Rabu, 29 Juli 2015

Ruang Publik

Para komplainers ngobrol dan diskusi punya alasan mereka sendiri untuk menyangkal para pelakunya, mulai dari label pengangguran, absurd, membuang waktu, hanya retorika tanpa action. Mereka lupa manusia adalah makhluk kata-kata, iqro, Nabi adam pun diistimewakan karena memahami kata dan makna. Umbu Landu sangat menghargai kata-kata sampai yakin bahwa Indonesia merdeka karena obrolan dan diskusi. Menurutnya, mantranya diucap tahun 1928 sebagai sumpah pemuda meskipun baru merdeka tahun 1945.

Di rumah indekos HOS Tjokroaminoto yang merupakan dapur nasionalisme, hampir setiap hari ada ngobrol dan diskusi tentang nasionalisme sampai rumah ini dijuluki dapur api nasionalisme oleh beberapa tokoh penting Indonesia. Pada tahun 1917. Kita ingat Marx meninggalkan Jerman ke Paris untuk beralih ke iklim pemikiran yang lebih liberal. Disinilah Mark bertemu Engels di sebuah Cafe bernama Cafe De La Regence dan memulai perubahan paling radikal dalam menumbangkan kapitalisme.

Mbah Sujiwo Tedjo pernah bertanya Darimana pergerakan dimulai? Apakah dikotamu banyak angkringan? Banyak orang nangkring dan jagongan santai?Selalu waspadalah kita pada warung, angkringan, kafe-kafe karena perubahan dan revolusi sering berawal disini, bukan dari kampus yang dalam bahasa Prof. Tomi Awuy semacam "kehidupan repetisi" (Budi Mulyawan)


Jumat, 24 Juli 2015

Bertemu Max Weber Ketika Mudik

Ketika mudik 2015 di rumah mertua di Pringsari Kabupaten Semarang, saya bertemu dengan Max Weber, eh maksud saya pengikuti Max Weber. Sesuai dengan bukunya: The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism (1958). Orang itu bernama Mujiono, yaitu orang desa yang sudah bertindakan rasional, teguh beragama Islam (ganti dari Prostestan), dan usaha mengejar keuntungan secara nalar (kapitalisme).

Kalau Soekarno menemukan Marhaen di Bandung yang kemudian terkenal dengan Marhaenisme, yaitu seorang petani yang berdikari dengan karyanya sendiri. Di Pringsari saya menemukan Mujinono, yang mungkin nanti bisa menjadi Mujionoisme, yaitu mengikuti tesis MaxWeber: seorang muslim yang teguh (aslinya agama protestan/Calvin), hemat (pangkal kaya), dan seorang petani sekaligus usahawan yang gigih.


Dalam beragama, Mujiono teguh dan menjadi santri tulen, meski dia tidak lulus sekolah dasar, dan hanya ngaji Sullam Safinah kepada mertua saya, tetapi selalu bersikap kritis, rajin dalam bekerja, dan hemat (mungkin agak pelit) dalam mengelola hartanya. Perkataannya yang spektakuler bagi saya, yaitu: “Kalau bulan Ramadhan biasanya orang membelanjakan uangnya untuk keperluan rumah tangga agak berlebih, tetapi saya (sekelurga) justru berkurang.”

Ayah dua putri yang sudah nikah semua ini, kini hidup sejahtera, dengan tiga rumah, satu mobil, satu sepeda motor, satu toko klontong, dan beberapa petak sawah dan kebun. Namun ini hebatnya, zakatnya tidak lupa. Dia zakat mal untuk penghasilannya, hasil sawahnya, dan perhiasannya. Dan kabarnya, sedang menunggu giliran haji dari pemerintah.

Apakah Anda ingin langsung meniru Mujiono, atau membaca buku Max Weber dulu? Monggo. Silahkan (Saiful Bahri)

Kamis, 23 Juli 2015

Belajar dari Kota Jayapura

Waktu itu 30 Juni 2015, dari tempat yang paling luas mata memandang kota dan laut. Dari bukit yang bertuliskan Jayapura City, dengan menghadap utara dari sini, sore itu menjadi teduh. Pelabuhan Numbay dengan peti kemasnya tersusun rapih, dua pulau kecil di timur laut pelabuhan itu, terlihat rumah-rumah terapung yang perairannya terus dilalui perahu-perahu kecil. 

Di bagian barat daya dari tempat saya berdiri itulah daratan kota yang menjadi pusat kehidupan dimana tepi pantai sampai bukit-bukit telah menjadi areal terbangun, jelas terlihat permukiman, hotel, rumah makan dan gedung perkantoran. Saya tatap langit dan awan yang bersih, tidak terlihat asap-asap ngebul seperti layaknya kawasan industri di kota-kota besar Indonesia.

"Foto: Kota Jayapura, Juni 2015"
Apa yang terlihat dari atas bukit tempat saya berdiri, ada sedikit persamaan dengan catatan BPS dimana distribusi PDRB Kota Jayapura tahun 2013 untuk sektor industri pengolahan tercatat 2,48 % atau terendah kedua setelah pertambangan dan penggalian 0,43 %. Dari sini kita dapat berfikir bahwa bahan-bahan kebutuhan pokok masyarakat Kota Jayapura baik primer, sekunder ataupun tersier, sebagian besar berasal dari luar Kota. Namun asumsi ini tidak akan akurat bila kita tidak turun dari bukit dan mengelilingi Kota Jayapura. 

... Keliling Kota Jayapura ...

Satu hal yang membuat saya kagum disini, infrastruktur jalan. Jarang sekali saya melewati jalan yang rusak ataupun berlubang baik di tepi pantai ataupun diatas bukit, bahkan ada jalan yang sedang dibangun diatas laut tepi pantai. Kata supir, itu merupakan jalan tol diatas laut. Ajaib sekali, saya tidak bisa membayangkan apa yang terjadi 10 atau 20 tahun lagi di kota ini bila infrastruktur itu benar-benar selesai, karena saat ini saja aktifitas kendaraan pribadi baik motor dan mobil sudah cukup ramai. 

Agar penasaran saya hilang dengan pembangunan di Kota Jayapura, maka saya mengunjungi Bappeda Kota Jayapura dan Bappeda Provinsi untuk sekedar diskusi dan melihat peta perencanaan. Ternyata jalan diatas laut yang dikira jalan tol adalah ring road yang pembangunannya baru selesai tahap satu, masih ada dua tahap lagi yang diperkirakan satu tahap selesai 3 – 4 tahun, dengan jalan ini diharapkan akses di Kota menjadi lebih mudah dan cepat. Selain itu, pemerintah pusat dan provinsi juga sedang melanjutkan pembangunan jalan dari Kota Jayapura menuju Wamena yang diperkirakan akan selesai tahun depan. Dengan adanya jalan ini diharapkan harga-harga tidak terlalu tinggi di papua pedalaman seperti di Wamena yang masih mengandalkan tranportasi udara.

…. Perbandingan harga di Papua…

“Dari mana semen berasal?” tanya salah seorang pegawai Bappeda Provinsi. “Tentu saja dari Gresik ke Surabaya, lalu diangkut melalui kapal menuju pelabuhan Numbay di Kota Jayapura dan pelabuhan di Kota Marauke. Dari Marauke dibawa menuju kabupaten Boven Digoel, harga semen itu menjadi 200 ribu/sak melalui jalur darat. Sedangkan untuk ke Wamena mesti melalui jalur udara dengan pesawat kecil dari Kota Jayapura, tidak heran harga semen mencapai 2 juta/sak disana.” Dengan lantang ia bicara sambil tersenyum bercerita dengan ramah, “kami berharap pembangunan akses dari Kota Jayapura menuju Wamena agar segera terealisir agar harga tidak terlalu melonjak saat mencapai pedalaman…” 
Gambar: Sketsa Perjalanan Kota Jayapura - Wamena dan Marauke - Boven Digoel

Kembali ke Kota Jayapura….

5 hari di Kota Jayapura tidaklah bisa menggambarkan seluruh aktifitas kehidupan, namun setidaknya ada yang bisa dilihat dan dipelajari sedikit dari sisi sosial, ekonomi dan lingkungan. Pendatang cukup dominan dan menguasai ekonomi di Kota Jayapura, seperti nelayan yang sebagian besar adalah pendatang dari Sulawesi selatan dan tenggara, seperti Bugis, Makassar dan Buton. Merekalah yang menguasai harga-harga tangkapan ikan, serta jasa seperti warung kelontong, rental mobil dan warnet. Ada satu cinema XXI di mol APO, tanah yang menjadi pusat ekonomi itu ternyata dimiliki oleh orang keturunan Cina yang menjadi orang terkaya di Kota Jayapura, dia juga memiliki perusahaan air minum lokal satu-satunya. Pertanian belum maksimal dan sangat jarang dijumpai. Di pemerintahan banyak dijumpai orang medan selain orang dari Sulawesi yang sudah menetap dari 20 tahunan yang lalu.

Lalu dimana orang Papua bekerja?
Foto: Penjual Pinang, Kota Jayapura
Di pinggir jalan, mereka banyak yang menjual buah pinang dan buah matoa. Di hotel dan gedung perkantoran banyak yang menjadi security. Di pemerintahan tentunya yang paling banyak dijumpai, entah sebagai staf biasa ada juga yang menjadi pejabat. Ada orang pendatang yang sudah lama menetap di sana bercerita kepada saya bahwa orang papua di sini masih mengandalkan pekerjaan yang sifatnya langsung menghasilkan uang atau perputarannya cepat, seperti menjual pinang, karena dengan itu mereka tidak pusing-pusing berfikir bagaimana caranya memutar uang. Contoh lainnya yang saat ini sedang popular, batu akik mereka cari di gunung lalu dijual dalam keadaan mentah.

Tidak ada industri besar, tidak ada pertanian, hanya gedung bangunan, restoran, hotel dan perdagangan yang paling sering dijumpai di Kota Jayapura. Hal ini sejalan dengan catatan dari BPS dimana distribusi PDRB Kota Jayapura tahun 2013 paling besar ditempati oleh sektor bangunan 26,05 % lalu diikuti perdagangan hotel dan restoran 19,5 %. Ketiga pengankutan dan komunikasi 18,71 % dan keuangan, persewaan dan Jasa Perusahaan 17,33 %, sedangkan pertanian hanya 3,57 %.
Grafik: BPS Kota Jayapura
….
Tingginya pertumbuhan ekonomi Kota Jayapura tahun 2013 sebesar 12,28 % dan tahun 2010 sebesar 8,99 %, bisa jadi tidak sama dengan tingkat kemakmuran orang papua asli di Kota tersebut, bahkan bisa saja berbanding terbalik. Hal ini mesti kita lihat dari jumlah penduduk dan tingkat migrasi. 2013 jumlah penduduk Kota Jayapura 272.554 orang atau bertambah 1,58 % dari tahun sebelumnya dengan jumlah penduduk miskin tahun 2013 sebanyak 44.300 orang dan tahun 2009 sebanyak 39.050 orang (BPS Kota Jayapura).

Di sektor pendidikan angka parsisipasi sekolah (APS) kelompok umur 7-12 = 98,6 dan 13-15 = 92,6 dan semakin berumur semakin kecil yaitu 16-18 = 68,00. Dapat dikatakan anak SMU semakin sedikit dibanding anak SMP. Di Provinsi Papua sendiri Kota Jayapura menempati angka IPM (Indeks Pembangunan Manusia) tertinggi dibanding kabupaten/kota lainnya yaitu sebesar 77,12. Bisa jadi Kota Jayaputa adalah kabupaten/kota termaju di Provinsi Papua walaupun masih banyak kekurangannya.

…. Kemana arah pembangunan Kota Jayapura …
Foto: Permukiman di Kota Jayapura
Kita ketahui bahwa Kota Jayapura merupakan tempat penyokong kebutuhan pokok untuk kabpuaten/kota lainnya di Provinsi Papua. Kota ini bisa jadi menjadi prioritas pembangunan dan tempat pencari kerja yang menjadi daya tarik bagi para pendatang untuk hidup. Sumberdaya alam yang masih banyak dan indah, serta rahasia geologi yang masih belum terpublikasi bisa saja menjadi rencana ekspansi perusahaan asing yang sudah jelas menguasai tambang seperti Freeport. Perkebunan kelapa sawit mulai merambah dibeberapa wilayah, entah apakah bisa seperti Kalimantan yang kehilangan hutannya karena kepentingan ekonomi. 

Bila saya orang papua tentunya ini sangat menyedihkan, melihat generasi keturunan yang nantinya menjadi apa? Karena semakin terkikis oleh para pendatang. Sumberdaya alamnya melimpah tapi tidak tahu untuk siapa? Mengapa kami orang papua malah tinggal di bukit-bukit dengan lereng cukup terjal? Kami tinggal dengan sangat sederhana, tidak mengenal smartphone, tidak mengenal mol, tidak mengenal makanan yang lezat, kami hanya mengenal pinang dan sepak bola. Di laut penuh dengan nelayan pendatang, di pemerintahaan penuh dengan pendatang. Ahhh… tapi ini Indonesia, berbeda beda tapi satu jua. Kami heran mengapa BBM naik sedikit saja di bumi barat Indonesia sudah ramai penuh demo, sedangkan disini kami terbiasa mahal, jarang kami demo karena harga mahal. Kami biasa beralaskan sandal jepit atau tak beralas berjalan di terik matahari. Kami sangatlah toleransi, belum pernah di Kota Jayapura ini ada konflik agama, kami menghormati orang barat, tapi bisakah lihat sedikit saja sosial di sini, pendidikan disini, kesehatan disini. Mengapa di Indonesia barat begitu maju dan disini terus begini? Atau karena hanya jumlah penduduk kami yang kecil?

Kalau memang alasanya sumberdaya manusia kami yang belum mampu mengelola sumberdaya alam, alanghkah baiknya prioritas pembangunan di Kota Jayapura adalah pembangunan manusianya seperti pendidikannya baik universitas, teknologi dan sekolah menengah kejuruan.

Angka-angka yang tercatat di BPS ataupun lembaga lain, serta peta-peta yang terpetakan oleh instansi-intansi tidaklah cukup mengenal kami, hai orang barat, datanglah kesini, bukan hanya untuk melihat indahnya raja ampat, bukan hanya melihat indahnya karang kami, tapi lihatlah kami, lihat cara kami berjalan, lihat cara kami memakan, dan lihat cara kami tidur. Setidaknya bisa melihat betapa bersyukurnya diri kalian.

…. Tanah Adat ....
Foto: Pantai Holtikamp, Juli 2015
Tahun 2008 nomor 23 terbit peraturan daerah khusus Proivinsi Papua tentang hak ulayat masyarakat hukum adat dan hak perorangan warga masyarakat hukum adat atas tanah. Hukum ini untuk perlindungan dan pengelolaan sumberdaya alam masyarakat hukum adat papua dan hak ulayat. Walau BPN memiliki sertifikat tanah yang bisa dibeli para investor atau perorangan, itu belum resmi sebelum melalui langkah hukum adat. Hal ini bisa menjadi perlindungan atas hak-hak orang papua, walau ada juga dampak negatifnya.

Sebagai contoh wilayah pariwisata pantai yang tidak ada pengelolanya menjadi kotor, tapi pengunjung tetap harus membayar ke orang lokal dengan harga yang mereka tetapkan sendiri. Sayangnya mereka belum bisa memanajemen tempat pariwisata tersebut. Para pendatang atau investor menjadi kesulitan dalam melakukan bisnis apapun di suatu area lahan, karena akan banyak claim kepemilikan lahan adat dari banyak orang papua, harga tanah akan menjadi berkali-kali lipat dari sebenarnya yang ditetapkan BPN. Seandainya saja peta komunal atau peta hak adat bisa dipetakan, mungkin akan lebih mudah persoalan tanah di Papua. PR untuk para geograf… 

Selasa, 21 Juli 2015

Keliling Dunia Virtual


Tengah malam Ramadhan ini saya sering berkeliling dunia. Kadang iseng mampir melihat raut muka orang-orang korea utara yang muram dan tidak bisa ketawa maksimal. Di sana kehidupan mereka sangat sulit sampai model rambut pun dibatasi dan memiliki kitab suci dianggap perbuatan kriminal. Benar-benar mereka materialis sejati sampai pahlawannya harus utuh dibalsam buat semangat perjuangan: Kim Jong Il, sama dengan madhzab komunis pembalsaman jenazah Stalin-Lenin di Russia sana.

Saya juga sedikit menyimak kehidupan Sunni garis keras di taliban yang wanitanya harus memakai cadar. Disana sama seperti kita Indonesia, sekolah terbagi menjadi menjadi sekolah umum dan madrasah. Seorang gadis aliran sekolah umum skeptis pada madrasah karena saudaranya menjadi "ekstrim menurutnya" sebab tafsir yang terlalu kaku terhadap agama.

Pindah negara arab, saya jadi tahu sedikit perihal perbudakan di Yaman dan juga budak konstruksi dibalik Dubai yang megah. Ada juga kehidupan masyarakat miskin di tengah glamor minyak Saudi arabia (cursed of black gold). Seperti di eropa sana juga ada penampakan gelandangan di London yang tidur di gang-gang sempit. Mereka kadang membawa kertas bertuliskan: "lapar, haus, dan tanpa pekerjaan"

Betapa mudahnya logografi sekarang. Lewat dunia virtual kita bisa jalan-jalan seperti Herodotus jika suka mencatat dan menyimak video penjelajahan yang kita lihat. demikian catatan pagi ini. Barokah youtube. (Budi Mulyawan)

Kita Yang Terteknologikan

Hari ini, hari raya Idul Fitri yang kesekian untuk saya dan melihat berbagai update dari banyak teman mengenai Idul Fitri dalam lingkungan mereka pada beberapa media sosial. Tentu saja ini bukan hal buruk. Sebagai manusia yang pernah hidup pada era 90-an saya sempat merasakan awal perkembangan teknologi komunikasi, perkembangannya sangat cepat menurut saya. Cepatnya perkembangan teknologi komunikasi itu tidak dapat saya rasakan karena saya tenggelam juga di dalamnya.

Dulu teknologi hanya menjadi alat, sekarang teknologi menjadi tempat seluruh kegiatan hidup sehari-hari itu telah meletak, dan itu sepertinya membentuk cara pikir dan cara tindak kita. Ingin serba cepat, ingin mendapatkan banyak hal.

Berangkat dari hal tersebut, ada beberapa hal yang menjadi kondisi mengenai diri kita terhadap teknologi.

1. Pelan

Sekarang kata ‘pelan’, ‘santai’, atau ‘lambat’ menjadi negatif konotasinya. Apakah karena kita pemuja kecepatan?

Balas chat harus cepat, accept friend request harus cepat, update berita harus cepat, mengakses suatu hal harus cepat. As soon as possible sepertinya nyaris menjadi moto bagi semua aspek di dunia ini, apalagi setelah teknologi memudahkan kita bahkan mendukung kita untuk serba cepat.

Apakah dengan berpelan-pelan kita akan benar-benar ketinggalan? Bukankah dengan berpelan-pelan kita jadi penuh penghayatan? Bukankah bercepat-cepat kadang  membuat kita menjadi tidak mengetahui apa yang kita kejar? Pasti akan terasa perbedaannya jika kita berangkat kerja yang biasanya dengan kendaraan, lalu pada satu hari kita berangkat berjalan kaki. Akan ada banyak hal yang setiap hari kalian lalui namun tidak kalian sadari. Perbedaan lainnya adalah jika kalian berjalan kaki, kalian akan lebih lelah.

2. Fokus

Fokus mulai sulit untuk diamalkan, kita telah didukung oleh teknologi untuk (merasa) bisa berada dalam keadaan multi-tasking. Sesungguhnya multi-tasking itu cenderung berbahaya and multi-tasking doesn’t work, it gets you nowhere.

Selain itu, karena teknologi komunikasi dan informasi kita jadi memiliki kemudahan mengakses hal-hal yang mendadak kita ingin tahu tapi tidak relevan terhadap tujuan kita. Karena keserakahan, tidak ingin tertinggal. Kita jadi lengket dengan gadget karena hal itu.

Misalnya, ke toilet membawa HP, nonton tivi sambil twitteran, belajar sambil main games. Bahkan mungkin sekarang beberapa sedang berlatih untuk melihat mata lawan bicara sementara tangannya sibuk chatting.

3. Sepi

Kapan terakhir merasakan benar-benar sepi dan sibuk sendiri? Apa saat itu kamu benar-benar sendiri? Sesendirinya kita, kita sendiri bersama. Alone together. Karena dalam kesendirian kita masih dapat mengakses keramaian. Karena masih dikunjungi pesan dari chat, group chat, dan obrolan-obrolan orang di media sosial.

4. Absensi

Gejala FOMO mulai mewabah. Gejala fear of missing out ini adalah takut dianggap hilang dari pergaulan, takut dianggap ketinggalan jaman. Kita dibuat terus harus melapor, melapor melalui media sosial. Padahal, apa salahnya dengan ketidakhadiran? Apa salahnya dengan mengada di realitas yang sedang kita jalani di depan mata kita?

5. Berkecukupan

Salah satu dampak teknologi informasi adalah kita menjadi sulit untuk merasa cukup. Banyak cara dan kemudahan untuk mencapai suatu informasi. Bagus jika informasi yang kita dapatkan adalah informasi yang valid, bagaimana jika informasi yang didapatkan adalah palsu? Sudah kepo sedemikiannya ternyata informasinya palsu, sia-sia lah waktu kamu. Mungkin tantangan manusia saat ini adalah melatih diri mereka untuk merasa cukup dan tidak merasa tersiksa apabila tidak menuruti hasrat sesaat.

Pandai-pandailah bersiasat, dan sepakati dengan diri sendiri bahwa teknologi hanyalah alat.


Kamis, 16 Juli 2015

Degradasi Istilah

Ada istilah mulutmu harimaumu apa yang hendak kamu katakan harus berhati-hati. Memang kata kadang mempunyai banyak makna, tetapi tidak semua memahami apa makna sesungguh kata tersebut. Banyak orang yang memlintirkan makna dari sebuah kata. Akhirnya orang memahaminya dengan makna yang tidak sebenarnya, ini yang membuat keliru. Ironisnya lagi kekeliruan ini, seperti sudah biasa dan terbiasa sehingga orang tidak tau apa makna yang sesungguhnya dari sebuah kata. Parahnya lagi kekeliruan membuat pola pikir seseorang yang mempengaruhi tindakan dan tingkah lakunya.

Misalnya saja pada ketiga kata berikut, selat, pulau terluar, pribumi dan non-pribumi. Ingatkah kalian dahulu, tentang pelajaran ilmu pengetahuan sosial. Mungkin pertama kali bapak atau ibu guru mengajarkan saat sekolah dasar. Entah mengapa bapak atau ibu guru mengartikan selat sebagai laut yang memisahkan dua pulau. Memisahkan, ini yang perlu digarisbawahi dan ditekankan. Iya memisahkan. Padahal menurut kamus besar Bahasa Indonesia sebagai rujukan, selat mempunyai pengertian laut diantara dua pulau. Tidak ada kata memisahkan, entah mengapa kebanyakan bapak atau ibu guru mengajarkan memishkan. Mengapa tidak menyebutkan menghubungkan. Itu kan lebih baik daripada memisahkan. Sepele sih tapi........

Sabang, Merauke, Miangas, Pulau Rote, Entikong, Sipadan dan Ligitan. Sekarang Sipadan dan Ligitan bukan milik Indonesia. Internasional Court of Justice (ICJ) atau lebih familiar Mahkammah Internasional, pada tanggal 17 desember 2002 memutuskan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan bukan merupakan bagian dari NKRI. Dari sebanyak tujuh belas juri hanya satu yg memihak ke indonesia. Alhasil sah secara hukum internasional sipadan ligitan bukan lagi milik indonesia. Lalu yang lebih menyakitkan lagi, salah banyak dari satu alasan adalah malaysia telah membangun sarana dan prasarana di kedua pulau tersebut. Lucu memang tetapi itulah kenyataannya. Sebenarnya yang mau dibahas ya tentang makna sebuah kata. Sebagian orang sering menyebut Sabang, Merauke, Miangas, dan Entikong dengan sebutan pulau terluar atau wilayah terluar. Terluar. Luar berarti daerah tempat dan sebagainya yang tidak merupakan bagian dari sesuatu itu sendiri. Pengertian tersebut berasal dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Mengapa mulai dari presiden pejabat dan tetek bengeknya menyebutnya terluar, padahal secara sah dan resmi pulau-pulau dan wilayah tersebut milik Indonesia dan merupakan bagian dari NKRI. Bahkan, media, kalangan intelektual, dan akademisi pun tetap menyebutnya TERLUAR. Hanya segelintir org saja yang menyebutknya terdepan. Tanya mengapa? Sepele sih, tapi...........

Kata yang terakhir akan saya bahas adalah pribumi dan non-pribumi. Istilah ini muncul sejak zaman kolonial Belanda. Mereka sering menyebutnya inlanders. Kalau menurut orang Indonesia adalah pribumi. Memang istilah atau kata tersebut digunakan untuk membeda-bedakan antara penduduk lokal dan orang asing atau bahasa kerennya rasis. Rasisme memang isu lama yang masih ada sampai sekarang. Namun, pribumi dan nonpribumi pada zaman sekarang khususnya di Indonesia digunakan untuk membedakan antara warga asli Indonesia dengan warga keturunan tionghoa. Diskriminasi sempat terjadi pada mei 1998 dimana runtuhnya rezim orde baru, tetapi saat itu entah siapa yang memulai sampai pada akhirnya terjadi kericuhan yang berujung kerusuhan massal dan sampai pembakaran dan penjarahan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Pribumi berarti penghuni asli yang berasal dari tempat yang bersangkutan. Istilah pribumi dan nonpribumi cenderung rawan menimbulkan konflik.

