Pemerintah Provinsi Jakarta nampaknya serius ingin membenahi masalah ibu kota. Masalah yang lama ingin dibenahi adalah banjir. Iya banjir. Kalau berbicara banjir di jakarta pastilah tidak lain tidak bukan akan menuju ke sebuah daerah di Jakarta Timur. Kampung Pulo. Iya Kampung Pulo. Kampung Pulo adalah permukiman yang letaknya persis di sepadan ciliwung. Jumlahnya bukan main. Menurut, Ika Lestari Aji, Kepala Dinas Perumahan dan Gedung Pemprov DKI Jakarta, ada 520 kepala keluarga di Kampung Pulo. Tentunya mereka tinggal jauh hari sebelum jakarta ada semenjak zaman kolonial. Jika dilihat dari sejarah, sejak zaman itu sungailah menjadi pusat. Semua kegiatan dilakukan di sungai. Mulai dari perdagangan sampai kegiatan rumah tangga. Tak hanya Jakarta, tapi jauh sebelum jakarta peradaban di Mesir, pun perkembangannya berawal dari pinggir Sungai Nil. Begitu pula di asia bagian selatan contohnya di India, lagi lagi sungai mempunyai peranan penting dalam terbentuknya permukiman yang akan menjadi sebuah kota. Kota-kota disana tumbuh di lembah Sungai Indus.
Selain faktor di atas, juga faktor jakarta menjadi metropolitan bahkan megapolitan inilah juga menarik orang untuk melakukan urbanisasi. Perkembangan Kota Jakarta tak terarah. Jakarta menjadi pusat segalanya bagi Indonesia, pusat ekonomi, pusat bisnis, dan pusat pemerintahan. Semua daya tarik jakarta yang megah dan menawan serta janji dan cerita sukses dari jakarta membuat tak sedikit orang ingin datang ke jakarta. Yang menjadi masalah adalah ketika seseorang tak mampu membeli atau membayar sewa untuk tinggal di kota. Sesuai dengan teori sewa tanah Von Thunnen yang mengatakan bahwa harga tanah di pusat kota jauh lebih mahal. Itulah akhirnya tanah kosong yang milik negara pun ikut disikat. Sebenarnya Belanda pun membangun Kanal Banjir Barat pasti mempunyai tujuan sendiri. Utamanya, untuk jalan air dari hulu ke hilir. Dari Bogor menuju Laut Jawa. Satu per satu hari demi hari tahun demi tahun berlalu, sampai terbentuklah seperti sekarang, Kampung Pulo dengan 520 kepala keluarga.
Siapa yang salah dengan adanya Kampung Pulo? Tentu kita tak harus mencari-cari masalah dalam masalah. Memang seperti yang dijelaskan di atas tadi, sungai memang menjadi pusat peradaban dan berkembangnya permukiman yang akan menjadi sebuah kota. Sekarang tinggal faktor persuasif dan psikologis orang yang tinggal dengan rumah horizontal ganti dengan vertical. Misalnya saja, faktor kedekatan dengan daerah asalnya. Pemerintah pun berfikir keras dan tau akan hal itu. Pemerintah sengaja memilih lokasi yang tak terlalu jauh dengan Kampung Pulo untuk membangun rusun, yang nanti akan menjadi relokasi bagi warga Kampung Pulo. Hanya berjarak kurang lebih 500 meter. Tentunya itu tak menyelesaikan masalah. Masalah yang paling utama adalah kebiasaan. Inilah yang tak mudah mengubah kebiasaan seseorang. Sebaiknya dalam 1-2 tahun ke depan pemerintah menyediakan dan membentuk semacam satgas pendamping untuk warga yang baru pindah di rusun. Dengan pindahnya seluruh warga Kampung Pulo ke rusun jatinegara, bisa dikatakan riwayatnya telah tamat. Di tahun kedepan takkan adalagi cerita Kampung Pulo kebanjiran. Tetapi lantas tak berarti tugas pemerintah selesai dalam menanganin banjir, masih banyak kampung lain dan masih ada tugas lain dalam mengatasi banjir. Yang terpenting adalah nantinya sepadan sungai yang sudah bersih dari penduduk jangan sampai menjadi permukiman lagi. Dan pengawasan serta perawatan rusun-rusun yang menjadi tempat relokasi. Buat warga menjadi kerasan dan betah sehingga lupa akan kebiasaan lamanya (Leonardus Kelvin)
Selasa, 25 Agustus 2015
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar