“Bukan hanya rohis yang bisa melakukan muhasabah, kita semua bisa”. Waktu menunjukan pukul 00.00 dini hari tanda diskusi harus dimulai. Kami memulai ngopi geo ke-3 dengan membaca bismillah. Aftaf selaku moderator membuka dengan mengajak kita bersama merenungi Ramadhan diiringi dengan lagu lama dari Novia Kolopaking: serahkanlah hidup dan matimu. Lagu yang sangat cocok dengan tema perjuangan. Kami pun menyanyi bersama:
Dengan menyebut nama Allah
Jalani hidupmu, yakinkan niatmu
Jangan pernah ragu
Dengan menyebut nama Allah
Bulatkan tekadmu, menempuh nasibmu
Kemanapun menuju
Serahkanlah hidup dan matimu
Serahkan pada Allah semata
Serahkan duka gembiramu
Agar damai senantiasa hatimu
|
"Peserta Ngopi Geo 3" |
Tema kali ini adalah bedah diri (Muhasabah) di bulan ramadhan ala geograf. Budi Mulyawan mendapat giliran pertama untuk menceritakan bedah dirinya selepas dari geografi. Budi ditanya perihal “penyimpangan setelah lulus dari geografi” seperti yang dibahas dalam ngopi geo perdana. Semua yang hadir tahu sekarang Budi menekuni batik. Budi kemudian mengajak semua yang hadir mempertanyakan ulang: “menyimpang itu apa benar-benar menyimpang? Ataukah justru tersesat? Apakah kalian semua pernah mendengar tersesat di jalan yang benar? Saya di batikpun tersesat dan tidak sengaja. Ada orang yang memesan batik pada saya dan kemudian lupa mengambilnya. Saya pun mencoba menjualnya eh ternyata laku. Mungkin ini yang disebut tersesat tapi di jalan yang benar. Akhirnya saya mulai menekuni bidang ini, ternyata sangat mengasyikan.”
“Tapi dahulu pernah pada semester 2 saya berkuliah batik. Mungkin ini seperti doa, kita tidak tahu bahwa pada akhir kuliah doa ini terkabul dan menjadi jalan hidup. Saya kuliah 145 sks tapi 1 sks ini justru menjadi obor di hidup saya selama ini. Dulu saya juga seperti yang lain, mencoba mengajukan beasiswa S2 juga apply kerja. Juga ditawari sebuah bank Jepang. Sempat bekerja membantu dosen tapi sepertinya passion saya bukan di kota. Akhirnya saya pulang ke kampung saya untuk belajar lagi batik dan pertanian.”
|
"Budi Membahas Batik, Takdirnya" |
“Saya mengalami dilema antara batik sebagai komoditas dan sebagai kesenian. Solusinya justru akhirnya saya menekuni semua bidang di batik dari mulai penjualan sampai mencoba berkarya sendiri, mungkin ini cara bagaimana belajar hidup sebagai manusia. Di perjalanan ini saya mencoba merenung tentang kesenian dalam wilayah budaya. Kesenian adalah sebuah cara untuk melihat dan mengerti kelemahan diri. Peta itu sendiri juga termasuk kesenian. Makanya dikatakan bahwa geography is between art and science, sangat akrab dengan kesenian.
“Acara ngopi geo sendiri sebenarnya acara iseng. Karena Daydeh dan Saya sering berdiskusi sampai larut mencari “bagaimana hakikat geografi”. Acara ini juga bukan acara rutin, malah ini jadinya acara tidak rutin. Seketemunya aja. Ternyata asyik membahas geografi sebagai fenomena dengan sudut pandang sciencenya. Fenomena adalah bentuk sementara geografi sebagai ilmu akan tetap. Kemudian kami iseng pula membuat situs dan memasukan hasil diskusi ke situs geografimanusia.com”
“Saya setuju sekali dengan Dyota, jangan pernah menunggu kaya untuk berbuat sesuatu. Itu fatamorgana. Semua keadaan yang diberikan Allah pada kita adalah cobaan di tengah perintah kita harus bermanfaat bagi masyarakat. Bagi saya bersekolah itu penting, tapi tidak sekolah itu juga lebih penting. Toh kita bersekolah untuk tidak sekolah, artinya porsi hidup “sekolah dan tidak sekolah kita” lebih banyak tidak sekolah. Sekolah yang utama bagi kita adalah memahami hakikat alam raya ini.”
“Sering saya bilang bahwa kita ini ditakdirkan hidup di jaman edan. Orang pintar kalah dengan kekuasaan dan pemerintah alias ilmu tidak lagi utama. Sedangkan orang-orang di pemerintahan kalah dengan uang dan pengusaha. Mayoritas kebijakan kita saat ini dikendalikan oleh politik uang. Tapi masih ada harapan besar sebab ternyata masih ada yang ditakuti para pengusaha yaitu dukun. Sebenarnya saya ingin menjadi dukun, puncak posisi tertinggi sampai menemukan bahwa di atas dukun itu ada para kekasih tuhan. Sekarang bagi saya cita-cita selain menjadi kekasih tuhan adalah cita-cita yang tidak menarik. Kita bisa bekerja apapun dengan profesi apapun tapi masih dalam wilayah dikasihi Tuhan. Tukang sampah yang dikasihi Tuhan masih lebih baik dari para eksekutif muda yang memperoleh kutukanNYa”
“Akal pikir itu bebas tapi kita perlu melakukan batas, mencari parameter dan persepsi sendiri-sendiri, itulah kegunaan dari berdiskusi. Geografi itu adalah takdir lalu kebetulan saja kita menekuninya. Geografi belum bisa berfungsi maksimal di Indonesia karena SDMnya masih sedikit sekali. Padahal di dunia ini Cuma ada dua kebenaran yaitu kebenaran waktu dan kebenaran ruang. Ilmu yang paling bisa menjangkaunya adalah sejarah dan geografi. Negeri manapun yang mempraktekan dua ilmu ini akan menjadi negeri yang sejahtera. Baldatun thoyibah, tapi juga perlu kebenaran Ketuhanan supaya menjadi Wa Robbun Ghofuur”
“Kembali ke geografi, kita kalah dalam semua sektor juga karena banyak anak muda larinya ke company. Geografi sendiri mestinya melindungi orang-orang kecil. Di Batik, saya menemukan ilmu yang asyik namun tidak melepas geografi, dan saya ingin semua orang tidak minder dengan bidang pekerjaannya apapun jurusannya”. Budi menutup semua muhasabahnya dengan satu lagu tentang perpisahan dari MLTR: Thats why you go.
Giliran muhasabah tiba di Hendri. Hendri bercerita dulu dia sudah keterima di STT telkom tapi Ibu saya tak mau saya jauh darinya. “Dulu saya kurang fokus kuliah dan banyak kegiatan, ada berdagang dan main juga. Selepas kuliah saya sempet kerja di Danu (bukapeta.com) lalu keluar karena ingin membangun bisnis sendiri. Ternyata ada musibah yang menimpa saya dan keluarga sehingga urung membuat PT. Sepertinya ini sinyal bahwa saya tidak mesti ke sana. Sekarang saya pun masih mencari passion”
|
"Hendry dan Pengalaman Pahitnya" |
“Saya merasa bahwa saat ini orientasi orang sudah ke uang semua. Saya kagum pada Danu founder bukapeta.com. Di sisi lain dia memperjuangkan idealisme geografi, di sisi yang lainnya dia juga berbisnis”. Tapi tidak harus geo juga, di luar geo kita pun bisa selama masih terus berkontribusi. Intinya kontribusi”
Dyota memuji, Hendri sendiri punya karakter tulisan dan bahasa inggris yang bagus dan cocok untuk menulis. Ada karakternya di medsos Hendri yang tak ada di orang lain. Hendri melanjutkan: “Saya sendiri lebih suka bekerja dibandingkan bekerja di orang lain”. Kami semua terharu karena ternyata prioritas utama hendri adalah supaya bisa hidup bersama ibunya.
Hendri bercerita musibah yang menimpanya supaya semua dari kita waspada. Di sekitar kita ada mafia azimat, Jin, praktek-praktek kegaiban, dan ilusi uang cepat. Kami menjadi korban mereka. Ada orang yang mengaku bisa membuka harta Soekarno kepada salah seorang saudara saya. Dia mampir ke rumah pas saya sedang ke Malaysia. Orang ini kemudian melakukan ritual dan Ibu saya seperti dipengaruhi olehnya dengan ajakan gaib. Mereka menyuruh ibu dan keluarga saya untuk infaq sebesar kira-kira 100 juta rupiah. “Ini yang membuat saya urung melakukan bisnis di tahun 2014. Sepertinya ini cobaan buat saya dan Ibu. Saya pikir kita tak usah mencari kebahagiaan yang terlalu jauh sebab kebahagiaan sendiri ada di sekitar kita, surga ada di rumah kita: ibu kita” Kenang hendri.