Seperti pada awalnya saya katakan, memang salah memaknai suatu kata atau penggunaan suatu istilah yang keliru terlihat sepele, tetapi saya sangat tidak setuju. Misalnya saja ,istilah selat adalah laut yang memisahkan antara dua pulau, seolah-olah ini menimbulka mindset atau pola pikir terpisahkan, atau terkotak-kotakan. Orang yang tinggal di Pulau Jawa dipisahkan dari yang tinggal di Pulau Kalimantan, yang tinggal di Pulau Kalimantan dipisahkan dari orang yang tinggal di Pulau Madura, dan begitu seterusnya untuk pulau-pulau lainnya. Padahal Indonesia adalah negara kepulauan. Oleh karena itu, mereka menjadi merasa dirinya sendiri bukan satu indonesia, lain hal jika digunakan istilah menghubungkan, antara Pulau Jawa, Pulau Kalimantaan, Madura, Pulau Sumatera dan pulau lainnya. Mereka terhubung mempunyai hubungan. Akibatnya dari penggunaan istilah itu adalah rawan konflik dan itu yang sering terjadi negeriku tercinta Indonesia Raya.

Adalagi penggunaan istilah pulau terluar. Seperti tadi terluar berarti, bukan bagian dari sesuatu. Kalau Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan (dahulu sblm milik malaysia) sering disebut pulau terluar Indonesia, tak heran jika negara tetangga Malaysia mengambilnya. Mungkin Malaysia sering mendengar presiden menyebutkan pulau terluar sehingga berani membangun karena dua pulau tersebut bukan milik Indonesia. Selain itu, karena pejabat negara menyebutkan pulau terluar terluar berarti bukan milik Indonesia mereka malas membangun sarana dan prasarana disana. Liat saja kebanyakan pulau-pulau terdepan dan daerah terdepan tak tersentuh oleh nikmatnya pembangunan. Memang itu sepele, tetapi sudah ada buktinya ada pulau yang akhirnya "direrbut" oleh negara tetangga. Jadi, kalau anda sekalian masih mau menyebutkan pulau terluar jangan heran kalau di masa mendatang ada pulau yang hilang lagi diambil negara tetangga.

Dan yang terakhir penggunaan istilah pribumi dan nonpribumi sudah tidak tepat lagi. Menurut saya, pribumi dan nonpribumi bukan berarti warga atau penduduk asli. Sepele sih tetapi, jika digunakan tidak tepat istilah ini sangat rawan menimbulkan konflik. Lebih baik pribumi diartikan seperti ini, pri dapat diartikan pro atau setuju atau benar. Bumi berarti merujuk pada negara, negara lebih sempit lagi merujuk pada rakyat. Jadi pribumi adalah prorakyat memihak rakyat, dan non pribumi adalah tidak prorakyat. Jadi, Soe Hok Gie, Kwik Kian Gie, Tan Malaka, sampai Lim Swie King mereka adalah pribumi karena mereka membela rakyat Indonesia melalui caranya masing-masing. Dan yang seharusnya disebut non pribumi adalah mereka-mereka yang mengaku lahir di Indonesia, tinggal di Indonesia tetapi tetap menggerogoti hak rakyat dengan korupsi (Kelvin)

Rabu, 15 Juli 2015

Edisi Penutupan Ramadhan: Tafakkur Dari Robot

Logika dan sains membawa kita hanya A ke B tapi imajinasi bisa membawamu kemanapun kata Einstein. Itu betul-betul terjadi sekarang saat science dan art sangat tidak jelas bedanya, dimana batas antara fiksi dan non fiksi sudah semakin bias. Lahirnya star wars, starship troopers, gundam, transformers adalah sebab khayalan kreatornya. Tapi percaya atau tidak imajinasi seni mereka menjadi imam bagi sains, yang kemudian mengejar perkembangan ini.

Setahun lagi kita benar-benar akan melihat bagaimana duel ala transformer antara Megabot melawan Kuratas. Megabot diciptakan oleh Megabot.inc, sebuah perusahaan Giant Robot di Amerika sedangkan Kuratas diciptakan oleh Suidobashi heavy industries yang terinspirasi Anime.Mereka akan benar-benar bertarung dengan memakai senjata otomatis (meskipun pelurunya bukan misil tapi paint ball)


Di Amerika sana Darpa, Boston Dynamics, juga Google sedang benar-benar mengembangkan proyek-proyek robotnya. Satu karya mereka yang saya kagumi yaitu mikrodrone, drone seukuran serangga dan burung untuk proyek mata-mata. Saya juga kagum pada mantis, sebuah hexabot laba-laba dari Inggris yang mungkin di masa depan akan menggantikan peran Tank karena sangat stabil pada tes terrainnya.Di masa depan perang akan memakai robot kata konsultan pertahanan Australia.
Sementara kita disini masih mlongo dan meributkan masalah logika mistik, NU-Muhammadiyyah, Sunni-Syiah juga khilafiyah agama. Salam fentung! (Budi Mulyawan)

Selasa, 14 Juli 2015

Riset Geografi Manusia Saat Ini

Barney Warf, et al. (2006) menjelaskan dalam Encyclopedia of Human Geography dalam bab mengenai Contrasting Approaches to Social Geography: Theoritical Condition tentang konsekuensi geograf yang mengambil riset dalam bagian geografi manusia. Menurutnya dengan semakin berkembangnya masalah sosial dan politik maka menjadikan geograf yang memiliki pandangan pola keruangan untuk membuat model keruangan untuk membuat karakteristik perbedaan populasi, pemukiman, dan kebutuhan pelayanan sosial.

Geografi manusia kebanyakan keberatan dan menolak deskripsi statistik dan rumus-rumus matematis untuk menjelaskan fenomena dunia sosial. Mereka mengemukakan mengenai terbatasnya penggunaan teknik tersebut untuk mengetahui dan mengungkap kompleksitas, jalinan, dan pokok permasalahan sosial dan bisa merusak pemaknaan kehidupan sehari-hari individu atau masyarakat. Pendekatan geografi manusia penggambarannya mengacu kepada fenomenologi, filosofi, dan etnografi untuk menjelaskan kehidupan manusia lebih jauh, lebih akrab, dan daripada yang dianjurkan oleh ilmuwan keruangan.

Paralel dengan perkembangan geografi manusia, geografi radikal berkembang lebih radikal tentunya. Mereka menolak tradisi pemetaan dan menjelaskan mengenai ruang sosial (sociospatial). Kesejahteraan, Marxisme dan feminisme menjadi hal yang lebih penting dan dikritik daripada menerima status quo untuk dipetakan dan dibuat model. Kritik mereka lebih tentang kesenjangan sosial dalam pemenuhan kebutuhan dasar, hukum sosial, produksi, masalah gender untuk dijadikan analisa sosial yang lebih luas.

Perkembangan terbaru terjadi di Eropa, postmodern dan poststrukturalisme telah mempraktekan pertimbangan yang bersifat skeptis terhadap penjelasan-penjelasan mengenai laporan ilmiah radikalisme dalam geografi sosial. Para sarjana lebih tertarik meneliti sosial dan budaya spesifik yang menjadi bingkai perbedaan kehidupan dan dunia sosial. Kemudian mereka menyebarkan ide-ide mengenai perbedaan sosial, ruang, tempat, dan kekuasaan.

Konsekuensi dari pendekatan dasar empiris-analitis dalam geografi manusia adalah:
1. Fakta akan bisa terungkap
2. Peneliti harus terjun di dunia nyata
3. Bebas nilai (value free) dan non bias
4. Menggunakan analisis deskriptif

Data yang diambil adalah data kualitatif berupa wawancara mendalam. Karakter data kualitatif adalah humanistik, subyektif, induktif, personal, idealistik, internal. Sedangkan data diambil dari:
1. Pembicaraan dan dialog
2. Data primer diambil dari interview dan observasi langsung
3. Data sekunder diambil dari dokumen, gambar, dsb

Untuk menganalisa data kualitatif maka dibutuhkan
1. Deskripsi
2. Klasifikasi
3. Koneksi antar kelas
4. Teknik kuantitatif (jika dibutuhkan)


Sumber: Dari Institute of British Geographer and the Association of American Geographers, dalam Kitchen and Tate, 2000

(Budi Mulyawan)

Geografi Pada Era Post Modern

Dr. Triarko Nurlambang (2002) dalam jurnalnya “Geografi Saat Ini” menjelaskan time series perkembangan Geografi hingga era extreme geography:

  • 1940-1950, Paradigma empirisme dengan kajian regional, human ecology, cultural geography dan isu isu lingkungan hidup  
  • 1950-1960, Pendekatan kuantitatif dan modeling dalam analisa geografi, era ini disebut era kuantitatif atau aliran positivism
  • 1970-1975, pendekatan behavioralism, feminism
  • 1975-1980, Pendekatan Marxism, structuralism, managerialism, munculah radical geography
  • 1980-1990, Munculah post modernism karena banyak muncul pendekatan-pendekatan baru dalam ilmu sosial yang lebih holistik dan multi disiplin, pendekatan ini menekankan pada relativism
  • 1990, Mulailah ditemukan konsep stateless, borderless, placeless, wireless
  • 1997, Munculah istilah extreme geography (David J. Nemeth) yang menekankan pada kebebasan berpikir dan mengekspresikan pikirannya. Munculah istilah “Just do it”, “Geography is what geographer do”, “Just doing Geography”, “Put the question all the basic asumption”, “cross the boundaries without the license”, “Present the unpresentable”, “Never complain, never explain”, “Expect the worst, hope for the best” aliran ini yang membuat geografi lebih diterima masyarakat
(Budi Mulyawan)

Jumat, 03 Juli 2015

Ngopi Geo 3 Edisi Ramadhan: "Bedah Diri"

“Bukan hanya rohis yang bisa melakukan muhasabah, kita semua bisa”. Waktu menunjukan pukul 00.00 dini hari tanda diskusi harus dimulai. Kami memulai ngopi geo ke-3 dengan membaca bismillah. Aftaf selaku moderator membuka dengan mengajak kita bersama merenungi Ramadhan diiringi dengan lagu lama dari Novia Kolopaking: serahkanlah hidup dan matimu. Lagu yang sangat cocok dengan tema perjuangan. Kami pun menyanyi bersama:

Dengan menyebut nama Allah
Jalani hidupmu, yakinkan niatmu
Jangan pernah ragu
Dengan menyebut nama Allah
Bulatkan tekadmu, menempuh nasibmu
Kemanapun menuju

Serahkanlah hidup dan matimu
Serahkan pada Allah semata
Serahkan  duka gembiramu
Agar damai senantiasa hatimu

"Peserta Ngopi Geo 3"
Tema kali ini adalah bedah diri (Muhasabah) di bulan ramadhan ala geograf. Budi Mulyawan mendapat giliran pertama untuk menceritakan bedah dirinya selepas dari geografi. Budi ditanya perihal “penyimpangan setelah lulus dari geografi” seperti yang dibahas dalam ngopi geo perdana. Semua yang hadir tahu sekarang Budi menekuni batik. Budi kemudian mengajak semua yang hadir mempertanyakan ulang: “menyimpang itu apa benar-benar menyimpang? Ataukah justru tersesat? Apakah kalian semua pernah mendengar tersesat di jalan yang benar? Saya di batikpun tersesat dan tidak sengaja. Ada orang yang memesan batik pada saya dan kemudian lupa mengambilnya. Saya pun mencoba menjualnya eh ternyata laku. Mungkin ini yang disebut tersesat tapi di jalan yang benar. Akhirnya saya mulai menekuni bidang ini, ternyata sangat mengasyikan.”

“Tapi dahulu pernah pada semester 2 saya berkuliah batik. Mungkin ini seperti doa, kita tidak tahu bahwa pada akhir kuliah doa ini terkabul dan menjadi jalan hidup. Saya kuliah 145 sks tapi 1 sks ini justru menjadi obor di hidup saya selama ini. Dulu saya juga seperti yang lain, mencoba mengajukan beasiswa S2 juga apply kerja. Juga ditawari sebuah bank Jepang. Sempat bekerja membantu dosen tapi sepertinya passion saya bukan di kota. Akhirnya saya pulang ke kampung saya untuk belajar lagi batik dan pertanian.”

"Budi Membahas Batik, Takdirnya"
“Saya mengalami dilema antara batik sebagai komoditas dan sebagai kesenian. Solusinya justru akhirnya saya menekuni semua bidang di batik dari mulai penjualan sampai mencoba berkarya sendiri, mungkin ini cara bagaimana belajar hidup sebagai manusia. Di perjalanan ini saya mencoba merenung tentang kesenian dalam wilayah budaya. Kesenian adalah sebuah cara untuk melihat dan mengerti kelemahan diri. Peta itu sendiri juga termasuk kesenian. Makanya dikatakan bahwa geography is between art and science, sangat akrab dengan kesenian.

“Acara ngopi geo sendiri sebenarnya acara iseng. Karena Daydeh dan Saya sering berdiskusi sampai larut mencari “bagaimana hakikat geografi”. Acara ini juga bukan acara rutin, malah ini jadinya acara tidak rutin. Seketemunya aja. Ternyata asyik membahas geografi sebagai fenomena dengan sudut pandang sciencenya. Fenomena adalah bentuk sementara geografi sebagai ilmu akan tetap. Kemudian kami iseng pula membuat situs dan memasukan hasil diskusi ke situs geografimanusia.com”

“Saya setuju sekali dengan Dyota, jangan pernah menunggu kaya untuk berbuat sesuatu. Itu fatamorgana. Semua keadaan yang diberikan Allah pada kita adalah cobaan di tengah perintah kita harus bermanfaat bagi masyarakat. Bagi saya bersekolah itu penting, tapi tidak sekolah itu juga lebih penting. Toh kita bersekolah untuk tidak sekolah, artinya porsi hidup “sekolah dan tidak sekolah kita” lebih banyak tidak sekolah. Sekolah yang utama bagi kita adalah memahami hakikat alam raya ini.”

“Sering saya bilang bahwa kita ini ditakdirkan hidup di jaman edan. Orang pintar kalah dengan kekuasaan dan pemerintah alias ilmu tidak lagi utama. Sedangkan orang-orang di pemerintahan kalah dengan uang dan pengusaha. Mayoritas kebijakan kita saat ini dikendalikan oleh politik uang. Tapi masih ada harapan besar sebab ternyata masih ada yang ditakuti para pengusaha yaitu dukun. Sebenarnya saya ingin menjadi dukun, puncak posisi tertinggi sampai menemukan bahwa di atas dukun itu ada para kekasih tuhan. Sekarang bagi saya cita-cita selain menjadi kekasih tuhan adalah cita-cita yang tidak menarik. Kita bisa bekerja apapun dengan profesi apapun tapi masih dalam wilayah dikasihi Tuhan. Tukang sampah yang dikasihi Tuhan masih lebih baik dari para eksekutif muda yang memperoleh kutukanNYa”

“Akal pikir itu bebas tapi kita perlu melakukan batas, mencari parameter dan persepsi sendiri-sendiri, itulah kegunaan dari berdiskusi. Geografi itu adalah takdir lalu kebetulan saja kita menekuninya. Geografi belum bisa berfungsi maksimal di Indonesia karena SDMnya masih sedikit sekali. Padahal di dunia ini Cuma ada dua kebenaran yaitu kebenaran waktu dan kebenaran ruang. Ilmu yang paling bisa menjangkaunya adalah sejarah dan geografi. Negeri manapun yang mempraktekan dua ilmu ini akan menjadi negeri yang sejahtera. Baldatun thoyibah, tapi juga perlu kebenaran Ketuhanan supaya menjadi Wa Robbun Ghofuur”

“Kembali ke geografi, kita kalah dalam semua sektor juga karena banyak anak muda larinya ke company. Geografi sendiri mestinya melindungi orang-orang kecil.  Di Batik, saya menemukan ilmu yang asyik namun tidak melepas geografi, dan saya ingin semua orang tidak minder dengan bidang pekerjaannya apapun jurusannya”. Budi menutup semua muhasabahnya dengan satu lagu tentang perpisahan dari MLTR: Thats why you go.

Giliran muhasabah tiba di Hendri. Hendri bercerita dulu dia sudah keterima di STT telkom tapi Ibu saya tak mau saya jauh darinya. “Dulu saya kurang fokus kuliah dan banyak kegiatan, ada berdagang dan main juga. Selepas kuliah saya sempet kerja di Danu (bukapeta.com) lalu keluar karena ingin membangun bisnis sendiri. Ternyata ada musibah yang menimpa saya dan keluarga sehingga urung membuat PT. Sepertinya ini sinyal bahwa saya tidak mesti ke sana. Sekarang saya pun masih mencari passion”

"Hendry dan Pengalaman Pahitnya"
“Saya merasa bahwa saat ini orientasi orang sudah ke uang semua. Saya kagum pada Danu founder bukapeta.com. Di sisi lain dia memperjuangkan idealisme geografi, di sisi yang lainnya dia juga berbisnis”. Tapi tidak harus geo juga, di luar geo kita pun bisa selama masih terus berkontribusi. Intinya kontribusi”

Dyota memuji, Hendri sendiri punya karakter tulisan dan bahasa inggris yang bagus dan cocok untuk menulis. Ada karakternya di medsos Hendri yang tak ada di orang lain. Hendri melanjutkan: “Saya sendiri lebih suka bekerja dibandingkan bekerja di orang lain”. Kami semua terharu karena ternyata prioritas utama hendri adalah supaya bisa hidup bersama ibunya.

