Jakarta Ibukota sekaligus pusat ekonomi Indonesia dengan jumlah penduduk tercatat pada tahun 2014 sebanyak 10.075.000 Jiwa dengan luas daratan sebanyak 661,52 km2. Kepadatan rata-rata kepadatan 15.230 jiwa/km2 yang hampir mencapai titik jenuh kepadatan penduduk. Penduduk Jakarta saat ini sudah mencapai 12,7 juta pada saat siang hari dan 9,9 juta pada saat malam hari. Kegagalan mengatasi masalah di Jakarta akan berimbas kepada kegagalan mengatasi banyak masalah Indonesia. Lebih dari 70% uang beredar di Jakarta. Satu tempat terjadi masalah di Jakarta akan mengakibatkan tempat lain di luar Jakarta terkena imbas ekonomi dan sosialnya. Satu contoh kecil pada saat tanah abang terbakar, ribuan orang menganggur di Pekalongan hanya dari segmen tekstil.
Jakarta adalah salah satu titik utama penerapan teori polarisasi, pusat pertumbuhan teori kutub pertumbuhan, juga teori tempat sentral pada masa orde baru di Indonesia. Dengan harapan bila majunya Jakarta, maka daerah-daerah lain juga akan mengikutinya. Teori ini dikemukakan oleh ekonomi Perancis Francois Perroux pada tahun 1955. Inti dari teori ini menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi di tiap daerah tidak terjadi di sembarang tempat melainkan di lokasi tertentu yang disebut kutub pertumbuhan. Untuk mencapai tingkat pendapatan tinggi harus dibangun beberapa tempat pusat kegiatan ekonomi yang disebut dengan growth pole (kutub pertumbuhan).
Terpotret dalam syair Umbu Landu Paranggi “apa ada angin di Jakarta” yang merupakan protes keras terhadap pemakaian teori kutub pertumbuhan ini. Indonesia adalah negara kepulauan yang sejatinya tidak cocok menerapkan teori kutub pertumbuhan. Juga dibangun dengan teori benua bukan kepulauan. Tetapi penerapan teori ini tidak diimbangi apa yang disarankan oleh Myrdal yang juga penciptanya. Sentralisasi pembangunan suatu negara harus diimbangi dengan pembangunan desa, juga wilayah pinggiran dari pusat pertumbuhan tersebut. Gagalnya pembangunan desa dan pinggiran akan mengakibatkan apa yang disebut Everett lee dengan teori push and pull theory dimana para penduduk kota lain akan menuju ke pusat pertumbuhan. Inilah yang mencekam di Jakarta. Berdasar ata terkini Dukcapil DKI Jakarta, jumlah warga yang mudiksaja dari Ibu Kota sebanyak 3.616.774 jiwa. Aktivitas sentral dan banyaknya para pendatang yang tidak seimbang dengan kesiapan infrastruktur Jakarta kemudian menciptakan ratusan titik macet.
Sebuah rilis data mengejutkan kita semua bahwa kemacetan Jakarta telah mengakibatkan kerugian sebanyak 65 Trilyun padahal pada tahun 2015 DKI menganggarkan hanya 1 Trilun untuk seluruh DKI. Kita bisa memiliki 65 x lipat jembatan layang jika seandainya Jakarta tidak merugi dengan macetnya. Konsep macet sama halnya dengan pencernaan makanan. Ada yang masuk ada yang keluar. Jakarta tidak membatasi yang masuk juga tidak segera mengeluarkan yang tidak perlu sehingga terjadi komplikasi masalah-masalah yang tidak akan pernah selesai dengan pendekatan sektoral.
Kita masih ingat pada tahun 1970, laju perkembangan penduduk ini pernah coba ditekan oleh gubernur Ali Sadikin dengan menyatakan Jakarta sebagai "kota tertutup" bagi pendatang. Juga ditawarkan banyak sekali solusi dari para pakar seperti Contraflow juga gagal karena tidak memperhatikan arus lain di persimpangan jalan utama. Konsep 3in1 juga tidak efektif sama halnya ide penutupan jalan. Juga ada wacana Jakarta menerapkan ERP meniru di Singapore yang jelas akan diprotes masyarakat karena “money sentris” dan tidak membela rakyat. Plat Ganjil Genap yang hanya retorika belaka. Juga ada ide motor masuk tol karena sudah sangat kehabisan ide. Ada pula yang logis seperti penaikan pajak, moratorium penambahan kendaaraan di Jakarta
Solusi-solusi ini bagaikan obat sintesis yang akan menimbulkan efek lain, tidak merupakan solusi yang sangat menyeluruh. Kita tidak mungkin lagi menyiram kebakaran hutan dengan seember air. Kita mungkin sedang lupa dan panik bahwasanya solusi ini baru menjangkau solusi bagi kendaraan tapi belum menyentuh solusi kemanusiaan yang nyata. Solusi macet Jakarta adalah memahami manusianya seutuhnya. Perlu ide gila mengatasi macet Jakarta (Wadirlantas Polda Metro Jaya, AKBP Sambodo Purnomo). Sebuah ide gila yang radikal akan efektif jika kita membaca sejarah macet dan kegagalan solusinya di Jakarta.
Fitrah manusia adalah berjalan kaki alias mlaku. Setelah mengenal kendaraan mereka memakai motor dan mobil. Solusi dari macet Jakarta adalah kembali ke akar dari permasalahan sendiri yaitu manusia jakarta. Jakarta bukan Hongkong, bukan Singapore, bukan Jepang karena Jakarta adalah Jakarta. Kita bisa belajar dari kota atau negara lain tapi kita harus muncul sebagai diri sendiri dan apa yang Bob Sadino bilang “kita bukan mesin fotokopi”. Tidak bisa solusinya meniru mereka karena solusi di kota lain berangkat dari belajar manusianya. Kita mesti tahu bahwa revolusi mental yang sesungguhnya untuk menciptakan innerstrengh dan melahirkan generasi penerus yang fanatik terhadap jalan kaki, bersepeda, dan transportasi umum. Segmen dari revolusi ini adalah penduduk Jakarta usia 20-35 yang merupakan generasi muda dengan statistik terbesar pada piramida penduduknya. Ini penting sebelum faktor eksternal dibenahi seperti pengurangan kendaraan yang terus dituang di Jakarta.
Walk to work dapat menjadi titik balik peradaban di Jakarta asal dijalankan sungguh-sungguh, didukung semua elemen masyarakat juga dilakukan apresiasi terhadap jalan kaki ini. Solusi ini adalah solusi untuk manusia Jakarta bukan untuk Jakarta sebagai kota. Jika solusi ini sudah menjadi jiwa manusia Jakarta maka akan mudah membuat solusi sekunder lainnya Solusi ini menjadi titik berangkat solusi-solusi lain. Simpelnya solusi dibagi menjadi dua yaitu pembenahan mental dan kemudian baru muncul solusi eksternal berupa apresiasi terhadap pejalan kaki ataupun pengguna public transportation. Sebuah jakarta yang ramah untuk para pejalan kaki dan pengguna angkutan umum. Kita sering bermimpi mengubah Jakarta tetapi lupa mengubah diri sendiri untuk Jakarta (Budi Mulyawan)
Literatur:
http://bappedajakarta.go.id/
http://www.jakarta.go.id/web/bankdata/mostdownload
http://www.census.gov/hhes/commuting/
Arsip Tulisan
-
▼
2015
(25)
-
▼
Juli
(13)
- Ruang Publik
- Bertemu Max Weber Ketika Mudik
- Belajar dari Kota Jayapura
- Keliling Dunia Virtual
- Kita Yang Terteknologikan
- Degradasi Istilah
- Edisi Penutupan Ramadhan: Tafakkur Dari Robot
- Riset Geografi Manusia Saat Ini
- Geografi Pada Era Post Modern
- Ngopi Geo 3 Edisi Ramadhan: "Bedah Diri"
- Ngopi Geo 2: "Jakarta Urbanstep Paper (PDF)"
- Solusi Macet Jakarta: Mlaku!
- LGBT (Lo Gue Basi Banget)
-
▼
Juli
(13)
Tulisan Favorit
-
Frederich Ratzel (1844-1904) seorang penggagas geopolitik sebagai ilmu bumi politik (Political Geography), peletak dasar-dasar suprastrukt...
-
"Prof. Peter Hagget" Peter Haggett, CBE Sc.D. FBA lahir pada tanggal 24 Januari. Hagget adalah geograf dari Inggris yang terke...
-
Prof. Dr. I Made Sandy pernah menyatakan bahwa peta tanpa geografi akan ‘jalan' tetapi menjadi geograf / geografiwan tanpa peta tida...