Rabu, 21 Maret 2012

Konsep Ruang Oleh Nuzul Achjar, Ph.D

Ibarat sebuah mozaik, konsep space yang menjadi focal point ilmu-ilmu dengan perspektif spasial seperti geografi, planning, spatial economics, dll, coretan akhir pekan nan sangat ringkas ini hanyalah serpihan kecil pecahan mozaik, yang perlu dirangkai dengan potongan  lainnya, misalnya pecahan mozaik dari Alexander Humbolt, David Harvey,  John Friedman, Andreas Faludi, dan banyak lainnya yang tak dapat  disebut satu per satu dll.

Konsep space menurut Kant diinterpretasikan sebagai sesuatu yang bersifat absolut dan Euclidean (eucledian geometry), sesuatu yang  terukur, jarak, ada luas, dan batas yang tegas. Bagi Kant, sebuah space bukanlah objek, tetapi menunjukkan keberadaan sebuah “spatial intuition.”

Euclidean Space inilah yang kemudian menjadi materi “mainan” kaum positivist, dimana sebuah hipotesis tentang space atau relasi spatial  dapat bisa diuji, ada hukum-hukum yang perlu dibuktikan. Model hirarki Central Place Theory nya Christaller, ataupun penggunaan model gravity (analogi dalam ilmu fisika) di dalam ilmu berdimensi spatial mungkin bisa disebut sebagai perspektif yang berakar dari paham Kantian (Kantian Space). Interpretasi terhadap pandangan Kant tentang space berkembang sedemikian rupa sehingga muncullah istilah Neo Kantian.

Kaum fenomenologis melihat melihat space dari perspektif yang lain, berseberangan dengan pandangan positivist. Kaum positivist melihat space, katakankah jarak dari Yogyakarta – Solo adalah 60 km, lebih dekat dibandingkan Yogyakarta – Semarang sekitar 80 km. Bagi kaum fenomenologis jarak sosial keraton Solo dan Yogyakarta adalah jauh adanya. Jarak sosial masyarakat Tapaktuan (Aceh Selatan) dengan mainstream Aceh (Banda Aceh, Lhokseumawe, Pidie) mungkin lebih jauh dibandingkan dengan jarak sosial dengan masyarakat minang di Sumatera Barat, Mungkin kira-kira begitu interpretasinya, yang dalam bahasa filsafat fenomenologi disebut sebagai existential space.

Existential space menempatkan relasi manusia di dalam space sebagai subjek, bukan sebagai objek. Existential space bahkan concern juga dengan emosi, perasaan memiliki space (neighborhood), perasaan sentimental dalam relasi manusia di atas space. Space itu boleh jadi sebuah kota.

Jika kaum positivist melihat space sebagai hubungan geometris semata, perdebatan kaumn positivist dan fenomenologis melahirkan berbagai konsep space, seperti perceptual space dan cognitive space. Dalam filsafat ilmu geografi berkembanglah beberapa konsep seperti “territoriality,” “personal space,” “social space,” “subjective distance,” “cognitive distance,” and “mental maps”.

Dalam tulisannya “Critique of Pure Reason” Kant mengatakan bahwa representasi kita atas ruang dan waktu bersifat a priori, bukan empiris, jadi lebih bersifat intuisi dibandingkan dengan sebuah konsep; ia adalah sesuatu yang terpikirkan (mind dependent) dibandingkan sesuatu yang riil.

Kant membagi kemampuan kognitif manusia menjadi dua bagian yaitu apa yang disebut “receptive sensibility” dan “pemahaman spontan”. Pemahaman tentang sesuatu hal dapat dilakukan melalui konsep atau penilaian (judgements), sementara “sensibility” dapat dilakukan atas dorongan intuisi. Jika konsep atau penilaian dapat dijabarkan dengan deskripsi, tidak demikian halnya dengan intuisi. Intuisi mungkin muncul secara tiba-tiba tanpa harus dikaitkan dengan sesuatu yang khusus. Ruang dan waktu itu adalah intuisi, gambaran yang tidak dapat dilakukan melalui deskripsi.

Filsafat science empiris (empirical philosophy of science) mungkin bisa diasosiasikan dengan paham positivisme di mana abstraksi terhadap space dapat dilakukan tanpa harus mengalami pengalaman langsung (riil) terhadap space tersebut. Bagi kaum empirisis, konsep existential space nya fenomenologis tak lebih hanyalah sebuah metafora. Sebaliknya, kaum  fenomenologis berpendapat bahwa konsep space yang dianut filsafat empirisme adalah abstrak adanya, dogmatis, dan sempit karena mengabaikan pemahaman tentang “arti” (meaning), “nilai” (value) dan  emosi yang ada dalam space.

Pengaruh fenomenologi kemudian melahirkan pendekatan geografi humanistik, sebagai tandingan dari geografi kuantitatif (science of geography). Yang terkahir ini secara historis berkembang karena dipengaruhi oleh kelompok Wina (Vienna Circle) yang umumnya adalah para fisikawan. Masuknya pendekatan “behaviorial” yang antara lain dipengaruhi oleh teori psikologi kognitif dan ilmu sosial lainnya bersama-sama dengan fenomenologi memunculkan istilah “subjective space” sebagai perbandingan diametral dengan “objective space”.

Di samping itu muncul pula pengertian “spatiality” yang dalam ontology  spasial mengacu kepada tempat (place) yang menyangkut keberadaan  kehidupan manusia untuk membedakannya dengan “space” – yang boleh  jadi adalah sebuah relasi geometris dan Euclidean.

Di dalam literatur perencanaan urban dan regional ada istilah pendekatan essentialist dan `Euclidean’ geography (kata lain dari  space) yang kurang lebih mengacu pada konsep perencanaan yang melihat space sebagai ruang absolut, dan relasi geometris di atas space yang cenderung mekanistik. Pendekatan alternatif atau tandingan dari esensialist adalah apa yang disebut sebagai “konsepsi relational” yang melihat space mempunyai elemen “spatiality” (place) di berbagai hubungan.

Dikotomi antara science of geography dan geografi humanistik jika diperhatikan lanjut terletak pada perbedaan interpretasi tentang spatial intuition. Cassirer, seorang filsuf membuat reinterpretasi terhadap pengertian “spatial intuition”nya Kant. Dengan menggunakan pendekatan fisika modern, Cassirer membuat perbedaan antara idea of space dan “perwujudan idea of space”. Interpretasi Cassirer adalah bahwa spatial intuition pada dasarnya adalah semua bentuk pengetahuan manusia yang merupakan sintesis berbagai cara manusia memperoleh  pengetahuan seperti mitos, agama, dan ilmu (science).

Sebagai ilmu yang sejak dilahirkan berpijak pada platform space, pengaruh positivisme telah mendorong ilmu geografi ini bergerak dari pendekatan deskriptif (chorologis – keunikan tempat) menuju abstraksi teoritis. Ciri sebuah ilmu (science) antara lain adanya pembuktian hipotesis, mencari hukum-hukum baru (spatial law), sebagaimana halnya  pada ilmu-ilmu alam dengan pembuktian, antara lain melalui abstraksi matematika.

Pendekatan fenomenologis dalam kenyataannya tokh juga abstraksi dari dunia nyata, yang tidak sepenuhnya memberikan gambaran riil.  Reinterpretasi Cassirer tentang space merupakan rekonsialiasi antara pemahaman existential space and Euclidean space (Kantian Space) yang kemudian melahirkan pendekatan yang disebut sebagai Neo Kantian.

 Refleksi Konsep Space bagi Indonesia

Coretan ini ibarat menebas ilalang dikiri dan kanan semak belukar  agar dapat membuka jalan setapak (yang lain) untuk mencoba mengetahui  untuk selanjutnya memahami lebih jauh konsep space. Seharusnya sejak  lama jurus dasar space sudah tertulis seolah seperti kitab kuning di pesantren spatial di Indonesia, dan menjadi sumber inspirasi dalam pengembangan berbagai varian jurus-jurus innovative dalam dunia persilatan akademik anak bangsa.

Dalam konteks ilmu geografi di Indonesia, konsep space yang  diinterpretasikan “mutlak” harus direpresentasi dalam bentuk peta dan attribut sejenis perlu dibuktikan relevansinya mengingat tidak berkembangnya pemikiran dalam ilmu geografi di Indonesia ditengarai karena terjebak dengan peta sebagai sesuatu yang mutlak, minimal sebuah keharusan. Benarkah tanpa peta geografi tidak pernah ada?

Catatan ini sama sekali tidak berpretensi bahwa jalan setapak ini akan menjadi cikal bakal jalan baru yang lebih lebar, rapi, terarah dan dengan konstruksi yang rinci dan utuh. Jalan lain mungkin sudah ada, namun sebagian mungkin sudah tertutup ilalang, dan jejak pun hilang.

Perbicangan tentang space (dan place) ini ibarat sebuah pos imajiner untuk tempat bersua berbagai disiplin ilmu yang memiliki basis spasial di Indonesia, sekaligus persimpangan jalan (yang masih sangat belum tertata). Di persimpangan imajiner inilah disiplin ilmu berdimensi spasial menapak jalan dengan arah berbeda namun saling melengkapi, untuk mencari tujuan hakiki.

Boleh jadi, dari perspektif planner, dari simpang jalan imajiner ini terpampang tulisan dengan tanda panah: Strategic Spatial Planning,  yang dibutuhkan untuk merespons pertumbuhan ekonomi, penyediaan perumahan, permukiman, pengembangan kota dan desa yang kompetitif, proteksi lingkungan, perubahan iklim, dan penyediaan infrastruktur.  Penyediaan perumahan dan permukiman mungkin memerlukan perspektif  arsitektur ataupun arsitektur lanskap yang bersifat micro space, antara lain, berlandaskan konsep fenomenologi.

Bagi ahli geografi di Indonesia, mungkin ada plang dan tanda panah: “sintesis fenomena fisik dan sosial” untuk merespon pertumbuhan ekonomi, perubahan lanskap fisik (fluvial, iklim, dan bentang alam lainnya), lanskap sosial, ekonomi, politik karena ulah alam dan manusia.

Ahli ekonomi regional bersama-sama geografi ekonomi, mungkin akan melintasi jalan yang penuh dengan variasi lanskap ekonomi yangberbeda, ataupun disparitas spasial karena pengaruh lokal, regional, maupun global. Berangkat dari konsep space dan place ini pula, Isard, sang penggagas regional science, dulu barangkali mendapatkan inspirasi untuk mengeluarkan ucapannya yang sangat terkenal bahwa lanskap  ekonomi bukanlah “wonderland of no dimension.”

Sebagai catatan penutup, sebagai bahan refleksi kita di Indonesia, tidak ada salahnya kita mengutip, antara lain ditulis oleh Pat Healey (2004), The Treatment of Space and Place in the New Strategic Spatial Planning in Europe, dalam International Journal of Urban and Regional Research:

In the geography and planning literature, there has been a longstanding critique of mid-twentieth century planning concepts of spatial organization. Planners and plans have been criticized not merely for trying to `order’ the dynamic and inherently disorderly development of cities and regions. The concepts that have been used,  from notions of central place hierarchies, to distance-decay models of urban regions and movement patterns within cities, and to ideas about  reducing the need to travel by making cities physically `compact’, are seen to reflect a view of geography which assumes that objects and things exist objectively in contiguous space and that the dimensions  of this space can be discovered by analysis, that physical proximity  is a primary social ordering principle and that place qualities exist objectively, to be found by analysis and made by physical development and management projects”. (BM)

0 komentar:

Posting Komentar