Selasa, 25 Agustus 2015

Peran Geologi dalam Sistem Hidrokarbon dan Tantangan Migas Indonesia

Ini adalah paper sederhana dari Andipa Damatra, mahasiswa S2 jurusan Petroleum Geology Universitas Gajahmada Yogyakarta. Berdasarkan data-data yang dipaparkannya lewat paper sederhana ini maka di Indonesia masih sangat memiliki potensi migas yang besar. Dari 66 cekungan sedimen hanya sekitar 18 cekungan yang berproduksi hal ini dapat dimanfaatkan oleh pemerintah maupun investor untuk menggali potensi migas di Indonesia. Diperkirakan cadangan migas di Indonesia sekitar 222 milyar barel.


Berikut abstrak dan link untuk mendownload:

ABSTRAK

Minyak dan gas bumi di Indonesia merupakan sumber daya yang memiliki peranan penting. Lebih dari 50% energi yang digunakan di Indonesia berasal minyak dan gas bumi. Namun disisi lain sumberdaya ini merupakan sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui yang akan abis sewaktu-waktu karena pembentukannya membutuhkan waktu yang sangat lama. Untuk itu dibutuhkan pengendalian yang baik dan bertanggung jawab oleh seluruh komponen di Indonesia. “Pengendalian migas di Indonesia tidak hanya tergantung pada kondisi politik, sosial, dan ekonomi namun yang paling penting adalah kondisi geologi” (Satyana, 2013). Pada tulisan ini dibahas secara umum peranan geologi dalam sistem hidrokarbon di Indonesia, potensi migas, dan tantangan migas di Indonesia. 

Download paper PDFnya DISINI

Tamatnya Kampung Pulo

Pemerintah Provinsi Jakarta nampaknya serius ingin membenahi masalah ibu kota. Masalah yang lama ingin dibenahi adalah banjir. Iya banjir. Kalau berbicara banjir di jakarta pastilah tidak lain tidak bukan akan menuju ke sebuah daerah di Jakarta Timur. Kampung Pulo. Iya Kampung Pulo. Kampung Pulo adalah permukiman yang letaknya persis di sepadan ciliwung. Jumlahnya bukan main. Menurut, Ika Lestari Aji, Kepala Dinas Perumahan dan Gedung Pemprov DKI Jakarta, ada 520 kepala keluarga di Kampung Pulo. Tentunya mereka tinggal jauh hari sebelum jakarta ada semenjak zaman kolonial. Jika dilihat dari sejarah, sejak zaman itu sungailah menjadi pusat. Semua kegiatan dilakukan di sungai. Mulai dari perdagangan sampai kegiatan rumah tangga. Tak hanya Jakarta, tapi jauh sebelum jakarta peradaban di Mesir, pun perkembangannya berawal dari pinggir Sungai Nil. Begitu pula di asia bagian selatan contohnya di India, lagi lagi sungai mempunyai peranan penting dalam terbentuknya permukiman yang akan menjadi sebuah kota. Kota-kota disana tumbuh di lembah Sungai Indus.

Selain faktor di atas, juga faktor jakarta menjadi metropolitan bahkan megapolitan inilah juga menarik orang untuk melakukan urbanisasi. Perkembangan Kota Jakarta tak terarah. Jakarta menjadi pusat segalanya bagi Indonesia, pusat ekonomi, pusat bisnis, dan pusat pemerintahan. Semua daya tarik jakarta yang megah dan menawan serta janji dan cerita sukses dari jakarta membuat tak sedikit orang ingin datang ke jakarta. Yang menjadi masalah adalah ketika seseorang tak mampu membeli atau membayar sewa untuk tinggal di kota. Sesuai dengan teori sewa tanah Von Thunnen yang mengatakan bahwa harga tanah di pusat kota jauh lebih mahal. Itulah akhirnya tanah kosong yang milik negara pun ikut disikat. Sebenarnya Belanda pun membangun Kanal Banjir Barat pasti mempunyai tujuan sendiri. Utamanya, untuk jalan air dari hulu ke hilir. Dari Bogor menuju Laut Jawa. Satu per satu hari demi hari tahun demi tahun berlalu, sampai terbentuklah seperti sekarang, Kampung Pulo dengan 520 kepala keluarga.



