Tiba di Bandar Udara Sultan Babullah pagi hari membuat saya takjub dengan indahnya pemandangan Gunung Gamalama yang puncaknya dibayangi awan-awan. Udara segar dan kencangnya angin sedikit membuka nafas baru bagi kami warga Jakarta, yang biasa dengan keramaian. Kota ini merupakan salah satu kota yang membuat saya penasaran, mengapa pulau sekecil ini begitu ramai dan terkenal? bagaimana mereka bertahan hidup dan terus berkembang? Disini, dengan singkat saya ingin berbagi pengalaman selama 5 hari di Kota Ternate, Maluku Utara.
Pada tahun 1999, Maluku Utara resmi menjadi Provinsi, dimana sebelumnya merupakan Kabupaten Maluku Utara dan Halmahera Tengah. Pada tahun tersebut, Ternate menjadi Ibukota Provinsi Maluku Utara, sampai akhirnya pada tahun 2010 ibukota provinsi dipindahkan ke Kota Sofifi. Kota Sofifi sendiri terletak di Pulau Halmahera, butuh menyebrang laut sekitar 30 - 40 menit untuk mencapai Sofifi dari Ternate.
Kota Ternate
Ternate bila dilihat dari pesawat ataupun dengan satelit imagery, seperti sebuah pulau berbentuk lingkaran dimana tengahnya adalah Gunung Gamalama dengan ketinggian sekitar 1.715 mdpl. Kawasan permukiman dan lahan terbangun lainnya berkumpul di bagian timur dan selatan. Bila dibandingkan dengan kabupaten/kota lainnya di Maluku Utara, Ternate memiliki kepadatan penduduk paling tinggi. Dari catatan BPS, tahun 2014 jumlah penduduk di Ternate 207,789 jiwa atau terbanyak kedua setelah Halmahera Selatan 215,719 jiwa, namun luas Ternate hanya 111,39 Km2 atau paling kecil diantara kabupaten/kota lainnya, sedangkan Halmahera Tengah 8.148,90 km2.
|
Gambar: Pulau Ternate, sumber: Google Imagery |
Saya kira, Ternate ramai karena ada pusat-pusat industri, ternyata disana tidak ada industri, sekalipun ada, itupun jarang dan itupun yang skalanya kecil. Tidak ada sawah, dan selama 5 hari disana, saya tidak melihat adanya tambak. Oleh karena itu jangan heran bila harga barang, jasa dan makanan begitu mahal. Pernah saya berbuka puasa dipinggir laut dengan satu ikan kerapu dan satu ikan kakap dimakan bersama tiga orang, sekaligus dengan es kelapa agar nikmat. Harga totalnya 270 ribu rupiah.
Sewa mobil rata-rata disini juga cukup mahal, 550 ribu hanya mobil dan supir, belum dengan bensin. Oleh karena itu jangan harap mendapatkan penginapan yang bagus dengan harga 500 ribu kebawah. Yasudah kita lupakan mahalnya harga disini. Ada hal yang menarik saat bulan puasa disini, jam 2 siang dipinggir-pinggir jalan sudah banyak yang jual takjil atau makanan ringan untuk berbuka puasa, padahal waktu berbuka puasa jam 6.30. Saya sendiri tergoda untuk mencicipi takjil, saya beli 2 risol, 2 gorengan, 1 kolak pisang dan 1 kolak pisang. Paling tidak saya akan mengeluarkan uang sekitar 25 ribu untuk takjil kali ini, namun dugaan saya salah, total takjil itu ternyata 37 ribu. Woooowww…. Mahaaallll….
Baiklah, tidak usah pikirkan mahalnya, lalu ketika saya dan teman memakan takjil tersebut, rasanya sungguh tidak biasa dilidah kami… sediiih…. Kolaknya hanya sekedar dicicipi. Rasanya seperti banyak kunyit atau mungkin pala. Makanan-makanan di sini, bukan tidak enak, hanya saja selera orang disini berbeda dengan kami yang terbiasa dengan masakan di Pulau Jawa.
Bagi yang suka dengan sejarah, ternate bisa dijadikan objek wisata yang cukup menarik, karena disini merupakan kesultanan, dimana dulu pernah diduduki portugis untuk mendapatkan rempah-rempah. Peninggalan itu dapat kita lihat di rumah-rumah keraton dan benteng-benteng tepi laut. Wisata alamnya ada tempat snorkeling, ada danau, dan batu-batu bekas letusan gunung. Dan yang paling terkenal ada landskap menggambarkan Pulau Tidore seperti gambar di uang seribu rupiah.
|
Foto: Pulau Tidore seperti di gambar uang kertas seribu rupiah |
“Walau harga-harga cukup tinggi, untuk mendapatkan uang disini juga mudah…” Pak Tam. Kata supir saya seperti itu, bahkan disini hampir tidak ada pengemis, disni juga jarang terjadi kejahatan, bahkan disini bisa jadi tidak ada pengangguran. Pak Tam sendiri, bila tidak menjadi supir, sehari-hari beliau bekerja menjadi supir ojek, menjadi supir ojek saja sehari minimal mendapatkan 100 ribu rupiah.