Amri (Geo 2010) kemudian mendapat giliran muhasabah. Dimulai dari ceritanya tentang mengapa dia menentukan pilihan hidupnya di geografi. “Saya terinspirasi kakak di geofisika UGM, kemudian melihat dosen yang melanglang buana kemana-mana sepertinya asyik. Lalu saya ikut tes PTN dan dapatlah geografi. Dulu di SMA, guru yang paling gokil itu guru geografi. Ilmu paling nyantol di saya ya geografi. Saya dulu IPS” Katanya
“Di jurusan, saya ikut proyek. Paling seru adalah ketika mata kuliah geografi manusia digelar. Skripsi saya perihal tawuran antar geng. Geografi membuka mata saya, ternyata banyak hal yang sangat seru. Di luar negeri sudah banyak geografi aneh seperti geography of fashion, bahkan geography of dream di tengah geografi kita yang hanya begini-begini. Proyek penelitiannya sangat luas. Hanya saja kekurangan geo menurut saya adalah karena kita ingin cepet dan instan akhirnya kita terjebak di aplikasi akibatnya konsep geografinya kurang begitu kuat” Kenangnya
“Dahulusempet agak kesel karena ternyata geografi berbeda dengan geofisika. Kuliah sambil proyek dulu saya kerjakan tapi jeleknya akhirnya saya tidak merasa kuliah itu penting. Padahal ini keliru. Banyak hal di proyek itu juga yang kurang begitu saya harapkan” Sebelum melanjutkan, Dyota mencoba menanggapi Amri: “Sebenarnya di dunia pemerintahan dan proyek, kita mesti memilih untuk menjalani tradisi mereka dengan berbagai tekanannya atau keluar sama sekali dari tradisi itu”
“Idealisme itu saya rasakan sulit sekali. Dulu sepertinya saya membanggakan penelitianku yang unik. Sepertinya di sana banyak hal yang tidak sesuai kenyataan. Di masa sekarang banyak sekali teman-teman kita ingin mengembangkan geografi tapi wadahnya tidak ada. Mengapa sulit? Karena orang tua kita pun juga kurang begitu memahami kinerja geografi. Mengapa banyak lulusan kita sulit bekerja pada slot-slot yang tepat? Karena banyak pula dari kita yang ingin bekerja di Geo tetapi lapangan pekerjaan tidak semudah yang kita harapkan.” Ujar Amri. Budi merespon: “Adalah tugas kita membuat wadah itu dan membuka lapangan kerja seluas-luasnya geografi”
Kami pun beristirahat pikiran dengan menyanyikan sebuah lagu dari Radiohead, high and dry. Kemudian dilanjutkan dengan Dyota yang membagi muhasabahnya: “Masalah utama kita bukan penting atau tidak penting untuk sekolah tinggi, karena sebenarnya yang salah adalah sistem pendidikan dan belajarnya. Padahal dengan pendidikan kita mampu menambah wawasan. Tapi berapa banyak orang yang makin berpikiran sempit di dunia ini? Tapi itu pesimisme. Gagal melakukan pendidikan lebih baik daripada tidak melakukannya sama sekali”
|
"Dyota dan Muhasabahnya" |
“Dulu saya memilih teknik mesin ITB. Mengapa geografi? Karena passing gradenya cukup terjangkau dan memang itu jurusan yang saya inginkan. Meskipun dulu tidak tahu sebenarnya geografi itu apa. Paling penting bagi saya dulu kuliah kalau nggak di UI ya ITB dan jangan terlalu jauh. Saat pertama kali kuliah saya tidak punya bayangana apa-apa. Di geo, saya mulai mengenal bagaimana analisis keruangan tetapi sampai akhir detik lulus, masih juga tidak tahu bagaimana analisis keruangan untuk apa nantinya, aplikasinya, dst. Tahun kedua saya ikut SPMB lagi karena merasa di geografi hidup saya kurang jelas. Saya mengambil akuntansi UI tapi tidak dapet juga. Pada tahun kedua saya mengenal ICV dan GIS juga tools-tools geografi. Kecintaan saya pada geografi justru tumbuh di sini setelah tahu bagaimana aplikasinya” Kata Dyota
Dia melanjutkan: “Geografi itu keren, prinsipku di hidup ini kita harus mengejakan sesuatu yang keren dan unik. Mungkin selama kuliah saya kurang paham secara teori, yang penting bisa overlay variabel lalu memakai analisis apa, terus dikerjakan deh. Akhirnya saya pun setuju dengan Made Sandy, geografi itu hanya bagaimana menarik garis. Menurutku disini, kita belum sepenuhnya menjadi researchers baru dalam tahap praktisi. Kita juga jangan terlalu terbuai oleh teori-teorinya”