Siapa yang salah dengan adanya Kampung Pulo? Tentu kita tak harus mencari-cari masalah dalam masalah. Memang seperti yang dijelaskan di atas tadi, sungai memang menjadi pusat peradaban dan berkembangnya permukiman yang akan menjadi sebuah kota. Sekarang tinggal faktor persuasif dan psikologis orang yang tinggal dengan rumah horizontal ganti dengan vertical. Misalnya saja, faktor kedekatan dengan daerah asalnya. Pemerintah pun berfikir keras dan tau akan hal itu. Pemerintah sengaja memilih lokasi yang tak terlalu jauh dengan Kampung Pulo untuk membangun rusun, yang nanti akan menjadi relokasi bagi warga Kampung Pulo. Hanya berjarak kurang lebih 500 meter. Tentunya itu tak menyelesaikan masalah. Masalah yang paling utama adalah kebiasaan. Inilah yang tak mudah mengubah kebiasaan seseorang. Sebaiknya dalam 1-2 tahun ke depan pemerintah menyediakan dan membentuk semacam satgas pendamping untuk warga yang baru pindah di rusun. Dengan pindahnya seluruh warga Kampung Pulo ke rusun jatinegara, bisa dikatakan riwayatnya telah tamat. Di tahun kedepan takkan adalagi cerita Kampung Pulo kebanjiran. Tetapi lantas tak berarti tugas pemerintah selesai dalam menanganin banjir, masih banyak kampung lain dan masih ada tugas lain dalam mengatasi banjir. Yang terpenting adalah nantinya sepadan sungai yang sudah bersih dari penduduk jangan sampai menjadi permukiman lagi. Dan pengawasan serta perawatan rusun-rusun yang menjadi tempat relokasi. Buat warga menjadi kerasan dan betah sehingga lupa akan kebiasaan lamanya (Leonardus Kelvin)

Sabtu, 22 Agustus 2015

Bandung: Catatan Dari Bukit

Jepretan kota Bandung setahun yang lalu dari atas bukit Dago Pakar saat adik masih kuliah disana. Sekarang dia sudah hijrah ke Semarang dan saya pun jadi minim jalan-jalan ke kota ini lagi. Masih membekas di ingatan kaki yang pegal menggelandang ke Pasar Baru hanya dengan tujuan membuat custom jeans, ikut jaga malam di RS Hasan Sadikin, Makan soto di Ganeca ditemani hujan deras dan angin dingin, juga ngobrol di emperan Unpad atau sekedar minum yoghurt gerobakan di emperan parkir ITB. Pernah pula nyamar kuliah sebagai mahasiswa Unisba sampai hampir ketahuan dosennya.



Barangkali kenangan itu semacam kepulan asap bohem mojito dini hari yang akhirnya melesat ke udara di atas kursi kayu sambil menunggu matahari terbit dari atas bukit ini. Seperti di Tegal, Bandung mencapai puncak indahnya saat malam hari (Budi Mulyawan)

China dan Akuisisi

The world is flat kata Friedman, negara tanpa batas telah terjadi semenjak era pemborongan modal. Siapa yang kuat modalnya dia yang bertahan dan siap melakukan akuisisi. Dalam hal ini China adalah negara paling cerdik dengan akuisisinya sampai perusahaan kelas besar Jepang seperti Sony, Panasonic, Sharp nyaris wassalam ditengah perang persaingan produk informasi dan teknologi (dengan istilah The Death Samurai) karena budaya perusahaan mereka yang didominasi "kaum tua" yang sukar berinovasi.

Di benua Amerika mereka membuat geger lewat Lenovo, salah satu perusahaan IT china memakan saham IBM Amerika sebagai alat dalam aliansi raksaksa IT dunia yang membuat nama Lenovo berkibar. Mereka hampir saja memakan Blackberry kalau saja pemerintah Canada tidak mencegah pembelian saham oleh Lenovo karena faktor keamanan. Google juga telah menjual Motorolla ke Lenovo. Tidak tanggung-tanggung, pabrik jet Goldman Sachs juga terkena akuisisi mereka. Hummer, mobil yang dibanggakan USA nyaris menjadi milik China. Transaksi ini batal karena pemerintah Amerika tidak rela saham hummer berpindah tangan, mereka sampai melikuidasi brand mobil ini. Eropa juga mereka tidak ketinggalan mereka goncangkan. Info terbaru yang saya dengar mobil legendaris Itali De Tomaso dibeli sahamnya dibawah harga standar oleh china juga ban Pirelli Italia sudah mereka borong sahamnya. Dan baru tahu juga saham volvo sekarang dibeli dari Ford oleh Geely, perusahaan mobil China. Di London, ada tower building legendaris yang sudah dibeli oleh perusahaan Asuransi dari China.