Hendri bercerita musibah yang menimpanya supaya semua dari kita waspada. Di sekitar kita ada mafia azimat, Jin, praktek-praktek kegaiban, dan ilusi uang cepat. Kami menjadi korban mereka. Ada orang yang mengaku bisa membuka harta Soekarno kepada salah seorang saudara saya. Dia mampir ke rumah pas saya sedang ke Malaysia. Orang ini kemudian melakukan ritual dan Ibu saya seperti dipengaruhi olehnya dengan ajakan gaib. Mereka menyuruh ibu dan keluarga saya untuk infaq sebesar kira-kira 100 juta rupiah. “Ini yang membuat saya urung melakukan bisnis di tahun 2014. Sepertinya ini cobaan buat saya dan Ibu. Saya pikir kita tak usah mencari kebahagiaan yang terlalu jauh sebab kebahagiaan sendiri ada di sekitar kita, surga ada di rumah kita: ibu kita” Kenang hendri.

Amri (Geo 2010) kemudian mendapat giliran muhasabah. Dimulai dari ceritanya tentang mengapa dia menentukan pilihan hidupnya di geografi. “Saya terinspirasi kakak di geofisika UGM, kemudian melihat dosen yang melanglang buana kemana-mana sepertinya asyik. Lalu saya ikut tes PTN dan dapatlah geografi. Dulu di SMA, guru yang paling gokil itu guru geografi. Ilmu paling nyantol di saya ya geografi. Saya dulu IPS” Katanya

“Di jurusan, saya ikut proyek. Paling seru adalah ketika mata kuliah geografi manusia digelar. Skripsi saya perihal tawuran antar geng. Geografi membuka mata saya, ternyata banyak hal yang sangat seru. Di luar negeri sudah banyak geografi aneh seperti geography of fashion, bahkan geography of dream di tengah geografi kita yang hanya begini-begini. Proyek penelitiannya sangat luas. Hanya saja kekurangan geo menurut saya adalah karena kita ingin cepet dan instan akhirnya kita terjebak di aplikasi akibatnya konsep geografinya kurang begitu kuat” Kenangnya

“Dahulusempet agak kesel karena ternyata geografi berbeda dengan geofisika. Kuliah sambil proyek dulu saya kerjakan tapi jeleknya akhirnya saya tidak merasa kuliah itu penting. Padahal ini keliru. Banyak hal di proyek itu juga yang kurang begitu saya harapkan” Sebelum melanjutkan, Dyota mencoba menanggapi Amri: “Sebenarnya di dunia pemerintahan dan proyek, kita mesti memilih untuk menjalani tradisi mereka dengan berbagai tekanannya atau keluar sama sekali dari tradisi itu”

“Idealisme itu saya rasakan sulit sekali. Dulu sepertinya saya membanggakan penelitianku yang unik. Sepertinya di sana banyak hal yang tidak sesuai kenyataan. Di masa sekarang banyak sekali teman-teman kita ingin mengembangkan geografi tapi wadahnya tidak ada. Mengapa sulit? Karena orang tua kita pun juga kurang begitu memahami kinerja geografi. Mengapa banyak lulusan kita sulit bekerja pada slot-slot yang tepat? Karena banyak pula dari kita yang ingin bekerja di Geo tetapi lapangan pekerjaan tidak semudah yang kita harapkan.” Ujar Amri. Budi merespon: “Adalah tugas kita membuat wadah itu dan membuka lapangan kerja seluas-luasnya geografi”

Kami pun beristirahat pikiran dengan menyanyikan sebuah lagu dari Radiohead, high and dry. Kemudian dilanjutkan dengan Dyota yang membagi muhasabahnya: “Masalah utama kita bukan penting atau tidak penting untuk sekolah tinggi, karena sebenarnya yang salah adalah sistem pendidikan dan belajarnya. Padahal dengan pendidikan kita mampu menambah wawasan. Tapi berapa banyak orang yang makin berpikiran sempit di dunia ini? Tapi itu pesimisme. Gagal melakukan pendidikan lebih baik daripada tidak melakukannya sama sekali”

"Dyota dan Muhasabahnya"
“Dulu saya memilih teknik mesin ITB. Mengapa geografi? Karena passing gradenya cukup terjangkau dan memang itu jurusan yang saya inginkan. Meskipun dulu tidak tahu sebenarnya geografi itu apa. Paling penting bagi saya dulu kuliah kalau nggak di UI ya ITB dan jangan terlalu jauh. Saat pertama kali kuliah saya tidak punya bayangana apa-apa. Di geo, saya mulai mengenal bagaimana analisis keruangan tetapi sampai akhir detik lulus, masih juga tidak tahu bagaimana analisis keruangan untuk apa nantinya, aplikasinya, dst. Tahun kedua saya ikut SPMB lagi karena merasa di geografi hidup saya kurang jelas. Saya mengambil akuntansi UI tapi tidak dapet juga. Pada tahun kedua saya mengenal ICV dan GIS juga tools-tools geografi. Kecintaan saya pada geografi justru tumbuh di sini setelah tahu bagaimana aplikasinya” Kata Dyota

Dia melanjutkan: “Geografi itu keren, prinsipku di hidup ini kita harus mengejakan sesuatu yang keren dan unik. Mungkin selama kuliah saya kurang paham secara teori, yang penting bisa overlay variabel lalu memakai analisis apa, terus dikerjakan deh. Akhirnya saya pun setuju dengan Made Sandy, geografi itu hanya bagaimana menarik garis. Menurutku disini, kita belum sepenuhnya menjadi researchers baru dalam tahap praktisi. Kita juga jangan terlalu terbuai oleh teori-teorinya”

“Dulu pun kita kuliah geopolitik tapi sampai hari ini tidak tahu gunanya untuk apa. Setelah lulus aplikasinya bagaimana. Paling lulus nanti di institusi yang itu-itu saja. Kita terkadang melihat wadah geo itu sulit, tapi banyak tempat dimana kita akan sangat berguna. Sebagai contoh tempat saya bekerja dulu. Dulu saya membuat peta banjir tapi aplikasinya apa? Kurang begitu jelas. Selepas itu saya kerja di Event Organiser yang benar-benar nggak ada hubungnnya sama geo. Lalu bekerja di sebuah institusi yang benar-benar membutuhkan keputusan ruang. Geografi disini vital sekali”

“Dulu saya memegang data seindonesia, data resoures yang digabung dengan data-data lainnya seperti akses jalan, peta adat, lingkungan, kawasan Itu bisa menjadi analisis”. Sejalan dengan Dyota, Budi berkata: “Di dunia ini ada dua kebenaran yaitu kebenaran waktu dan kebenaran ruang. Dan sampai hari ini hanya geografi yang belajar ruang sampai benar-benar jernih dan global, sebab sejatinya geografi itu ilmu presiden, minimal menteri”

Dyota melanjutkan: “Untuk merubah itu atau membuat wadah yang tepat, butuh orang idealis yang gila untuk mendobrak tatanan baku yang mapan tapi terpuruk. Kalau tidak ada orang idealis, siapa yang mau membenarkan hal seperti itu. Kalau saya punya kesempatansekali lagi, saya ingin masuk ke pemerintahan lalu mengubah kebijakan menjadi lebih baik. Job GIS sendiri tidak akan pernah hilang di migas. Saya berencana kuliah S2 lagi bukan karena GIS karena GIS ya begini-begini saja. Sebenarnya kita masih bisa lebih. Kalau stay di Indonesia pun kita tidak bisa berkembang lagi. Sebab kuliah itu selain sarana belajar, juga tempat bagi kita untuk mengembangkan diri”

“Untuk membuat peta, siapapun juga bisa. Tidak harus geografi dan geodesi. Memasukan koordinat juga bisa tapi mereka belum bisa analisis keruangannya yang kompleks” Kata Dyota yang disambung Aftaf: “Kelebihan geografi dalam analisis keruangan bisa menjadi sesuatu yang unggul. Tapi belum ada orang yang menonjolkan geografi sehingga wadahnya kurang saat ini sebagai lowongan geografi”

Dyota melanjutkan muhasabahnya: “Di luar ilmu geo saya banyak bertemu aluni UI, ITB, UGM. Saya terkadang sedih dengan pemberitaan orang di luar institusi pemerintah. Padahal terkadang mereka  orang yang tak tahu kondisinya. Saya kasihan dengan orang yang berjuang demi Negara tapi tak pernah mendapat apresiasi tapi ya masih mau berjuang. Saya saksinya, masih banyak orang yang seperti itu. Juga banyak sekali anak muda kita yang tak mau menerima amplop. Saya melihat semangat-semangat teman-teman tinggi untuk berbuat kebenaran, kebaikan”