“Dulu pun kita kuliah geopolitik tapi sampai hari ini tidak tahu gunanya untuk apa. Setelah lulus aplikasinya bagaimana. Paling lulus nanti di institusi yang itu-itu saja. Kita terkadang melihat wadah geo itu sulit, tapi banyak tempat dimana kita akan sangat berguna. Sebagai contoh tempat saya bekerja dulu. Dulu saya membuat peta banjir tapi aplikasinya apa? Kurang begitu jelas. Selepas itu saya kerja di Event Organiser yang benar-benar nggak ada hubungnnya sama geo. Lalu bekerja di sebuah institusi yang benar-benar membutuhkan keputusan ruang. Geografi disini vital sekali”
“Dulu saya memegang data seindonesia, data resoures yang digabung dengan data-data lainnya seperti akses jalan, peta adat, lingkungan, kawasan Itu bisa menjadi analisis”. Sejalan dengan Dyota, Budi berkata: “Di dunia ini ada dua kebenaran yaitu kebenaran waktu dan kebenaran ruang. Dan sampai hari ini hanya geografi yang belajar ruang sampai benar-benar jernih dan global, sebab sejatinya geografi itu ilmu presiden, minimal menteri”
Dyota melanjutkan: “Untuk merubah itu atau membuat wadah yang tepat, butuh orang idealis yang gila untuk mendobrak tatanan baku yang mapan tapi terpuruk. Kalau tidak ada orang idealis, siapa yang mau membenarkan hal seperti itu. Kalau saya punya kesempatansekali lagi, saya ingin masuk ke pemerintahan lalu mengubah kebijakan menjadi lebih baik. Job GIS sendiri tidak akan pernah hilang di migas. Saya berencana kuliah S2 lagi bukan karena GIS karena GIS ya begini-begini saja. Sebenarnya kita masih bisa lebih. Kalau stay di Indonesia pun kita tidak bisa berkembang lagi. Sebab kuliah itu selain sarana belajar, juga tempat bagi kita untuk mengembangkan diri”
“Untuk membuat peta, siapapun juga bisa. Tidak harus geografi dan geodesi. Memasukan koordinat juga bisa tapi mereka belum bisa analisis keruangannya yang kompleks” Kata Dyota yang disambung Aftaf: “Kelebihan geografi dalam analisis keruangan bisa menjadi sesuatu yang unggul. Tapi belum ada orang yang menonjolkan geografi sehingga wadahnya kurang saat ini sebagai lowongan geografi”
Dyota melanjutkan muhasabahnya: “Di luar ilmu geo saya banyak bertemu aluni UI, ITB, UGM. Saya terkadang sedih dengan pemberitaan orang di luar institusi pemerintah. Padahal terkadang mereka orang yang tak tahu kondisinya. Saya kasihan dengan orang yang berjuang demi Negara tapi tak pernah mendapat apresiasi tapi ya masih mau berjuang. Saya saksinya, masih banyak orang yang seperti itu. Juga banyak sekali anak muda kita yang tak mau menerima amplop. Saya melihat semangat-semangat teman-teman tinggi untuk berbuat kebenaran, kebaikan”
Aftaf menyimpulkan bahwa pasti generasi kita sudah agak lebih baik dari generasi berikutnya. Dyota menjelaskan: “Bosku pernah bilang: orang-orang yang dari Top universities pasti kualitasnya beda. Kita output dari UI. Walaupun keadaan Indonesia masih begini ini. Walaupun kita dalam keterpurukan tapi kita harus yakin sebetulnya kita orang-orang terpilih untuk melakukan perubahan. Satu-satunya jalan adalah jadilah idealis. Kita mesti tahu apa kemampuan kita, apa yang bisa kita ubah juga dari jurusan kita, diperjelas pula apa yang harus dilakukan oleh lulusan-lulusan geografi. Kita mesti berbagi pondasi yang kuat dimana orang-orang kita tidak bingung setelah lulus”
|
"Momod Aftaf dan Kisah Geonya" |
Momod Aftaf berbagi kisah hidupnya. “Jujur seperti Dyotalah saya memilih geografi. Semua keluarga saya adalah dari UI. Selama di geografi 4,5 tahun saya sebenarnya bingung mau apa. Baru tahu geografi setelah kita lulus, keruangan dan holistik saya baru benar-benar tahu. Selepas kuliah saya ikut beberapa project, disana benar-benar membuka mata saya peluangnya seperti apa. Pernah menggarap proyek dari nokia perihal POI (Point of Interest) tapi POI itu sangat monoton dan saya cepat sekali bosan. Pindah kerja di situ hanya 9 bulan”
“Pada tahun 2013 saya ikut kakak saya bekerja di riset regulasi air. Saya juga menjadi bendahara proyek ini yang bernilai sekitar 100,000 Australian Dollar. Beberapa kali saya juga ikut proyek di pemerintahan. Sebenarnya disini saya belajar bagaimana mengelola dilema anggaran. Di anggaran itu ada hanya dua pilihan: harus habis atau dikembalikan, kalau dikembalikan nanti anggaran berikutnya bisa dipotong karena tidak terserap” Kata Aftaf.
