saya kerjakan tapi jeleknya akhirnya saya tidak merasa kuliah itu penting. Padahal ini keliru. Banyak hal di proyek itu juga yang kurang begitu saya harapkan” Sebelum melanjutkan, Dyota mencoba menanggapi Amri: “Sebenarnya di dunia pemerintahan dan proyek, kita mesti memilih untuk menjalani tradisi mereka dengan berbagai tekanannya atau keluar sama sekali dari tradisi itu”

“Idealisme itu saya rasakan sulit sekali. Dulu sepertinya saya membanggakan penelitianku yang unik. Sepertinya di sana banyak hal yang tidak sesuai kenyataan. Di masa sekarang banyak sekali teman-teman kita ingin mengembangkan geografi tapi wadahnya tidak ada. Mengapa sulit? Karena orang tua kita pun juga kurang begitu memahami kinerja geografi. Mengapa banyak lulusan kita sulit bekerja pada slot-slot yang tepat? Karena banyak pula dari kita yang ingin bekerja di Geo tetapi lapangan pekerjaan tidak semudah yang kita harapkan.” Ujar Amri. Budi merespon: “Adalah tugas kita membuat wadah itu dan membuka lapangan kerja seluas-luasnya geografi”

Kami pun beristirahat pikiran dengan menyanyikan sebuah lagu dari Radiohead, high and dry. Kemudian dilanjutkan dengan Dyota yang membagi muhasabahnya: “Masalah utama kita bukan penting atau tidak penting untuk sekolah tinggi, karena sebenarnya yang salah adalah sistem pendidikan dan belajarnya. Padahal dengan pendidikan kita mampu menambah wawasan. Tapi berapa banyak orang yang makin berpikiran sempit di dunia ini? Tapi itu pesimisme. Gagal melakukan pendidikan lebih baik daripada tidak melakukannya sama sekali”

"Dyota dan Muhasabahnya"
“Dulu saya memilih teknik mesin ITB. Mengapa geografi? Karena passing gradenya cukup terjangkau dan memang itu jurusan yang saya inginkan. Meskipun dulu tidak tahu sebenarnya geografi itu apa. Paling penting bagi saya dulu kuliah kalau nggak di UI ya ITB dan jangan terlalu jauh. Saat pertama kali kuliah saya tidak punya bayangana apa-apa. Di geo, saya mulai mengenal bagaimana analisis keruangan tetapi sampai akhir detik lulus, masih juga tidak tahu bagaimana analisis keruangan untuk apa nantinya, aplikasinya, dst. Tahun kedua saya ikut SPMB lagi karena merasa di geografi hidup saya kurang jelas. Saya mengambil akuntansi UI tapi tidak dapet juga. Pada tahun kedua saya mengenal ICV dan GIS juga tools-tools geografi. Kecintaan saya pada geografi justru tumbuh di sini setelah tahu bagaimana aplikasinya” Kata Dyota

Dia melanjutkan: “Geografi itu keren, prinsipku di hidup ini kita harus mengejakan sesuatu yang keren dan unik. Mungkin selama kuliah saya kurang paham secara teori, yang penting bisa overlay variabel lalu memakai analisis apa, terus dikerjakan deh. Akhirnya saya pun setuju dengan Made Sandy, geografi itu hanya bagaimana menarik garis. Menurutku disini, kita belum sepenuhnya menjadi researchers baru dalam tahap praktisi. Kita juga jangan terlalu terbuai oleh teori-teorinya”

“Dulu pun kita kuliah geopolitik tapi sampai hari ini tidak tahu gunanya untuk apa. Setelah lulus aplikasinya bagaimana. Paling lulus nanti di institusi yang itu-itu saja. Kita terkadang melihat wadah geo itu sulit, tapi banyak tempat dimana kita akan sangat berguna. Sebagai contoh tempat saya bekerja dulu. Dulu saya membuat peta banjir tapi aplikasinya apa? Kurang begitu jelas. Selepas itu saya kerja di Event Organiser yang benar-benar nggak ada hubungnnya sama geo. Lalu bekerja di sebuah institusi yang benar-benar membutuhkan keputusan ruang. Geografi disini vital sekali”

