Jumat, 07 Agustus 2015

Dilema GIS dan Nasionalisme

Tak bisa dipungkiri bahwa saat ini sulit membedakan antara geografi dengan GIS (Geography Information Systems), setiap kali saya bertemu dengan orang lain dari disiplin ilmu yang berbeda, setiap kali itulah mereka berpendapat bahwa geografi adalah GIS. Maka tidak heran hampir semua instansi pemerintahan yang sedang melakukan kegiatan baik pemetaan bersifat analog ataupun digital, selalu menerima tenaga ahli dari geografi. 

7 tahun yang lalu, diterbitkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) yang intinya, bahwa setiap informasi publik  bersifat terbuka dan dapat diakses oleh setiap  pengguna informasi publik untuk menuju  penyelenggaraan negara yang baik dan benar (Good Governance), peta tidak lagi hanya disajikan dalam sehelai kertas tapi juga berintegrasi dengan dunia internet, karena dianggap sebuah informasi publik.

Sejak itu, proyek-proyek pemetaan bersifat analog (peta dalam bentuk kertas) dapat dikatakan mulai berpindah menjadi peta-peta dalam bentuk digital yang dapat diakses oleh setiap orang melalui internet. Sejak itu pula GIS berbasis Web semakin popular karena dengan itu segala kegiatan berbasis spasial dapat diinformasikan ke seluruh pengguna, dan dapat dijadikan alat untuk monitoring.

GIS tidak lagi hanya membuat peta, overlay dan menghitung luas, tetapi juga bagaimana menjadikan peta sebagai aplikasi berbasis web untuk monitoring dan analisis spasial. Sejak itu GIS terbagi menjadi beberapa disiplin, diantaranya GIS Operator, GIS Programming, GIS Database, GIS Analyst dan lainya. 

GIS operator sebagai operator pengolah data spasial dan pembuat peta sebelum peta ditampilkan dalam bentuk web. GIS programming bertugas untuk menampilkan data spasial ke dalam bentuk web internet. GIS database untuk membangun data spasial dalam bentuk database, sehingga dapat dimanajemen dan tersimpan baik dalam satu database. Sedangkan GIS analyst sebagai analisa data spasial agar sesuai fungsinya untuk melakukan kebijakan ataupun momitoring. Contoh dari GIS berbasis web itu sendiri yaitu Google Map, Ina Geoportal dari BIG (Badan Informasi Geospasial), Bing Map, Bukapeta.com, ArcGIS online, dan lain-lain.

Bagaimana cara membuat webgis? 
Secara umum ada dua cara, pertama dengan menggunakan software berbayar, kedua dengan software open source

Kedua software tersebut memiliki keunggulan dan kelemahan tersendiri, yang berbayar harganya sangat mahal, bahkan untuk membangun webgis kita juga harus menyediakan perangkat lainnya seperti server dan OS server. Tentu saja harga pembangunan webgis versi ini menjadi melonjak tinggi, biasanya untuk pengembelian softwarenya saja bisa mencapai lebih dari 1 miliar rupiah, dengan hardware dan lain-lain bisa mencapai 4 miliar rupiah. Jadi proyek pembangunan webgis versi software berbayar ini dapat mengeluarkan anggaran sekitar 1 sampai 4 miliar rupiah.

Untuk software open source, kita tidak perlu membeli software, hanya sewa tenaga ahli saja, tapi ini butuh orang yang mampu mengerjakannya. Bila ingin pengadaan hardware atau server maka hanya beli server saja, atau bisa saja menyewa hosting. Proyek ini bisa menghabiskan dana 25 juta sampai 300 juta tergantung pengolahaan datanya. Namun tidak jarang ada yang menganggarkan proyek ini mencapai 1 miliar rupiah lebih.

Software GIS berbayar hargnya bisa mencapai 1 miliar rupiah lebih, sedangkan pekerjanya atau pengembagnya paling hanya digaji beberapa juta saja. GIS menjadi bisnis IT (informasi teknologi) yang menjanjikan bagi perusahaan dan kepentingan. Seolah-olah manusia atau para geografi hanyalah alat pelengkap untuk mengembangkan Web GIS, yang harganya jauh lebih murah ketimbang software itu sendiri. 

Berbagai alasan mengapa pengembangan Web GIS tetap dijalankan walau harganya sangat mahal, “salah satunya adalah belum mampunya SDM (Sumber Daya Manusia) kita untuk membangun Web GIS secanggih software GIS berbayar”. Bila alasanya SDM, sesungguhnya ini alasan yang menggelitik, karena sebenarnya para pengembang software GIS opensource sudah sedemikian maju dan banyak sekali forum-forum dunia internet dari berbagai macam Negara di dunia. dan tidak sedikit orang Indonesia yang kualitasnya juga bagus dalam pengembangan software GIS opensource. 