John Holland, perusahaan asal Australia beberapa tahun kebelakang diborong sahamnya oleh CCCC (China Communications Contruction Company) karena kesulitan permodalan sekalian pula saham peternakan sapi-sapi disana. Ampli gitar favorit kami seperti Orange dan Hughes Kettner sepertinya jangan harap langsung produksi dari Inggris atau Jerman karena pabriknya sudah dihandle china. Eropa, Amerika tidak lama lagi akan benar-benar runtuh karena kunci hidup dari China adalah selalu bersedia membuat replika/antitesis suatu produk tidak seperti benua lain yang mengandalkan pencitraan kualitas belaka. Dalam proses akuisisi mereka siap tempur tak kenal menyerah. Pada awal replika mereka ditertawakan dan sekarang mereka balik menertawakan dunia. China yang komunis kini sangat menikmati menjadi liberal (Budi Mulyawan)

Jumat, 21 Agustus 2015

Toponimi Indonesiaku

Penamaan tempat baik berupa satuan ruang politik tersempit  sampai terbesar (dari desa-kecamatan-kabupaten/kota-provinsi- bahkan negara merujuk lokasional relatif. Lokasional yang relatif sebagai orientasi keberadaan suatu ruang bagian permukaan bumi terhadap ruang-ruang lain di sekitarnya yang dikenali. Lain dengan lokasional absolut yang diwakili oleh koordinat titik (dari berbagai sistem proyeksi matematis permukaan bumi). Apa yang mau di bahas dalam tulisan ini, bukan toponimi sebagai bagian ilmu pengetahuan penamaan tempat dan seluk-beluknya, namun realitas penamaan tempat yang ditemukan di berbagai tempat ruang muka bumi di Indonesia.

Sebagai warga negara Indonesia, siapa yang tidak kenal Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat ? apalagi bagi penduduk yang bermukim di pulau Jawa. Sampai tahun 2000 M (ditandai munculnya provinsi Banten), sebagai realitas implementasi toponimi ‘kein problem’ alias ‘ora popo’. Seorang anak SD kelas 5 bertanya; kang Jowo Kulon iku Banten yo?  Jajalen wangsulono dewe. Paling muncul kata-kata “waduh” piye iki, opo meh nggoblokake gurune? Opo meh disentlik wae bocah kue ngajine ora bener?

Kasus seperti anak SD kelas 5 ini, mengapa jadi demikian pemahamannya? Apa dia salah dengan kalimat pertanyaannya? Apa pernyataan dalam pertanyaannya benar? Wansulono dewe. Paling enak pertanyaan anak SD itu diarahkan kepada Gubernur Jawa Barat, ya ng? Biar Gubernur Jawa Barat bingung, kumaha iey? “Padahal Banten dulunya tergabung dalam provinsi Jawa Barat, kenapa sekarang Jawa Barat yang masuk Banten” gubernurnya ngremeng dewe. #$^@# .....Jowo Kulon iku Banten? *&)&^%.  Coba terka apa tindakan realita politik sekarang gubernur Jawa Barat; “kumpulkan DPRD TK I, nama provinsi Jawa Barat harusnya di ganti sejak tahun 2000, dan saya gubernurnya bukan yang di KPK-kan”, semoga gub. Jawa Barat tidak nyusul ke ruang KPK. Terkaan kedua realita sejarah politik  “yo wis ben lah, memang dulunya bagian Bantani”

Kepolosan pertanyaan anak SD kelas 5, perlu dijawab dengan tegas dan benar. Jawabannya setengah jelas “Ya pulau Jawa Bagian Barat “banget” itu sekarang menjadi provinsi Banten”. Tentu anak SD itu tidak puas. “Kalau begitu, provinsi Jawa Barat di mananya pulau Jawa?” “provinsi Jawa Barat bukan di bagian pulau Jawa bagian arat?” Coba jawab dengan nalar geografi.  Kalau di jawab dengan kalimat “Letak provinsi Jawa Barat itu di baratnya Jawa Tengah dan di timurnya provinsi Banten”. Ini yang jawab masih sabar. Anak SD itu takon maneh “Kenapa namanya Jawa Barat”. Gurunya mulai cari kambing hitam “Siapa sih dulu yang menamai provinsi ini dengan toponimi “Jawa Barat”? paraaaah.

