Demokrasi dalam artian sempit adalah mengikuti pendapat mayoritas. Meskipun nanti mayoritasnya bisa siapapun termasuk wongedan. Kecenderungan mayoritas adalah membentuk golongan, aliran, kotak-kotak sosial termasuk menentukan apa yang laku (pasar) sehingga justru bisa menjadi penjara mereka.Disinilah ijtihad lahir, saat hijab kebenaran mayoritas/pasar menutupi kita. Ada beberapa keuntungan tidak mengikuti perkembangan mainstream mayoritas semisal televisi juga toko buku pop ternama di kotamu salah satunya adalah menjadi orisinil dan uncategorized. Uncategorized ini adalah seperti pujian Gus Dur pada Caknun. Beliau prigel pemikiran, bisa berada di wilayah manapun tanpa kehilangan identitas. "Aku ora pernah moco buku" Tegas Caknun.
Ay Tjoe Christine tampil orisinil dan memukau dengan lukisan abstraknya di Indonesia dan di luar negeri konon karena satu hal sederhana: tidak begitu mengikuti perkembangan seni. Pramoedya sering kita anggap aliran kiri dan komunis tapi setelah dikonfirmasi apa alirannya? Dia menjawab bukan kiri atau kanan tapi kebenaran dan keadilan.Sama seperti Affandi, beliau bingung sendiri ketika ditanya aliran lukisannya dan dituduh beraliran ekspresionis romantis. "Aliran ku kebo, tidak suka ngomong dan berteori".
Perihal mencari kemerdekaan dan orisinalitas, saya mengenal sesosok orang aneh di Jogja, sebut saja dia Jaken (Jangkung Kentir). Dia melakukan usaha menindas diri, mulai dari menggelandang Jojgja-Kudus, jarang mandi, sampai memilih penampilan mesum di media sosialnya untuk menghilangkan eksistensi mainstrean yang ada pada dirinya. Hasilnya pemikirannya sangat jernih dan asli.Kemudian saya teringat nun jauh di jawa timur sana, Di malang, ada ulama sangat alim bernama Al Ustadzul Imam Al Hafidz Al Musnid Prof. Dr. Habib Abdullah bin Abdulqadir Bilfaqih. Pada manaqibnya diceritakan, beliau seumur hidup konon tidak pernah ke pasar apalagi mengenal pasar (Budi Mulyawan)
Rabu, 03 September 2014
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar