Sabtu, 07 Maret 2015

Reportase Ngopi Geografi Perdana (Jum'at, 6 Maret 2015)

"Diskusi Perdana Kami"
“Ruang adalah debar jantung dan iman kita para geograf, apapun pekerjaan kita”. Aftaf sebagai moderator alias momod membuka ucapan terima kasih atas kedatangan teman-teman pada dialog kecil yang membahas mengenai tafsir ruang. Sebagai geograf kita perlu ijtihad, menemukan tafsir ruang masing-masing kemudian diterapkan pada sendi-sendi kehidupan kita, bukan mengekor kepada orang lain apalagi paham impor dari luar. Geografi kita jalan tengah pancasila, tidak terlalu radikal apalagi liberal “umatan wasathon” kalau di Bahasa arabnya. Dialog ini muncul karena rindu kami terhadap fitrah geografi.

Pertemuan dibuka dengan lagu Adele, someone like you dinyanyikan oleh Budi agar semua yang hadir bisa tegar menjalani kehidupan. “Sudah putusin aja” kata Felix Siau. Kami tidak bisa menerima ini. “Cinta harus bertahan dan diperjuangkan sama seperti geografi. Ketika kita lulus, kita semua belum menjadi geograf sejati sampai ilmu ini manunggal kedalam jiwa” katanya sambil salto.

Budi membacakan pengantar, ruang sendiri sudah diterapkan pada banyak kata strategis di Pemerintahan seperta pendekatan-analisa ruang, tata ruang, informasi ruang. Penerapan ini tidak akan berhasil kalau tidak paham kata ruang, tidak paham bagaimana menghayati ruang. Penghayatan ruang adalah bagaimana bersatunya pikiran-hati manusia dan ruang dalam abstrak sehingga menghasilkan inklinasi, keputusan dalam daerah/wilayah. Penataan ruang adalah bagaimana menata logika dan perasaan ruang. Ini penting untuk Geograf karena ketika kita gagal menghayatinya maka akan berdampak gagal pula pandangan kita mengenai wilayah dan daerah. Selama ini pula yang dibahas geogafi dari akademisi hingga praktisi adalah wilayah daerah ini beserta toolsnya, tapi meninggalkan penghayatan akan ruang ini. Rumusan sederhananya jika ada pemahaman ruang yang keliru di dunia abstrak, dalam hati dan di dalam akal sehat. Maka akan rusak pula perilaku kita di dunia nyata: perilaku pengambilan keputusan ruang akan wilayah,daerah, dan tempat.

"Singing Adele, Someone Like You"
Tuhan menurunkan dua ilmu berkah ke dunia ini tentang dua hal yang tak bisa lepas dari manusia: waktu dan ruang, yang pada penurunan ilmunya menjadi sejarah dan geografi, dua ilmu yang ditenggelamkan oleh kita sendiri karena mainstream pasar. Lihat karena ruang munculah kebesaran arsitektur, sebuah ilmu purba estetika ruang dari jaman leluhur. KH. Said Agil Siradj pernah bilang bahwasanya “sebuah ideologi apapun tak bisa berdiri tanpa ruang”. oleh karena itu dahulu NU harus membela NKRI. Seperti apa yang Buya Hamka bilang “Nasionalisme itu untuk membangun Negeri” sebagai landasan Muhammadiyah tentang NKRI. karena disinilah tempat mereka. Bahkan para teolog Islam karena paham apa itu ruang, mereka menemukan siapa itu Tuhan.

Pada literatur geografi kami harus benar-benar berhati-hati membedakan apa itu "wilayah" apa itu "daerah". Dulu wilayah, berasal dari bahasa arab: dekat (walayatun). Merupakan ruang gaib tuhan untuk kewalian sedangkan nubuwat untuk kenabian. Definisi ini dipersempit oleh geografi (agar jelas tampak/teknisnya) yaitu ruang pada permukaan bumi yang dibatasi garis khayal: "kesepakatan-kesepakatan manusia".

Ruang sendiri pada ilmu filsafat adalah "sesuatu yang aneh" bukan waktu, bukan pula benda terstruktur. Ada tapi tak bisa diraba. Ruang diibaratkan "kolong" dia ada, tapi sulit dijelaskan keberadaannya. Kita lebih jelas melihat meja daripada kolongnya. Dijelaskan oleh Made Sandy kemudian terjadilah yang menurut Emanual Kant, kita terpecah menjadi kepentingan-kepentingan ilmu itu sendiri. Pada geograf, tetap saja ruang tak ada batasan. Kemudian dibatasi dengan "garis kesepakatan" tadi menjadi wilayah. Wilayah sendiri belum terlalu spesifik dan jelas. Maka kemudian dimunculkanlah istilah daerah. Yaitu: wilayah+karakteristik. Itu mengapa: daerah aliran sungai, bukan wilayah aliran sungai, daerah banjir, daerah khusus ibukota. bukan wilayah. Daerah harus "spesifik". Daerah adalah anak dari ibu bernama wilayah, cucu dari ruang, analogi mudahnya begitu.

Wilayah ada dua: formal/uniform dan nodal/node/fungsional. Ibarat ibu-ibu muda: formal adalah fisiknya, fungsional adalah batinnya. Wilayah formal jelas batasannya, spesifik dan umum, berlandaskan pada kesamaan. Ex:iklim, vegetasi, dsb. Ibarat ibu, terjadi perbedaan fisik/formal. Misal: ada ibu kurus, ibu gemuk, ibu cantik, ibu gempal. Dari perbedaan ini akan lahir bayi beda. Daerah lahir dari sini: dari wilayah formal, dari ibu2 yang sudah dikelompokan/diklasifikasi itu sehingga daerah harus unik/spesifik. Wilayah fungsional/nodal atau node itu merupakan wilayah imajiner, pada ibu2 adalah batinnya. Batas ruangnya bisa berubah. Syarat wilayah fungsional/nodal: ada pusat, ada arus, ada jaringan, wilayah dapat meluas. Tentu saja ini bukan fisik (daerah ekivalen fisik). Untuk melihat wilayah, daerah harus peta. Untuk melihat ruang tidak harus karena ruang abstrak. Ada istilah ruang hati: abstrak, disinilah apa yang menurut buku Spatial Behavior diambil “keputusan ruang”, dimana harus didasari dengan niat yang bersih dalam pengambilan keputusannya.

Mas Taqi memberikan tulisan penjelasan dari facebook supaya menyederhanakan ini: “keberadaan perbedaan ruang satu dengan ruang lainnya di permukaan bumi ini, disitulah geografi bisa bekerja, baik ruang yang dimaksud dengan space, maupun ruang sebagai place (kognisi manusia) atau keduanya. Manusialah yang memunculkan place, dan proses space menjadi place tanggung jawab manusia (khalifah). "Place "Culture" is how people do things around here" (Stephen Hill). Sebagai penerapan dari contoh ini, Di pulau Nias ada kepercayaan : “siapa yang melihat matahari lebih dahulu dialah yang paling berkah” Karena kepercayaan ini, maka banyak penduduk yang tinggal di wilayah yang lebih tinggi (space) dan menjadikan tempat yang tinggi di Nias menjadi lebih special (place). Inilah bagaimana cara sederhana memahami ruang.

"Momod Aftaf"
Momod Aftaf memberikan kesempatan pertama untuk sharing kepada Kelpin. Dia membuka cerita bahwasanya penyakit keilmuan sekarang yang hinggap di Universitas adalah terlalu bangga dengan keilmuannya. Ilmu di Universitas itu tanaman atau tumbuhan, tidak ada hutan kalau mereka saling membanggakan diri. Mengutip kata-kata dari Rendra: “Apalah arti kesenian bila terpisah dari derita lingkungan, apalah arti berpikir bila terpisah dari masalah kehidupan”. Lalu apakah arti ilmu kita bila kita berpisah dari fenomena geografi dan tragedi kemasyarakatan?

“Lulus geografi saya menempuh jalan jurnalistik meninggalkan karir di project sebagai konsultan. Saat ini saya sadar bahwasanya geo kurang dikenal masyarakat luas. Ini bukan murtad keilmuan tapi bertahan dari kebutuhan” Katanya sambil ngakak. Dia melanjutkan: “Ilmu tidak boleh tenggelam, ikatan alumni kita sendiri harus kuat. Alumni yang sudah sukses diharapkan dapat mengibarkan keilmuan kita diluar supaya kita tidak seperti anak ayam yang kehilangan induknya, bahkan kehilangan kandangnya”. Semua harus berjuang dan struggle di Geo. Kepahitan-kepahitan ini harus kita rasakan dalam puasa ini. “Duka, luka dan bisa harus kita bawa berlari bila ingin Geografi hidup seribu tahun lagi” meminjam istilah Chairil Anwar. Lalu kami sepakat meminta kepada Kelpin supaya suatu hari bisa lahir dari tangannya “Geography of Journalism” dimana berita-berita yang disampaikan jurnalis bisa jujur, sesuai kebenaran Ruang.

Pak momod Aftaf merespon: “Istilah holistic harus direvolusi, sudut pandangnya harus dibenahi. Holistik bukan mempelajari semuanya tapi akhirnya lupa semuanya. Holistik adalah bagaimana kita menjadi segiempat keilmuan atau bahkan lingkaran, yang memandang semua hal secara utuh karena kita harus dituntut menyelesaikan banyak masalah keruangan”. Kami pun sadar bahwasanya banyak bergaul dan membaca, memperbanyak literasi itu sangat penting. Aftaf melanjutkan: “Sejarah muncul karena bukti prasejarah. Geografi harus meninggalkan pemikiran ruang. Pemahaman ruang adalah iman geografi untuk mengarungi kehidupan terjal ini”

Kami semua sepakat dan menyayangkan banyak konsultan kita yang bekerja hanya sebatas mengoperasikan GIS. Juga dunia perbankan saat ini yang secara tidak langsung mengambil banyak tenaga ahli tidak hanya geografi, pertanian, kelautan bahkan ilmu strategis yang dibutuhkan kemajuan Indonesia ke perekrutan mereka. Semua jurusan diambil bahkan sastra. Akhirnya peradaban yang hidup di tengah kita adalah peradaban kredit perbankan. Bukan peradaban penemu dan riset ilmiah.

"Don Dipa Damatra"
Dipa kemudian sharing bagaimana dia terjun dalam dunia Migas. “Geografi sangat luas, saya harus memilih antara menjadi generalis atau spesialis seperti kata Bernhard Varenius. Supaya saya belajar banyak juga tapi tak hanya kulit. Setelah lulus saya mengamati dalam kehadiran migas, orang-orang kita absen. Banyak rekruitmen geografi tapi harus disandarkan pada ilmu lain atau sertifikasi. Saya kenal orang Geo di Conoco tapi dengan sertifikasi Amdal, harus ada sertifikasi. Saya harap geografi ke depan harus maju. Tidak saling ribut apalagi memperdebatkan benar salah karena itu bisa dicari, apalagi mencari siapa yang salah. Dipa menjelaskan secara umum banyak dari keilmuan dan pendidikan kita diaborsi sebelum menjadi tinggi. Ini istilah metalnya Dying Fetus” Katanya sambil mengacungkan tangan tanda dia adalah anak Metal. Dia kemudian membuka bajunya dan ternyata tidak bertato, straight X.

Budi menjelaskan ketika di pemerintahanpun kita harus hidup dengan argumen yang kuat mengenai keilmuan. “Setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni tauhid, dan sepintar-pintar siasat” kalau kata HOS Tjokroaminoto, salah seorang guru Soekarno. Momod Aftaf kemudian mempersilakan Daydeh, seorang geografi yang menggalau untuk menjelaskan perihal Ijtihad ruang dan berbagai pengalalan-pengalamannya.

Daydeh menjelaskan bahwasanya ijtihad ruang itu penting. Tidak bergantung kepada siapapun, semua dari kita harus menemukannya. Daydeh menjelaskan banyak akar yang seharusnya kita paham mengapa informasi spasial sekarang bisa seperti ini. Bapak kita di BIG (Badan Informasi Geospasial) melakukan satu keputusan mendasar dari kebijakan yang berimbas sistemik kepada dunia pemetaan. “Mereka mengimpor software dan itu paling terasa buat kita. Kalau kita impor beras saja petani kita mati. Kalau kita impor software, maka anak-anak muda kita yang akan mati kreativitasnya. Sekarang anak muda kita benar-benar mati karena ini”