Ituah letak permasalahan yang mungkin timbul akibat pemekaran dewasa ini dengan penamaan tanpa berfikir toponimi itu penting. Hal itu di masa yang akan datang mungkin dihadapi oleh ruang-ruang muka bumi dengan toponimi “Asal” bisa terjadi untuk Jawa Tengah, Jawa Timur yang mengalami pemekaran. Pada level wilayah provinsi di pulau Sumatera ada potensi untuk Sumatera Barat, Sumatera Selatan dan Sumatera Utara. Untuk Pulau Kalimantan potensi yang terjadi pada toponimi Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah dan yang baru Kalimantan Utara. Khususnya untuk kalimantan nama yang tersisa: Kalimantan Tenggara, Kalimantan Barat Daya, Kalimantan Timur Laut dan Kalimantan Barat Laut. Permasalahannya apa dengan 8 nama itu pemekaran sudah final apa final di 5 nama provinsi yang ada sekarang (tengah, timur, selatan, barat dan utara). Begitu juga untuk pulau Sulawesi pada level wilayah provinsi lebih lengkap dengan pola penamaan yang “Asal” (baca terburu-buru). Hanya Sulawesi Timur, Barat Laut, Timur laut, Baratdaya yang tersisa sebagai nama, kalau memakai pola penamaan “Asal”.

Coba perhatikan yang terjadi dengan toponimi sebagai berikut: Provinsi Sumatera Selatan: Musirawas Utara, OKI, OKU, OKU Timur, OKU Selatan. Provinsi NAD: Aceh Barat, Aceh Baratdaya, Aceh Utara, Aceh Timur. Sumatera Utara, Bengkulu, Lampung, Riau, Sumatera Barat, Babel,  juga ada dengan pola penamaan “Asal” dan masih banyak lagi pada level kabupaten. Adapun provinsi yang tidak bernalar toponimi “Asal” salah satunya provinsi Riau Kepulauan. Apakah dilakukan dengan kesadaran tentang toponimi sebagai ilmu pengetahuan atau kebetulan wilayah kepulauan yang masih satuan-satuan kabupaten yang diwakili pulau yang terbesar sebagai namanya? Selain itu pada level Kabupaten di Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Utara dan Bali sepertinya toponiminya memiliki kemandirian nama. Perlu di cermati pada level toponimi kecamatan sampai desa.

Dan kejadian di pulau Morotai, dapat ditemukan toponimi level kecamatan sebagai berikut: Morotai Selatan Barat (awas S-W bukan baratdaya loh) tetapi bagian selatan pulau morotai yang sebelah barat (bingung-bingung nih). Begitu juga yang terjadi di Provinsi Nusa Tenggara Timur ada satu kabupaten dengan toponimi Timor Tengah Utara (bagai mana ini) mengapa tidak dinamai dengan toponimi Kefamenanu?

Kejadian “Asal” ini jangan dianggap salah, bisa jadi sebagai nama yang muncul sebagai pilihan “jalan tengah”. Dengan keberadaan etnis-etnis yang menyatukan diri membentuk suatu pemerintahan pemekaran tidak ada yang diutamakan (pilihan adil yang pada akhirnya membingungkan karena tidak terima ego salah satu kelompok yang dijadikan toponimi). Sebenarnya ranah siapa dalam memberi nama tempat tersebut: tentunya nama-nama tempat terdahulu dilakukan oleh masyarakat pendukung budaya stempat dengan berbagai dalih pengetahuan tempat tersebut untuk diterapkan sebagai nama tempat tersebut. Bisa satu kata, dua kata, tiga kata, empat kata bahkan lebih. Apakah nama generik, nama generik dengan nama spesifiknya, nama spesifik dengan spesifik dlsbgnya. Orientasi pengetahuan tentang tempat bisa berdasar pengalaman Natural, berdasar pengalaman budaya. Pengalaman natural berujut dengan ciri generik bentang alam, iklim, perairan, flora, fauna. Pengalaman culturan bisa atas dasar pengalaman peristiwa yang terjadi di tempat itu dlsb.

Kalau didalami tentang penamaan tempat menjadi sangat penting, misalkan guru besar Al-Bantani, kalau yaitu nama tempat yang melekat pada ulama-ulama terkemuka masa lalu. Sementara sebelum tahun 2000 tidak muncul di peta Indonesia maka seakan-akan putus hubungan dengan murid-muridnya yang ada di Timur Tengah tentang mental map asal daerah gurunya, contoh lagi Al-Singkili, Al Jawi dan begitu juga tokoh lain selalu dikaitkan dengan nama tempat asalnya; Maghribi, ar-Razi/Rhayes, Al-Baghdadi, Al-Iraqi dls. Terkait dengan nama tempat, masyarakat Internasional sudah mencetuskan kesepakatan-kesepakatan bersama dalam bentuk resolusi-resolusi yang diharapkan dilaksanakan di negara penanta tangan resolusi tersebut.