Kami pun bercerita perihal banyak proyek saat ini mencari tenaga murah. Kita tidak mengerti nilai proyeknya tapi disuruh mengerjakan. Itu banyak terjadi di mahasiswa yang ikut proyek. Ada suatu kesepakatan baku kita akan merusak pasar ketika memberikan mahasiswa bayaran yang lebih mahal. Akhirnya apa akibatnya? Banyak pekerjaan kita yang tidak maksimal. Tenaga dibayar murah dan pimpronya berorientasi uang.
Aftaf melanjutkan: “Kita harus banyak berdoa agar diberikan jalan yang halal. Manusia itu what you get is what you want, you are what you eat. Makanlah yang halal nanti kita berada pada jalan yang lurus”.
Waktu menunjukan pukul 03.00 AM lebih. Daydeh menutup muhasabah kali ini dengan ceritanya. Dulu dia memilih matematika. Dia juga tidak begitu suka dengan GIS, lebih menyukai perancangan wilayah. “Saya sendiri di kuliah tidak pernah mendapat A kecuali skripsi. Ketika lulus saya langsung kerja ke IT WEBGIS dimana proyeknya yang paling rendah 4 Milyar. Tapi saya dibayar cuma 2,5 juta saja dengan beban kerja yang tak sebanding. Saya kemudian pindah kerja tapi juga tetap membantu pemerintahan. Itu semua yang dibahas Dyota benar sekali. SDM kita juga kurang di geografi. Saya sepakat wadah itu harus ada”
“Sampai hari ini saya mengagumi Pak Raldi, Pak Nuzul, dan Pak Arko. Saya kagum dengan banyak pemikiran dan wawasan mereka. Intinya saya menemukan ilmu manajerial kita kurang. Saya sendiri kuliah S2 sambil kerja, karena selain uang saya juga butuh link. Ternyata di hidup ini ada personal branding, pendekatan untuk mengenal orang” Katanya
“Oh ya saya tadi ngobrol sama Budi perihal mengapa di Jakarta banyak bertaburan bank sepanjang jalan utama kita. Itu kan gambaran peradaban kita yang berada dibawah naungan kredit. Ini jug pertanyaan geografi juga. Jakarta itu adalah kota Jasa, tapi satu hal ekonomi yang kita pelajari di geografi adalah ekonomi murni. Saya ingin memberi solusi agar manajemen kita baik kita harus banyak belajar. Sebagai contoh, dengan manajemen yang bagus, Gojek menembus manajemen baru daripada produk local. Saya sendiri menemukan ada banyak solusi tapi kita belum tahu saja. Sebenarnya untuk mengubah sesuatu di Indonesia harus lewat pendidikan strata. Sepertinya mustahil tanpa itu. Tapi bisa juga melewati jalur pengusaha, kita bisa melakukan kontroling dari sini. Kita harus holistik, kita butuh pintar, wawasan akademis, manajerial, teknisi, lengkap holistik. Supaya apa? Agar kita tidak terus dibohongi. Kita harus lengkap dan total” Kata Dedi
Apa yang kita rintis sekarang itu seperti marathon, yang bisa kita lakukan adalah memberikan sesuatu yang baik untuk Junior. Dyota menutup ngopi geo ini dengan perkataan: “Kuliah di luar negeri ternyata yang paling penting adalah link meskipun banyak PNS kuliah S2 hanya sekedar untuk naik jabatan. Kita contoh, Ridwan Kamil banyak menembus, mendirikan konsultan dunia dengan markas di bandung tanpa harus keluar negeri. Itu kan mindsetnya bagus. Kita juga harus membudayakan menulis agar geografi kita tidak miskin literatur. Kita coba mencari solusi dari hal yang paling bisa dirubah. Kita ubah diri sendiri dahulu sebelum mengubah semuanya. Jangan berpikir rumit, carilah solusi yang mudah”
Waktu menunjukan pukul 04.00, acara ditutup dengan sahur bersama dengan menu nasi goreng Taman Suropati. Sampai jumpa di Ngopi Geo berikutnya di Dieng Culture Festival