Aftaf menyimpulkan bahwa pasti generasi kita sudah agak lebih baik dari generasi berikutnya. Dyota menjelaskan: “Bosku pernah bilang: orang-orang yang dari Top universities pasti kualitasnya beda. Kita output dari UI. Walaupun keadaan Indonesia masih begini ini. Walaupun kita dalam keterpurukan tapi kita harus yakin sebetulnya kita orang-orang terpilih untuk melakukan perubahan. Satu-satunya jalan adalah jadilah idealis. Kita mesti tahu apa kemampuan kita, apa yang bisa kita ubah juga dari jurusan kita, diperjelas pula apa yang harus dilakukan oleh lulusan-lulusan geografi. Kita mesti berbagi pondasi yang kuat dimana orang-orang kita tidak bingung setelah lulus”

"Momod Aftaf dan Kisah Geonya"
Momod Aftaf berbagi kisah hidupnya. “Jujur seperti Dyotalah saya memilih geografi. Semua keluarga saya adalah dari UI. Selama di geografi 4,5 tahun saya sebenarnya bingung mau apa. Baru tahu geografi setelah kita lulus, keruangan dan holistik saya baru benar-benar tahu. Selepas kuliah saya ikut beberapa project, disana benar-benar membuka mata saya peluangnya seperti apa. Pernah menggarap proyek dari nokia perihal POI (Point of Interest) tapi POI itu sangat monoton dan saya cepat sekali bosan. Pindah kerja di situ hanya 9 bulan”

“Pada tahun 2013 saya ikut kakak saya bekerja di riset regulasi air. Saya juga menjadi bendahara proyek ini yang bernilai sekitar 100,000 Australian Dollar. Beberapa kali saya juga ikut proyek di pemerintahan. Sebenarnya disini saya belajar bagaimana mengelola dilema anggaran. Di anggaran itu ada hanya dua pilihan: harus habis atau dikembalikan, kalau dikembalikan nanti anggaran berikutnya bisa dipotong karena tidak terserap” Kata Aftaf.

Kami pun bercerita perihal banyak proyek saat ini mencari tenaga murah. Kita tidak mengerti nilai proyeknya tapi disuruh mengerjakan. Itu banyak terjadi di mahasiswa yang ikut proyek. Ada suatu kesepakatan baku kita akan merusak pasar ketika memberikan mahasiswa bayaran yang lebih mahal. Akhirnya apa akibatnya? Banyak pekerjaan kita yang tidak maksimal. Tenaga dibayar murah dan pimpronya berorientasi uang.

Aftaf melanjutkan: “Kita harus banyak berdoa agar diberikan jalan yang halal. Manusia itu what you get is what you want, you are what you eat. Makanlah yang halal nanti kita berada pada jalan yang lurus”.

Waktu menunjukan pukul 03.00 AM lebih. Daydeh menutup muhasabah kali ini dengan ceritanya. Dulu dia memilih matematika. Dia juga tidak begitu suka dengan GIS, lebih menyukai perancangan wilayah. “Saya sendiri di kuliah tidak pernah mendapat A kecuali skripsi. Ketika lulus saya langsung kerja ke IT WEBGIS dimana proyeknya yang paling rendah 4 Milyar. Tapi saya dibayar cuma 2,5 juta saja dengan beban kerja yang tak sebanding. Saya kemudian pindah kerja tapi juga tetap membantu pemerintahan. Itu semua yang dibahas Dyota benar sekali. SDM kita juga kurang di geografi. Saya sepakat wadah itu harus ada”

“Sampai hari ini saya mengagumi Pak Raldi, Pak Nuzul, dan Pak Arko. Saya kagum dengan banyak pemikiran dan wawasan mereka. Intinya saya menemukan ilmu manajerial kita kurang. Saya sendiri kuliah S2 sambil kerja, karena selain uang saya juga butuh link. Ternyata di hidup ini ada personal branding, pendekatan untuk mengenal orang” Katanya

“Oh ya saya tadi ngobrol sama Budi perihal mengapa di Jakarta banyak bertaburan bank sepanjang jalan utama kita. Itu kan gambaran peradaban kita yang berada dibawah naungan kredit. Ini jug pertanyaan geografi juga. Jakarta itu adalah kota Jasa, tapi satu hal ekonomi yang kita pelajari di geografi adalah ekonomi murni.  Saya ingin memberi solusi agar manajemen kita baik kita harus banyak belajar. Sebagai contoh, dengan manajemen yang bagus, Gojek menembus manajemen baru daripada produk local. Saya sendiri menemukan ada banyak solusi tapi kita belum tahu saja. Sebenarnya untuk mengubah sesuatu di Indonesia harus lewat pendidikan strata. Sepertinya mustahil tanpa itu. Tapi bisa juga melewati jalur pengusaha, kita bisa melakukan kontroling dari sini. Kita harus holistik, kita butuh pintar, wawasan akademis, manajerial, teknisi, lengkap holistik. Supaya apa? Agar kita tidak terus dibohongi.  Kita harus lengkap dan total” Kata Dedi

Apa yang kita rintis sekarang itu seperti marathon, yang bisa kita lakukan adalah memberikan sesuatu yang baik untuk Junior. Dyota menutup ngopi geo ini dengan perkataan: “Kuliah di luar negeri ternyata yang paling penting adalah link meskipun banyak PNS kuliah S2 hanya sekedar untuk naik jabatan. Kita contoh, Ridwan Kamil banyak menembus, mendirikan konsultan dunia dengan markas di bandung tanpa harus keluar negeri. Itu kan mindsetnya bagus. Kita juga harus membudayakan menulis agar geografi kita tidak miskin literatur. Kita coba mencari solusi dari hal yang paling bisa dirubah. Kita ubah diri sendiri dahulu sebelum mengubah semuanya. Jangan berpikir rumit, carilah solusi yang mudah”

Waktu menunjukan pukul 04.00, acara ditutup dengan sahur bersama dengan menu nasi goreng Taman Suropati. Sampai jumpa di Ngopi Geo berikutnya di Dieng Culture Festival



Ngopi Geo 2: "Jakarta Urbanstep Paper (PDF)"

JKT Urbanstep is a concept of smart way to commute based on the willingness to walk more. This is the most reasonable and applicative way to start on changing Jakarta better, parallel with the improvements of integrated transportation systems. With more people come down to the pedestrian and with public transportation that always improving to become more efficient and effective. If this facility is built inline with the obligation that pressing down the number of private vehicles, the less people will commute in their vehicles, which means less traffic and pollution. Jakarta does not need theoretically hard knowledge from any professors to banish the traffic problems, it just needs a simple and applicative way that is easier to do, like the JKT Urbanstep concept.

This paper was written together by:
1. Aftaf Muhajir
2. Arif Rachman
3. Dedi Priyanto
4. Dyota Adhishakti Nandana
5. M. Budi Mulyawan

Download HERE

Solusi Macet Jakarta: Mlaku!

Jakarta Ibukota sekaligus pusat ekonomi Indonesia dengan jumlah penduduk tercatat pada tahun 2014 sebanyak 10.075.000 Jiwa dengan luas daratan sebanyak 661,52 km2. Kepadatan rata-rata kepadatan 15.230 jiwa/km2 yang hampir mencapai titik jenuh kepadatan penduduk. Penduduk Jakarta saat ini sudah mencapai 12,7 juta pada saat siang hari dan 9,9 juta pada saat malam hari. Kegagalan mengatasi masalah di Jakarta akan berimbas kepada kegagalan mengatasi banyak masalah Indonesia. Lebih dari 70% uang beredar di Jakarta. Satu tempat terjadi masalah di Jakarta akan mengakibatkan tempat lain di luar Jakarta terkena imbas ekonomi dan sosialnya. Satu contoh kecil pada saat tanah abang terbakar, ribuan orang menganggur di Pekalongan hanya dari segmen tekstil.

Jakarta adalah salah satu titik utama penerapan teori polarisasi, pusat pertumbuhan teori kutub pertumbuhan, juga teori tempat sentral pada masa orde baru di Indonesia. Dengan harapan bila majunya Jakarta, maka daerah-daerah lain juga akan mengikutinya. Teori ini dikemukakan oleh ekonomi Perancis Francois Perroux pada tahun 1955. Inti dari teori ini menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi di tiap daerah tidak terjadi di sembarang tempat melainkan di lokasi tertentu yang disebut kutub pertumbuhan. Untuk mencapai tingkat pendapatan tinggi harus dibangun beberapa tempat pusat kegiatan ekonomi yang disebut dengan growth pole (kutub pertumbuhan).