Demikian pentingnya nama agar tidak salah merujuk dan salah alamat. Apakah fenomena Asal yang terjadi tidak hanya di Indonesia ini tetap dilanjutkan? Tergantung pendukung budaya masyarakat di tempat itu dan diharapkan menghargai kesepakatan-kesepakatan yang pernah dibuat bersama (Taqiyudin)

Selasa, 11 Agustus 2015

Singapura, Israelnya Asia

Singapura dulu adalah rawa yang miskin dan kumuh ketika Rafles tiba tahun 1819. Proses pembangunannya di era pasca kolonialisme tidak lepas dari tangan dingin Lee Kuan Yew, seorang mantan penjual lem tapioka di pasar gelap. Konon semua keberhasilan Singapura dalam papan statistik ekonomi adalah mahakaryanya. Dia merintis karir politik lewat partai PAP (People Action Parti) atau Partai Rakyat dengan menganut sosialisme di masa mudanya. Lee Kwan Yew itu anaknya orang Semarang yang pindah ke singapura tepatnya di jalan pemuda (Bo Djong). Lee Kuan Yew punya mimpi agar Singapura menjadi Israelnya Asia, di tengah gencetan musuh-musuhnya tetapi bisa terus eksis. Dia belajar pembangunan ekonomi dan militer dengan Israel sebagai modelnya. Bagi Lee, untuk pergi dari cap negara ketiga otoritarianisme solusinya. Sebelas dua belas dengan Soeharto, sahabatnya.



Negara ini pernah dijajah Jepang dan hampir terjadi Genocide terhadap mereka. Tan Malaka bersaksi ribuan etnis warga tiongkok disitu berbondong-bondong pernah akan dieksekusi pasukan Jepang tapi urung karena mungkun masih ada pikiran sehat dan rasa kemanusiaan dari kaisarnya. Singapura dikeluarkan dari federasi malaysia karena terjadi kerusuhan etnis yang tidak mungkin disatukan kembali. Lee Kwan Yew pada hari itu sampai memohon-mohon pada parlemen agar tidak dikeluarkan dari Malaysia tapi ditolak. Dengan air mata berlinang mereka mengumumkan kemerdekaannya 9 Agustus 1965. Kabar berhembus ternyata Presiden Soekarnolah dalang yang menyulut perpecahan itu dalam konflik ganyang Malaysia lewat komando Dwikora. Tanpa Soekarno sulit sekali singapura terpisah dari Malaysia.

Kalau Anies Baswedan bilang sumberdaya penting bagi Indonesia adalah manusianya. Itu adalah paham Lee Kwan Yew yang sudah dipraktekan puluhan tahun disana,dari tidak memiliki apa-apa menjadi ekonomi terbaik ke-5 dunia Tahun 2013 dengan 70% berada di sektor jasa termasuk pariwisata. Singapore sangat berambisi menjadikan kotanya menjadi destinasi wisata dari kota wisata makanan, Kota wisata judi (yang digagas oleh anak Lee Kwan), sampai kota wisata orang sakit untuk berobat (Budi Mulyawan)

Jumat, 07 Agustus 2015

Dilema GIS dan Nasionalisme

Tak bisa dipungkiri bahwa saat ini sulit membedakan antara geografi dengan GIS (Geography Information Systems), setiap kali saya bertemu dengan orang lain dari disiplin ilmu yang berbeda, setiap kali itulah mereka berpendapat bahwa geografi adalah GIS. Maka tidak heran hampir semua instansi pemerintahan yang sedang melakukan kegiatan baik pemetaan bersifat analog ataupun digital, selalu menerima tenaga ahli dari geografi. 

7 tahun yang lalu, diterbitkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) yang intinya, bahwa setiap informasi publik  bersifat terbuka dan dapat diakses oleh setiap  pengguna informasi publik untuk menuju  penyelenggaraan negara yang baik dan benar (Good Governance), peta tidak lagi hanya disajikan dalam sehelai kertas tapi juga berintegrasi dengan dunia internet, karena dianggap sebuah informasi publik.

Sejak itu, proyek-proyek pemetaan bersifat analog (peta dalam bentuk kertas) dapat dikatakan mulai berpindah menjadi peta-peta dalam bentuk digital yang dapat diakses oleh setiap orang melalui internet. Sejak itu pula GIS berbasis Web semakin popular karena dengan itu segala kegiatan berbasis spasial dapat diinformasikan ke seluruh pengguna, dan dapat dijadikan alat untuk monitoring.

GIS tidak lagi hanya membuat peta, overlay dan menghitung luas, tetapi juga bagaimana menjadikan peta sebagai aplikasi berbasis web untuk monitoring dan analisis spasial. Sejak itu GIS terbagi menjadi beberapa disiplin, diantaranya GIS Operator, GIS Programming, GIS Database, GIS Analyst dan lainya. 