“Dulu saya memegang data seindonesia, data resoures yang digabung dengan data-data lainnya seperti akses jalan, peta adat, lingkungan, kawasan Itu bisa menjadi analisis”. Sejalan dengan Dyota, Budi berkata: “Di dunia ini ada dua kebenaran yaitu kebenaran waktu dan kebenaran ruang. Dan sampai hari ini hanya geografi yang belajar ruang sampai benar-benar jernih dan global, sebab sejatinya geografi itu ilmu presiden, minimal menteri”

Dyota melanjutkan: “Untuk merubah itu atau membuat wadah yang tepat, butuh orang idealis yang gila untuk mendobrak tatanan baku yang mapan tapi terpuruk. Kalau tidak ada orang idealis, siapa yang mau membenarkan hal seperti itu. Kalau saya punya kesempatansekali lagi, saya ingin masuk ke pemerintahan lalu mengubah kebijakan menjadi lebih baik. Job GIS sendiri tidak akan pernah hilang di migas. Saya berencana kuliah S2 lagi bukan karena GIS karena GIS ya begini-begini saja. Sebenarnya kita masih bisa lebih. Kalau stay di Indonesia pun kita tidak bisa berkembang lagi. Sebab kuliah itu selain sarana belajar, juga tempat bagi kita untuk mengembangkan diri”

“Untuk membuat peta, siapapun juga bisa. Tidak harus geografi dan geodesi. Memasukan koordinat juga bisa tapi mereka belum bisa analisis keruangannya yang kompleks” Kata Dyota yang disambung Aftaf: “Kelebihan geografi dalam analisis keruangan bisa menjadi sesuatu yang unggul. Tapi belum ada orang yang menonjolkan geografi sehingga wadahnya kurang saat ini sebagai lowongan geografi”

Dyota melanjutkan muhasabahnya: “Di luar ilmu geo saya banyak bertemu aluni UI, ITB, UGM. Saya terkadang sedih dengan pemberitaan orang di luar institusi pemerintah. Padahal terkadang mereka  orang yang tak tahu kondisinya. Saya kasihan dengan orang yang berjuang demi Negara tapi tak pernah mendapat apresiasi tapi ya masih mau berjuang. Saya saksinya, masih banyak orang yang seperti itu. Juga banyak sekali anak muda kita yang tak mau menerima amplop. Saya melihat semangat-semangat teman-teman tinggi untuk berbuat kebenaran, kebaikan”

Aftaf menyimpulkan bahwa pasti generasi kita sudah agak lebih baik dari generasi berikutnya. Dyota menjelaskan: “Bosku pernah bilang: orang-orang yang dari Top universities pasti kualitasnya beda. Kita output dari UI. Walaupun keadaan Indonesia masih begini ini. Walaupun kita dalam keterpurukan tapi kita harus yakin sebetulnya kita orang-orang terpilih untuk melakukan perubahan. Satu-satunya jalan adalah jadilah idealis. Kita mesti tahu apa kemampuan kita, apa yang bisa kita ubah juga dari jurusan kita, diperjelas pula apa yang harus dilakukan oleh lulusan-lulusan geografi. Kita mesti berbagi pondasi yang kuat dimana orang-orang kita tidak bingung setelah lulus”

"Momod Aftaf dan Kisah Geonya"
Momod Aftaf berbagi kisah hidupnya. “Jujur seperti Dyotalah saya memilih geografi. Semua keluarga saya adalah dari UI. Selama di geografi 4,5 tahun saya sebenarnya bingung mau apa. Baru tahu geografi setelah kita lulus, keruangan dan holistik saya baru benar-benar tahu. Selepas kuliah saya ikut beberapa project, disana benar-benar membuka mata saya peluangnya seperti apa. Pernah menggarap proyek dari nokia perihal POI (Point of Interest) tapi POI itu sangat monoton dan saya cepat sekali bosan. Pindah kerja di situ hanya 9 bulan”

“Pada tahun 2013 saya ikut kakak saya bekerja di riset regulasi air. Saya juga menjadi bendahara proyek ini yang bernilai sekitar 100,000 Australian Dollar. Beberapa kali saya juga ikut proyek di pemerintahan. Sebenarnya disini saya belajar bagaimana mengelola dilema anggaran. Di anggaran itu ada hanya dua pilihan: harus habis atau dikembalikan, kalau dikembalikan nanti anggaran berikutnya bisa dipotong karena tidak terserap” Kata Aftaf.

Kami pun bercerita perihal banyak proyek saat ini mencari tenaga murah. Kita tidak mengerti nilai proyeknya tapi disuruh mengerjakan. Itu banyak terjadi di mahasiswa yang ikut proyek. Ada suatu kesepakatan baku kita akan merusak pasar ketika memberikan mahasiswa bayaran yang lebih mahal. Akhirnya apa akibatnya? Banyak pekerjaan kita yang tidak maksimal. Tenaga dibayar murah dan pimpronya berorientasi uang.

Aftaf melanjutkan: “Kita harus banyak berdoa agar diberikan jalan yang halal. Manusia itu what you get is what you want, you are what you eat. Makanlah yang halal nanti kita berada pada jalan yang lurus”.

Waktu menunjukan pukul 03.00 AM lebih. Daydeh menutup muhasabah kali ini dengan ceritanya. Dulu dia memilih matematika. Dia juga tidak begitu suka dengan GIS, lebih menyukai perancangan wilayah. “Saya sendiri di kuliah tidak pernah mendapat A kecuali skripsi. Ketika lulus saya langsung kerja ke IT WEBGIS dimana proyeknya yang paling rendah 4 Milyar. Tapi saya dibayar cuma 2,5 juta saja dengan beban kerja yang tak sebanding. Saya kemudian pindah kerja tapi juga tetap membantu pemerintahan. Itu semua yang dibahas Dyota benar sekali. SDM kita juga kurang di geografi. Saya sepakat wadah itu harus ada”

“Sampai hari ini saya mengagumi Pak Raldi, Pak Nuzul, dan Pak Arko. Saya kagum dengan banyak pemikiran dan wawasan mereka. Intinya saya menemukan ilmu manajerial kita kurang. Saya sendiri kuliah S2 sambil kerja, karena selain uang saya juga butuh link. Ternyata di hidup ini ada personal branding, pendekatan untuk mengenal orang” Katanya

“Oh ya saya tadi ngobrol sama Budi perihal mengapa di Jakarta banyak bertaburan bank sepanjang jalan utama kita. Itu kan gambaran peradaban kita yang berada dibawah naungan kredit. Ini jug pertanyaan geografi juga. Jakarta itu adalah kota Jasa, tapi satu hal ekonomi yang kita pelajari di geografi adalah ekonomi murni.  Saya ingin memberi solusi agar manajemen kita baik kita harus banyak belajar. Sebagai contoh, dengan manajemen yang bagus, Gojek menembus manajemen baru daripada produk local. Saya sendiri menemukan ada banyak solusi tapi kita belum tahu saja. Sebenarnya untuk mengubah sesuatu di Indonesia harus lewat pendidikan strata. Sepertinya mustahil tanpa itu. Tapi bisa juga melewati jalur pengusaha, kita bisa melakukan kontroling dari sini. Kita harus holistik, kita butuh pintar, wawasan akademis, manajerial, teknisi, lengkap holistik. Supaya apa? Agar kita tidak terus dibohongi.  Kita harus lengkap dan total” Kata Dedi

Apa yang kita rintis sekarang itu seperti marathon, yang bisa kita lakukan adalah memberikan sesuatu yang baik untuk Junior. Dyota menutup ngopi geo ini dengan perkataan: “Kuliah di luar negeri ternyata yang paling penting adalah link meskipun banyak PNS kuliah S2 hanya sekedar untuk naik jabatan. Kita contoh, Ridwan Kamil banyak menembus, mendirikan konsultan dunia dengan markas di bandung tanpa harus keluar negeri. Itu kan mindsetnya bagus. Kita juga harus membudayakan menulis agar geografi kita tidak miskin literatur. Kita coba mencari solusi dari hal yang paling bisa dirubah. Kita ubah diri sendiri dahulu sebelum mengubah semuanya. Jangan berpikir rumit, carilah solusi yang mudah”

Waktu menunjukan pukul 04.00, acara ditutup dengan sahur bersama dengan menu nasi goreng Taman Suropati. Sampai jumpa di Ngopi Geo berikutnya di Dieng Culture Festival