Jadi jangan heran, walau biaya hidup tinggi di Ternate, untuk mendapatkan uangpun tidak sulit. Anggap saja apa yang dikatakan Pak Tam itu benar, walau butuh penelitian lebih mendalam untuk membuktikannya. Seperti halnya “ada gula ada semut”, tidak heran ada banyak uang maka ada banyak orang.
Kota Ternate pernah 11 tahun menjadi ibukota provinsi, walau tidak ada industri disana, namun tentu selama 11 tahun itu Ternate telah melakukan pembangunan infrastruktur yang lebih baik dibanding wilayah lain di Maluku Utara. Pelayanan umum, kesehatan, sekolah dan pasar yang merupakan kebutuhan utama masyarakat telah terbangun lengkap di Kota itu. Apalagi, untuk mengelilingi Pulau Ternate hanya butuh satu jam, artinya untuk melakukan tranportasi di dalam kota sangatlah cepat. Dari rumah ke kantor mungkin rata-rata hanya butuh 15 - 30 menit.
Dari segi ekonomi, tahun 2014 pertumbuhan ekonomi Ternate sebesar 6,10 % atau masih diatas pertumbuhan nasional. Sektor tertinggi yaitu pengadaan listrik dan gas, konstruksi, dan jasa keuangan. Sedangkan pertanian, kehutanan dan perikanan merupakan sektor dengan pertumbuhan ekonomi paling kecil. Barang dan bahan makanan kebanyakan berasal dari Surabaya, yang dikirim melalui jalur laut ke Pelabuhan Ahmad Yani di Ternate. Pelabuhan ini merupakan pelabuhan terbesar di Provinsi Maluku Utara. Sehingga untuk mengirim barang ke wilayah lainnya haruslah ke Ternate terlebih dahulu.
Maka terbayanglah bahwa di kabupaten/kota lain di Maluku Utara, harga-harga menjadi lebih tinggi dibanding di Ternate. Oleh karena itu, orang lebih senang tinggal di Ternate dibanding wilayah lainnya di Maluku Utara.
Karena itu pula, Sofifi merupakan Ibukota Provinsi paling sepi yang pernah saya jumpai di Indonesia. Bayangkan saja, kantor pemerintah provinsi terletak di Sofifi, sedangkan pegawainya 98% tinggal di Ternate.
Dari Ternate ke pelabuhan di Sofifi butuh biaya sebesar 50 ribu sekali jalan, dari pelabuhan kita harus mengeluarkan uang 10 ribu rupiah agar sampai ke kantor. Sehingga rata-rata biaya transportasi pegawai pemerintah provinsi sebesar 100 ribu. Untunglah mereka ada tunjangan transportasi, walau sering telat cairnya. Lalu kenapa pegawainya tidak tinggal di Sofifi ya? Ya karena di Sofifi pelayanannya tidak selengkap di Ternate.
|
Gambar: Alur penyebrangan Ternate ke Sofifi |
Ada yang berniat tinggal Ternate?
Sampai di Jakarta, saya bertanya dengan seorang planner senior, mengapa Ibukota Sofifi begitu sepi. Lalu beliau bilang, bahwa para investor tidak berani mengambil resiko untuk membangun infrastruktur yang menarik perhatian di Kota Sofifi. Sehingga masyarakat tidak juga berani membangun industri skala kecil disana, jangankan industri, untuk tempat tinggal saja orang ternate tidak suka pindah ke Sofifi. ya bisa jadi karena fasilitas belum memadai.
Oleh karena itu, untuk membangun sofifi dan meramaikan tentu saja butuh puluhan tahun, saat ini seolah-olah seperti memaksakan Ibukota pindah ke Sofifi, padahal penduduknya tetap memilih tinggal di Ternate. Pekerjaan terkait pemerintahan di sana menjadi tidak efektif, dan tentunya anggaran pemerintah memerlukan biaya besar karena harus memberi tunjangan transportasi ke pegawainya.
Seperti halnya, "ada gula, ada semut"... Salah satu alasan mengapa Kota Ternate paling ramai dibanding wilayah lain di Maluku Utara. Mungkin saat ini wilayah lain belum bisa menjanjikan penghasilan yang tinggi, bahkan ibukota provinsinya pun seperti kota mati...