GIS operator sebagai operator pengolah data spasial dan pembuat peta sebelum peta ditampilkan dalam bentuk web. GIS programming bertugas untuk menampilkan data spasial ke dalam bentuk web internet. GIS database untuk membangun data spasial dalam bentuk database, sehingga dapat dimanajemen dan tersimpan baik dalam satu database. Sedangkan GIS analyst sebagai analisa data spasial agar sesuai fungsinya untuk melakukan kebijakan ataupun momitoring. Contoh dari GIS berbasis web itu sendiri yaitu Google Map, Ina Geoportal dari BIG (Badan Informasi Geospasial), Bing Map, Bukapeta.com, ArcGIS online, dan lain-lain.

Bagaimana cara membuat webgis? 
Secara umum ada dua cara, pertama dengan menggunakan software berbayar, kedua dengan software open source

Kedua software tersebut memiliki keunggulan dan kelemahan tersendiri, yang berbayar harganya sangat mahal, bahkan untuk membangun webgis kita juga harus menyediakan perangkat lainnya seperti server dan OS server. Tentu saja harga pembangunan webgis versi ini menjadi melonjak tinggi, biasanya untuk pengembelian softwarenya saja bisa mencapai lebih dari 1 miliar rupiah, dengan hardware dan lain-lain bisa mencapai 4 miliar rupiah. Jadi proyek pembangunan webgis versi software berbayar ini dapat mengeluarkan anggaran sekitar 1 sampai 4 miliar rupiah.

Untuk software open source, kita tidak perlu membeli software, hanya sewa tenaga ahli saja, tapi ini butuh orang yang mampu mengerjakannya. Bila ingin pengadaan hardware atau server maka hanya beli server saja, atau bisa saja menyewa hosting. Proyek ini bisa menghabiskan dana 25 juta sampai 300 juta tergantung pengolahaan datanya. Namun tidak jarang ada yang menganggarkan proyek ini mencapai 1 miliar rupiah lebih.

Software GIS berbayar hargnya bisa mencapai 1 miliar rupiah lebih, sedangkan pekerjanya atau pengembagnya paling hanya digaji beberapa juta saja. GIS menjadi bisnis IT (informasi teknologi) yang menjanjikan bagi perusahaan dan kepentingan. Seolah-olah manusia atau para geografi hanyalah alat pelengkap untuk mengembangkan Web GIS, yang harganya jauh lebih murah ketimbang software itu sendiri. 

Berbagai alasan mengapa pengembangan Web GIS tetap dijalankan walau harganya sangat mahal, “salah satunya adalah belum mampunya SDM (Sumber Daya Manusia) kita untuk membangun Web GIS secanggih software GIS berbayar”. Bila alasanya SDM, sesungguhnya ini alasan yang menggelitik, karena sebenarnya para pengembang software GIS opensource sudah sedemikian maju dan banyak sekali forum-forum dunia internet dari berbagai macam Negara di dunia. dan tidak sedikit orang Indonesia yang kualitasnya juga bagus dalam pengembangan software GIS opensource. 

Import software ini belum pernah di dengar dalam media, padahal dengan import software ini dapat membuat peluang para GIS untuk mengembangkan kemampuannya di bidang GIS berbasis web untuk monitoring ataupun analisa semakin kecil. Lalu, kita akan terus-menerus bergantung pada software berbayar. GIS berbasis web semakin salah arti, yang harusnya menjadi sebuah monitoring dan kebijakan, beralih menjadi proyek-proyek besar yang tidak tahu seperti apa analisanya. 

Akhirnya tidak sedikit para geografi yang mundur dari dunia GIS karena menemukan keganjilan-keganjilan dalam pekerjaannya, terjebak dalam proyek, dan tidak sedikit juga yang bertahan karena tuntutan ekonomi keluarga. Dan sebagian memilih menjadi bohir karena akan menghasilkan uang lebih banyak.

Penting bagi para geografi untuk berdiskusi, tidak hanya dari pihak pemerintah dan kampus, tetapi juga bagi para praktisi. Untuk membicarakan hal yang benar, agar anggaran-anggaran di bidang GIS menjadi efektif dan sesuai dengan kebutuhan dan tujuannya. Tidak hanya soal bisnis melulu….  

Karena di Negara kita ini ada gap teknologi informasi, dimana anak-anak muda sangat terbiasa menggunakan IT sehingga cepat belajar dan tau celah dalam dunia IT, sedangkan orang-orang tua yang umurnya 50 tahun keatas banyak yang tak biasa dengan IT. Sehingga para pemegang kebijakan yang sebagian besar orang tua, tidak tahu apa dampak bagi generasi baru dari pengadaan proyek web GIS yang besar itu.

