Jumat, 21 Agustus 2015

Toponimi Indonesiaku

Penamaan tempat baik berupa satuan ruang politik tersempit  sampai terbesar (dari desa-kecamatan-kabupaten/kota-provinsi- bahkan negara merujuk lokasional relatif. Lokasional yang relatif sebagai orientasi keberadaan suatu ruang bagian permukaan bumi terhadap ruang-ruang lain di sekitarnya yang dikenali. Lain dengan lokasional absolut yang diwakili oleh koordinat titik (dari berbagai sistem proyeksi matematis permukaan bumi). Apa yang mau di bahas dalam tulisan ini, bukan toponimi sebagai bagian ilmu pengetahuan penamaan tempat dan seluk-beluknya, namun realitas penamaan tempat yang ditemukan di berbagai tempat ruang muka bumi di Indonesia.

Sebagai warga negara Indonesia, siapa yang tidak kenal Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat ? apalagi bagi penduduk yang bermukim di pulau Jawa. Sampai tahun 2000 M (ditandai munculnya provinsi Banten), sebagai realitas implementasi toponimi ‘kein problem’ alias ‘ora popo’. Seorang anak SD kelas 5 bertanya; kang Jowo Kulon iku Banten yo?  Jajalen wangsulono dewe. Paling muncul kata-kata “waduh” piye iki, opo meh nggoblokake gurune? Opo meh disentlik wae bocah kue ngajine ora bener?

Kasus seperti anak SD kelas 5 ini, mengapa jadi demikian pemahamannya? Apa dia salah dengan kalimat pertanyaannya? Apa pernyataan dalam pertanyaannya benar? Wansulono dewe. Paling enak pertanyaan anak SD itu diarahkan kepada Gubernur Jawa Barat, ya ng? Biar Gubernur Jawa Barat bingung, kumaha iey? “Padahal Banten dulunya tergabung dalam provinsi Jawa Barat, kenapa sekarang Jawa Barat yang masuk Banten” gubernurnya ngremeng dewe. #$^@# .....Jowo Kulon iku Banten? *&)&^%.  Coba terka apa tindakan realita politik sekarang gubernur Jawa Barat; “kumpulkan DPRD TK I, nama provinsi Jawa Barat harusnya di ganti sejak tahun 2000, dan saya gubernurnya bukan yang di KPK-kan”, semoga gub. Jawa Barat tidak nyusul ke ruang KPK. Terkaan kedua realita sejarah politik  “yo wis ben lah, memang dulunya bagian Bantani”

Kepolosan pertanyaan anak SD kelas 5, perlu dijawab dengan tegas dan benar. Jawabannya setengah jelas “Ya pulau Jawa Bagian Barat “banget” itu sekarang menjadi provinsi Banten”. Tentu anak SD itu tidak puas. “Kalau begitu, provinsi Jawa Barat di mananya pulau Jawa?” “provinsi Jawa Barat bukan di bagian pulau Jawa bagian arat?” Coba jawab dengan nalar geografi.  Kalau di jawab dengan kalimat “Letak provinsi Jawa Barat itu di baratnya Jawa Tengah dan di timurnya provinsi Banten”. Ini yang jawab masih sabar. Anak SD itu takon maneh “Kenapa namanya Jawa Barat”. Gurunya mulai cari kambing hitam “Siapa sih dulu yang menamai provinsi ini dengan toponimi “Jawa Barat”? paraaaah.

Ituah letak permasalahan yang mungkin timbul akibat pemekaran dewasa ini dengan penamaan tanpa berfikir toponimi itu penting. Hal itu di masa yang akan datang mungkin dihadapi oleh ruang-ruang muka bumi dengan toponimi “Asal” bisa terjadi untuk Jawa Tengah, Jawa Timur yang mengalami pemekaran. Pada level wilayah provinsi di pulau Sumatera ada potensi untuk Sumatera Barat, Sumatera Selatan dan Sumatera Utara. Untuk Pulau Kalimantan potensi yang terjadi pada toponimi Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah dan yang baru Kalimantan Utara. Khususnya untuk kalimantan nama yang tersisa: Kalimantan Tenggara, Kalimantan Barat Daya, Kalimantan Timur Laut dan Kalimantan Barat Laut. Permasalahannya apa dengan 8 nama itu pemekaran sudah final apa final di 5 nama provinsi yang ada sekarang (tengah, timur, selatan, barat dan utara). Begitu juga untuk pulau Sulawesi pada level wilayah provinsi lebih lengkap dengan pola penamaan yang “Asal” (baca terburu-buru). Hanya Sulawesi Timur, Barat Laut, Timur laut, Baratdaya yang tersisa sebagai nama, kalau memakai pola penamaan “Asal”.

Coba perhatikan yang terjadi dengan toponimi sebagai berikut: Provinsi Sumatera Selatan: Musirawas Utara, OKI, OKU, OKU Timur, OKU Selatan. Provinsi NAD: Aceh Barat, Aceh Baratdaya, Aceh Utara, Aceh Timur. Sumatera Utara, Bengkulu, Lampung, Riau, Sumatera Barat, Babel,  juga ada dengan pola penamaan “Asal” dan masih banyak lagi pada level kabupaten. Adapun provinsi yang tidak bernalar toponimi “Asal” salah satunya provinsi Riau Kepulauan. Apakah dilakukan dengan kesadaran tentang toponimi sebagai ilmu pengetahuan atau kebetulan wilayah kepulauan yang masih satuan-satuan kabupaten yang diwakili pulau yang terbesar sebagai namanya? Selain itu pada level Kabupaten di Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Utara dan Bali sepertinya toponiminya memiliki kemandirian nama. Perlu di cermati pada level toponimi kecamatan sampai desa.

Dan kejadian di pulau Morotai, dapat ditemukan toponimi level kecamatan sebagai berikut: Morotai Selatan Barat (awas S-W bukan baratdaya loh) tetapi bagian selatan pulau morotai yang sebelah barat (bingung-bingung nih). Begitu juga yang terjadi di Provinsi Nusa Tenggara Timur ada satu kabupaten dengan toponimi Timor Tengah Utara (bagai mana ini) mengapa tidak dinamai dengan toponimi Kefamenanu?

Kejadian “Asal” ini jangan dianggap salah, bisa jadi sebagai nama yang muncul sebagai pilihan “jalan tengah”. Dengan keberadaan etnis-etnis yang menyatukan diri membentuk suatu pemerintahan pemekaran tidak ada yang diutamakan (pilihan adil yang pada akhirnya membingungkan karena tidak terima ego salah satu kelompok yang dijadikan toponimi). Sebenarnya ranah siapa dalam memberi nama tempat tersebut: tentunya nama-nama tempat terdahulu dilakukan oleh masyarakat pendukung budaya stempat dengan berbagai dalih pengetahuan tempat tersebut untuk diterapkan sebagai nama tempat tersebut. Bisa satu kata, dua kata, tiga kata, empat kata bahkan lebih. Apakah nama generik, nama generik dengan nama spesifiknya, nama spesifik dengan spesifik dlsbgnya. Orientasi pengetahuan tentang tempat bisa berdasar pengalaman Natural, berdasar pengalaman budaya. Pengalaman natural berujut dengan ciri generik bentang alam, iklim, perairan, flora, fauna. Pengalaman culturan bisa atas dasar pengalaman peristiwa yang terjadi di tempat itu dlsb.

Kalau didalami tentang penamaan tempat menjadi sangat penting, misalkan guru besar Al-Bantani, kalau yaitu nama tempat yang melekat pada ulama-ulama terkemuka masa lalu. Sementara sebelum tahun 2000 tidak muncul di peta Indonesia maka seakan-akan putus hubungan dengan murid-muridnya yang ada di Timur Tengah tentang mental map asal daerah gurunya, contoh lagi Al-Singkili, Al Jawi dan begitu juga tokoh lain selalu dikaitkan dengan nama tempat asalnya; Maghribi, ar-Razi/Rhayes, Al-Baghdadi, Al-Iraqi dls. Terkait dengan nama tempat, masyarakat Internasional sudah mencetuskan kesepakatan-kesepakatan bersama dalam bentuk resolusi-resolusi yang diharapkan dilaksanakan di negara penanta tangan resolusi tersebut.

Demikian pentingnya nama agar tidak salah merujuk dan salah alamat. Apakah fenomena Asal yang terjadi tidak hanya di Indonesia ini tetap dilanjutkan? Tergantung pendukung budaya masyarakat di tempat itu dan diharapkan menghargai kesepakatan-kesepakatan yang pernah dibuat bersama (Taqiyudin)

0 komentar:

Posting Komentar