Import software ini belum pernah di dengar dalam media, padahal dengan import software ini dapat membuat peluang para GIS untuk mengembangkan kemampuannya di bidang GIS berbasis web untuk monitoring ataupun analisa semakin kecil. Lalu, kita akan terus-menerus bergantung pada software berbayar. GIS berbasis web semakin salah arti, yang harusnya menjadi sebuah monitoring dan kebijakan, beralih menjadi proyek-proyek besar yang tidak tahu seperti apa analisanya. 

Akhirnya tidak sedikit para geografi yang mundur dari dunia GIS karena menemukan keganjilan-keganjilan dalam pekerjaannya, terjebak dalam proyek, dan tidak sedikit juga yang bertahan karena tuntutan ekonomi keluarga. Dan sebagian memilih menjadi bohir karena akan menghasilkan uang lebih banyak.

Penting bagi para geografi untuk berdiskusi, tidak hanya dari pihak pemerintah dan kampus, tetapi juga bagi para praktisi. Untuk membicarakan hal yang benar, agar anggaran-anggaran di bidang GIS menjadi efektif dan sesuai dengan kebutuhan dan tujuannya. Tidak hanya soal bisnis melulu….  

Karena di Negara kita ini ada gap teknologi informasi, dimana anak-anak muda sangat terbiasa menggunakan IT sehingga cepat belajar dan tau celah dalam dunia IT, sedangkan orang-orang tua yang umurnya 50 tahun keatas banyak yang tak biasa dengan IT. Sehingga para pemegang kebijakan yang sebagian besar orang tua, tidak tahu apa dampak bagi generasi baru dari pengadaan proyek web GIS yang besar itu.

Secara matematis, 
  1. Bila gaji seseorang 5 juta/ bulan maka dalam satu tahu adalah 60 juta/tahun. 
  2. Bila proyek web GIS seharga 1 miliar rupiah maka sama seperti memperkerjakan 16 orang (1000/60)
  3. Bila proyek web GIS ditambah pengadaan software seharga 4 miliar rupiah maka sama seperti memperkerjakan 64 orang (16 x 4) 
  4. Bila satu instansi ada 4 bidang melakukan hal yang sama maka dapat memperkerjakan 256 orang (64 x 4)
  5. Bila ada geografi yang menganggur, maka ada yang salah dari sistem proyek GIS, karena geografi tidak hanya untuk Web GIS, ada banyak lagi seperti di perencanaan wilayah, kelautan, perkebunan, pertanahan, dan lain-lain.

2 komentar:

  1. Pesanan sudah siap ini

    BalasHapus
  2. Ulasan yang menarik soal bagaimana perkembangan proyek GIS dimana dulu GIS yang kita kenal sebagai tools membuat peta dalam bentuk digital menjadi format gambar hingga kini ke dalam bentuk web. Namun beberapa point yang membuat saya ingin menanggapi tulisan ini:

    1. Didalam proyek GIS tentunya pemilihan software bukan hanya soal harga, misal disini jika membandingkan opensource dengan software berbayar berdasarkan harganya jelas unfair. Karena software berbayar dibangun diatas company yang mempekerjakan karyawannya untuk mengembangkan software itu sendiri yang jelas membutuhkan biaya tidak sedikit untuk menggaji tenaga ahli dibalik software tsb. Dengan biaya yang besar tsb, software berbayar akan lebih memberikan jaminan soal skalabilitas, keamanan dan kontinuitas terhadap produk mereka, sedangkan open source GIS berbasis komunitas dimana perkembangannya bergantung pada kemauan developer untuk melakukan pengembangan. Sehingga membuat software opensource berkembang lebih lambat daripada software berbayar.

    2. Untuk budget project, seharga 1 - 4 milyar menurut saya itu harga tidak terlalu tinggi untuk implementasi proyek IT karena bergantung dengan skala project, jumlah site, jumlah user, dan value yang akan diberikan kepada end user akan melebihi harga software tsb. Misal dengan project GIS 4 milyar katakanlah suatu pemerintah daerah akan meminimalisir biaya pengeluaran dengan memotong proses proses birokrasi dan dapat meningkatkan pendapatan daerah yang akan melebih 4 milyar tsb atau yang kita kenal dgn return on investment. Jadi menurut saya kurang tepat jika membandingkan nilai projek hanya dengan jumlah tenaga kerja yang terlibat, bahkan dengan gajinya. Sbg contoh projek IT untuk pengadaan dan implementasi software ERP nilainya bahkan bisa mencapai 30 M.

    3. Positioning lulusan geografi didunia kerja memang kini semakin menantang dimana GIS bukan lagi domain untuk anak geografi dan geo geo lainnya namun lulusan lain pun sudah mulai familiar karena semakin mudahnya memanfaatkan software GIS dan semakin luasnya aplikasi pemanfaatan GIS di berbagai sektor. Hal ini tentunya membuat lulusan Geografi harus kembali mencari jati diri ditengah semakin kerasnya kompetisi di dunia kerja, khususnya dalam bidang GIS

    3 point diatas hanyalah pandangan sya dari beberapa pengalaman yg sudah sy rasakan

    sangat senang jika bisa mendengar dari sudut pandang lain sehingga diskusi bisa lebih interaktif

    trims

    BalasHapus