Secara matematis, 
  1. Bila gaji seseorang 5 juta/ bulan maka dalam satu tahu adalah 60 juta/tahun. 
  2. Bila proyek web GIS seharga 1 miliar rupiah maka sama seperti memperkerjakan 16 orang (1000/60)
  3. Bila proyek web GIS ditambah pengadaan software seharga 4 miliar rupiah maka sama seperti memperkerjakan 64 orang (16 x 4) 
  4. Bila satu instansi ada 4 bidang melakukan hal yang sama maka dapat memperkerjakan 256 orang (64 x 4)
  5. Bila ada geografi yang menganggur, maka ada yang salah dari sistem proyek GIS, karena geografi tidak hanya untuk Web GIS, ada banyak lagi seperti di perencanaan wilayah, kelautan, perkebunan, pertanahan, dan lain-lain.

Sabtu, 01 Agustus 2015

Tren Ilmu Geografi: Mengungkap Fakta dan Realita

Setiap orang bebas mendefinisikan peta sesuai dengan disiplin ilmu yang ia miliki. Tapi yang perlu diperhatikan oleh bagi sivitas akademika geografi adalah geografi itu selalu kontinum datanya. Alam ini geografi. Peta menjadikan data kontinum menjadi data diskret dengan adanya pengkategorian, pengkelasan. Kita bisa melihat pada peta Indonesia, disitu ada daratan – lautan, ada lembah juga ada gunung. Semua informasinya menjadi diskret. Padahal alam ini kontinum yang diskret justru manusianya walaupun nanti juga ada kalanya kontinum. Tantangan bagi orang yang pernah belajar geografi adalah bagaimana memaknai peta menjadi bersifat kontinum bukan hanya melihat peta hanya sebuah dokumen kertas belaka dengan karya seni di dalamnya.  Namun, hal tersebut memerlukan jam terbang yang tinggi untuk mencapai pada level tersebut.

GIS yang banyak dipelajari di kita kebanyakan baru Information System nya karena mudah mendatangkan uang dan lapangan pekerjaan. Tetapi karena banyak yang mempelajari dan mendalaminya meskipun bukan berasal dari disiplin ilmu geografi, saat ini nilainya semakin murah, yang mahal justru sekarang adalah Geography nya dan ini ahlinya masih belum banyak. Tren geografi dalam dunia humanitarian saat ini adalah penggunaan teknologi geopasial yang dikenal geospatial humanitarism.


Saat ini, tren yang berkembang di masyarakat adalah masyarakat ingin menunjukkan rasa empati dan kepedulian terhadap sesama dalam berbagai peristiwa kemanusiaan. Seperti terjadinya suatu bencana, maka ambulan yang datang justru bukan dari rumah sakit tetapi dari LSM, Partai dan komunitas lainnya. Contoh lain tren yang terjadi saat ini adalah Location Based Social Media (Big Data). Dengan menggunakan media sosial seperti twitter, facebook, dll, masyarakat dengan mudah berbagi informasi dengan adanya fasilitas geotagging/geolokasi yang manfaatnya ketika terjadi bencana adalah untuk memudahkan evakuasi dan informasi lokasi. Disini semangatnya adalah humanitarian dan teknologinya hanya sebagai label.

Contoh di atas muncul bukan dari orang geografi tetapi sudah interdisiplin. Ini merupakan tantangan untuk geografi. Peran geografi sangat penting disini, jika kita tidak ikut mengkontribusikan ilmunya maka bisa terjadi salah informasi. Contoh sederhananya adalah ketika terjadi suatu banjir. Wilayah yang terdampak justru bukan dari postingan twitter atau media sosial terbanyak. Ini Kenapa….? Tantangan bagi geografi untuk dapat menganalisisnya, namun dalam menganalisisnya tetap dengan menggunakan cara pandang geografi yang menjadi ciri khasnya, yaitu  spatial analysis, ecological analysis dan regional complex analysis. Meminjam pernyataan the Founding Father Geografi Indonesia I Made Sandy:
a. Geografi tidak percaya pada solusi tanpa fakta dalam penyelesaian masalah
b. Geografi tidak bicara pada ruang yang abstrak tetapi ruang muka bumi yang nyata.

Contoh fenomena lagi yang tak kalah menariknya dan yang sangat hits dan sangat inovatif saat ini adalah GOJEK, GO FOOD, UBER, dan teman-temannya. Aplikasi yang digunakan bisa merekam jejak mulai dari pemesanan hingga posisi realnya dengan tracking yang cukup akurat. Sebagai seorang geograf jika data yang direcord bisa diakses, pertanyaan apa yang bisa dijawab dari fenomena tersebut….?Ini yang perlu kita challenge.
   