Terpotret dalam syair Umbu Landu Paranggi “apa ada angin di Jakarta” yang merupakan protes keras terhadap pemakaian teori kutub pertumbuhan ini. Indonesia adalah negara kepulauan yang sejatinya tidak cocok menerapkan teori kutub pertumbuhan. Juga dibangun dengan teori benua bukan kepulauan. Tetapi penerapan teori ini tidak diimbangi apa yang disarankan oleh Myrdal yang juga penciptanya. Sentralisasi pembangunan suatu negara harus diimbangi dengan pembangunan desa, juga wilayah pinggiran dari pusat pertumbuhan tersebut. Gagalnya pembangunan desa dan pinggiran akan mengakibatkan apa yang disebut Everett lee dengan teori push and pull theory dimana para penduduk kota lain akan menuju ke pusat pertumbuhan. Inilah yang mencekam di Jakarta. Berdasar ata terkini Dukcapil DKI Jakarta, jumlah warga yang mudiksaja  dari Ibu Kota sebanyak 3.616.774 jiwa. Aktivitas sentral dan banyaknya para pendatang yang tidak seimbang dengan kesiapan infrastruktur Jakarta kemudian menciptakan ratusan titik macet.

Sebuah rilis data mengejutkan kita semua bahwa kemacetan Jakarta telah mengakibatkan kerugian sebanyak 65 Trilyun padahal pada tahun 2015 DKI menganggarkan hanya 1 Trilun untuk seluruh DKI. Kita bisa memiliki 65 x lipat jembatan layang jika seandainya Jakarta tidak merugi dengan macetnya. Konsep macet sama  halnya dengan pencernaan makanan. Ada yang masuk ada yang keluar. Jakarta tidak membatasi yang masuk juga tidak segera mengeluarkan yang tidak perlu sehingga terjadi komplikasi masalah-masalah yang tidak akan pernah selesai dengan pendekatan sektoral.

Kita masih ingat pada tahun 1970, laju perkembangan penduduk ini pernah coba ditekan oleh gubernur Ali Sadikin dengan menyatakan Jakarta sebagai "kota tertutup" bagi pendatang. Juga ditawarkan banyak sekali solusi dari para pakar seperti Contraflow juga gagal karena tidak memperhatikan arus lain di persimpangan jalan utama. Konsep 3in1 juga tidak efektif sama halnya ide penutupan jalan. Juga ada wacana Jakarta menerapkan ERP meniru di Singapore yang jelas akan diprotes masyarakat karena “money sentris” dan tidak membela rakyat. Plat Ganjil Genap yang hanya retorika belaka. Juga ada ide motor masuk tol karena sudah sangat kehabisan ide. Ada pula yang logis seperti penaikan pajak, moratorium penambahan kendaaraan di Jakarta

Solusi-solusi ini bagaikan obat sintesis yang akan menimbulkan efek lain, tidak merupakan solusi yang sangat menyeluruh. Kita tidak mungkin lagi menyiram kebakaran hutan dengan seember air. Kita mungkin sedang lupa dan panik bahwasanya solusi ini baru menjangkau solusi bagi kendaraan tapi belum menyentuh solusi kemanusiaan yang nyata. Solusi macet Jakarta adalah memahami manusianya seutuhnya. Perlu ide gila mengatasi macet Jakarta (Wadirlantas Polda Metro Jaya, AKBP Sambodo Purnomo). Sebuah ide gila yang radikal akan efektif jika kita membaca sejarah macet dan kegagalan solusinya di Jakarta.

Fitrah manusia adalah berjalan kaki alias mlaku. Setelah mengenal kendaraan mereka memakai motor dan mobil. Solusi dari macet Jakarta adalah kembali ke akar dari permasalahan sendiri yaitu manusia jakarta. Jakarta bukan Hongkong, bukan Singapore, bukan Jepang karena Jakarta adalah Jakarta. Kita bisa belajar dari kota atau negara lain tapi kita harus muncul sebagai diri sendiri dan apa yang Bob Sadino bilang “kita bukan mesin fotokopi”. Tidak bisa solusinya meniru mereka karena solusi di kota lain berangkat dari belajar manusianya. Kita mesti tahu bahwa revolusi mental yang sesungguhnya untuk menciptakan innerstrengh dan melahirkan generasi penerus yang fanatik terhadap jalan kaki, bersepeda, dan transportasi umum. Segmen dari revolusi ini adalah penduduk Jakarta usia 20-35 yang merupakan generasi muda dengan statistik terbesar pada piramida penduduknya. Ini penting sebelum faktor eksternal dibenahi seperti pengurangan kendaraan yang terus dituang di Jakarta.

Walk to work dapat menjadi titik balik peradaban di Jakarta asal dijalankan sungguh-sungguh, didukung semua elemen masyarakat juga dilakukan apresiasi terhadap jalan kaki ini. Solusi ini adalah solusi untuk manusia Jakarta bukan untuk Jakarta sebagai kota. Jika solusi ini sudah menjadi jiwa manusia Jakarta maka akan mudah membuat solusi sekunder lainnya Solusi ini menjadi titik berangkat solusi-solusi lain. Simpelnya solusi dibagi menjadi dua yaitu pembenahan mental dan kemudian baru muncul solusi eksternal berupa apresiasi terhadap pejalan kaki ataupun pengguna public transportation. Sebuah jakarta yang ramah untuk para pejalan kaki dan pengguna angkutan umum. Kita sering bermimpi mengubah Jakarta tetapi lupa mengubah diri sendiri untuk Jakarta (Budi Mulyawan)

Literatur:
http://bappedajakarta.go.id/
http://www.jakarta.go.id/web/bankdata/mostdownload
http://www.census.gov/hhes/commuting/

LGBT (Lo Gue Basi Banget)

"LGBT Paintings"
Oke,dari judul nya aja gue udah salah kaprah, pertama kali gue baca tentang kontroversi LGBT di fesbuk, twitter mah adem ayem soalnya gue follow selebtwit yang kebanyakan penyuka sesama jenis, alesannya apa? Ya karena kepo aja sih, kadang banyak cerita mereka yang menarik,lumayan buat hiburan. Balik lagi ke masalah LGBT sebagai orang indonesia yang "rempong cyin" gue wajib membahas tentang ini.
     
LGBT itu kan kebijakan dari amriki ye.. mereka menyetujui dan melegalkan pernikahan sesama jenis,baik pria dengan pria,wanita dengan wanita. Dan gue adalah orang yang bukan islami banget. Tapi gue dengan tegas menentang kebijakan ini,apalagi indonesia ikut-ikutan melegalkan. kenapa? Ngeri coy, lelaki aja udh dikit ye, gmana nasib wanita-wanita pencinta lelaki ganteng (Macam gue), gimana coba rasa nya dikalahkan oleh lelaki lain? PEDIH.

Disisi lain kemanusian mereka yang "terlanjur" mencinta sesama jenis pun tak bisa disalahkan, yang salah itu dia "menularkan" kepada orang lain yang awal nya straight. Kok nular? Emang penyakit? Bukan. Orang indonesia mah konsumtif dikit2 kebawa arus, liat aja, hidupnya susah gara2 iphone 6, jadi ya gitu entah apa alasannya kebawa2,ga percaya?silahkan aja coba sendiri, nanti kasih kabar ke gue ya.

Masalah LGBT ini orang terkenal aja macam sherina di hujat,apalagi temen SMA gue yang bukan seleb. Gue kasian sih,padahal dia cuma masang poto profile fesbuk pake muka dia terus warna warni kaya pelangi, kata nya itu simbol pro dengan kebijakan LGBT, jadi gue memutuskan untuk kontra (semudah itu), ribet amat ye hidup, keputusan ada di negara yang nun jauh dimata, kita yang rusuh. Iya rusuh? Karena kita sebagai orang yang beriman punya pegangan berupa Al qur'an, yang dimana disana ada kisah tentang kaum Nabi Luth (kaum Nabi luth di tuliskan pada surat Al. Araaf ayat 80-81) dan bagaimana Allah SWT mendatangkan azab berupa dijatuhinya batu-batu dari langit dan tanah yang terbakar ( Al Qur'an surah Hud ayat 76 - 83),gimana gue ga jiper sama ketentuan Allah SWT.

Jadi kontra LGBT karena takut azab? Oh jelas iya. Kiamat memang ga bisa kita elak-kan, tapi ya bisa dong kita tidak memicu datangnya kiamat kiamat kecil akibat perbuatan kita. Sudah sepantasnya hidup ini menebarkan kebaikan walaupun kecil dan tidak bisa memberikan gelombang besar pada lingkungan sekitar, paling engga diri sendiri dibenerin,jangan merusak diri dengan penasaran katanya "nular" kemudian ikut-ikutan. Bukan membatasi diri tapi menjaga. Semoga kita adalah orang orang yang bisa menjaga diri, dan tidak merugikan orang lain karena tindakan kita, dan semoga kalian kalian tidak merasa rugi waktu dengan membaca tulisan saya ini,anggaplah hiburan dari pemikiran otak gue yang sedikit,udh sedikit, ga dipake lagi.

Oke sampai jumpa bulan depan... ciaoo bellaaa.. muach. (Dea Amelia, Cilegon,3 Juli 2015)