"SINGKATNYA SAAT INI SEOLAH YANG MENYETIR SKEMA FENOMENA TERSEBUT ADALAH ORANG IT BUKAN DARI GEOGRAFI. GEOGRAFI TIDAK EKSIS PADA KONDISI SEPERTI DEMIKIAN"

Uraian tadi, saya coba sarikan dari pertemuan diskusi internal yang difasilitasi oleh Pusat Penelitian Geografi Terapan – Departemen Geografi UI dengan Para alumni yang konsen terhadap perkembangan ilmu geografi pada tanggal 10 Juli 2015. Hadir dalam acara tersebut Dr. Asep Karsidi (Mantan Ketua BIG), Dr. Idwan Suhardi, Dr. Rudy Tambunan, Dr. Triarko Nurlambang (Ketua Puslit Pranata Pembangunan UI), Dr. Djoko Harmantyo (Ketua Departemen Geografi), Hafid Setiadi, Dr. Nuzul Achyar, Ibu Widyawati dan rekan –rekan pengajar, asisten dan sivitas akademika geografi UI (Satria Indratmoko)

Antipode Foundation: Jurnal Geografi Radikal

Antipode dikenal sebagai jurnal geografi radikal. Sejak Agustus 1969 antipode telah menerbitkan makalah peer-review yang menawarkan gagasan radikal (Marxis, sosialis, anarkis, anti-rasis, juga feminis) analisis masalah geografis dan yang tujuannya adalah untuk menimbulkan pengembangan pemikiran untuk masyarakat baru yang lebih baik. Saat ini tulisan di Antipode muncul lima kali setahun dan diterbitkan oleh Wiley-Blackwell, Antipode terus mempublikasikan beberapa tulisan terbaik juga provokatif secara radikal pada pemikiran dan riset geografis yang tersedia saat ini; bekerja dari kedua sisi ahli: geografi juga dari sarjana-sarjana terkemuka.


Sebagai editorial penulisan kolektif, antipode mengatakan dalam sebuah editorial baru-baru ini (antipode di era antitesis, antipoda 43: 2): "Kami menyambut tulisan yang menantang, yang menunjukkan kemauan untuk tidak hanya menafsirkan tetapi juga mengubah dunia. Makalah antipoda sangat ketat dan intelektual, mereka harus bergulat dengan perdebatan dalam geografi tetapi bisa membawa para penulisnya ke depan. Tulisannya orisinal, tapi tidak hanya orisinal: Antipode ingin orisinalitasi ini menjadi signifikan untuk teori dan mudah dipraktekkan. Selain itu juga tulisannya harus argumentatif, ilmiah dan jelas, tak hanya bertahan ketika peer reviewnya saja; tetapi tulisan mereka diharapkan hidup di masyarakat dan menarik untuk dibaca.

Dalam banyak kasus mereka cairan semangat politik, tetapi mereka dapat melakukan hal ini dengan cara yang berbeda, bukan hanya melalui retorika marah atau polemik ganas (meskipun ini adalah bentuk-bentuk tulisan radikal yang kami juga mengakui dan menghargai). Makalah antipoda bisa - bahkan mungkin harus - kolaboratif dan kooperatif. Mereka tidak putus asa. Mereka berharap tapi tidak naif begitu. Mereka sering normatif, menyelidiki 'apa yang seharusnya' bukan hanya 'apa yang': dalam pengertian ini, mereka mungkin jelas-diagnostik tetapi juga antisipasi-utopis. Mereka mungkin menginterogasi logika struktural yang lebih luas tetapi juga berbasis di pengalaman hidup. Dan - apakah kita sudah mengatakan ini? - Mereka bergairah! Seperti banyak yang memilih untuk akademisi, kita didorong dan termotivasi; memiliki fastidiousness untuk detail; cinta bahasa dan tesis jelas disampaikan; dan semangat untuk yang tak terduga.

Antipode bagi kita, di atas semua, tentang gairah: gairah menulis yang dibangkitkan oleh semangat untuk keadilan, dalam pelayanan pembebasan daripada keselamatan masyarakat. Disini diharapkan bisa menghasilkan baru, ide-ide praktis untuk politik radikal, didefinisikan secara luas. Selain makalah, antipode juga menerbitkan makalah khusus dan simposium dan serangkaian buku.. Antipode sendiri adalah anggota dari Komite Etika Publikasi; COPE. Antipode mempunyai tugas memberikan saran kepada editor dan penerbit pada semua aspek etika publikasi, termasuk bagaimana menangani kasus penelitian dan publikasi kesalahan (Penerjemah: Budi Mulyawan)

Sumber: http://antipodefoundation.org/about-the-journal-and-foundation/a-radical-journal-of-geography/