Daydeh menjelaskan solusinya, bukannya dia tidak setuju software pemetaan impor tapi kita harus menggunakan kecerdasan pemikiran lelhuhur kita yaitu bagaimana kita berpikir parallel “Impor tapi sambil riset sendiri, kalau sungguh-sungguh pasti 4-5 tahun kita bisa menciptakan ini. Gue suka bukapetanya Danu yang asaznya menghemat pengeluaran Negara”. Kemudian dia menjelaskan perihal pelatihan di sebuah kementerian yang membeli software sebesar 1 milyar. Daydeh bilang “Bayangkan! Penyalahgunaan 1 M dengan keputusan pembelian software impor akan membunuh 16 orang anak muda/mahasiswa kita dengan asumsi gaji mereka sekitar 5Jt perbulan. Berapa jika 5M? itu akan bisa membunuh mahasiswa satu angkatan: 80 orang. Berapa jika trilyunan??? Kita tidak akan maju kalau seperti ini terus” Katanya sambil ngamuk seperti jaran kepang.

Daydeh menyarankan kita harus banyak menggunakan open source. Kalau pun impor dan banyak dari instansi yang bisa memakainya itu buat apa? Atau misal membangun webgis tapi hanya templatenya tidak ngoprek dari awal. “Gue sedang membayangkan bagaimana kalau kita tidak diinject software luar seperti ini. Tapi ini semua hasil kebijakan saudara-saudara, harus kita terima dengan pahit. Substansinya sudah bukan ilmu apalagi solusi tapi uang dan perdagangan. Juga ini adalah imbas dari kita yang terlalu nurut sama asing. Juga saya menyayangkan para teknisi memahami ruang hanya koordinat 3 dimensi. Padahal ruang punya dimensi n, ada dimensi lainnya bernama rasa, apa yang sedang kita hayati malam hari ini. Nyaman menjadi karakter berhasilnya ruang. Daydeh menjelaskan itu kunci utama keberhasilan penerapan ruang. Kalau tidak ada kenyamanan di masyarakat maka rasa, nilai/value dari ruang itu hilang. “Wanita tanpa value hanya kecantikan yang dingin” Kata Daydeh sambil memeluk gitar akustiknya.

“WEBGIS yang sedang popular sekarang hanya akan bernilai ketika kita paham value ruang. Selama ini perencanaan ruang kita hanya berdasarkan statistik, bagaimana membuat ekonomi lebih maju, memperluas lapangan kerja tapi mengabaikan aspek ruang. Kalau kita paham bagaimana spasial kita akan mengerti mengapa ini semua terjadi. Geografi pada maqom tertinggi akan bisa melakukan prediksi ruang beberapa puluh tahun kemudian” Kata Daydeh. Aftaf kemudian membuka pernyataan perihal sebenarnya Geografi semakin dibutuhkan hari ini, tapi kita harus tahu dimana pintu masuknya.

"Project di Bappenas"
Daydeh kemudian menjelaskan garapannya di Bappenas perihal skenario ruang, termasuk pembangunan pelabuhan di sebuah provinsi. Disini kita bisa tahu efek terhadap ruangnya akan bagaimana. Kita bisa membuat dampak-dampak dari trend, melihat tanah, pemukiman vertikal, atau bahkan prediksi yang terjadi terhadap ruang ketika ada penghancuran sawah. Kita tahu dengan ekonomi suatu daerah akan maju tapi ruangnya akan stag, mandeg seperti Jakarta dalam waktu dekat. GIS sendiri menurut Daydeh adalah matematika dimana punya nilai paling besar 0-9. “Kita harus kreatif mengambil variabel dalam konsep awal ruang, perencanaan wilayah. Kebenaran ruang itu kebenaran mutlak sehingga kalau kita paham kita akan hati-hati dengan konsekuensi ruang” Katanya

Budi berkata: “Geografi sebenarnya adalah ilmu presiden dan ilmunya menteri dalam mengambil pengambilan keputusan. Mana ada kebijakan yang tidak punya ruang?” Kita ingat bahwasanya Sujiwo Tejo pernah menyindir gelar Dr kepada presiden tempo dulu adalah gelar sektoral, dengan ilmu semakin sempit. “Presiden itu holistik, bukan sektoral” Kata Mbah Tejo. Ingatlah ajaran kita, geografi itu holistik.

Aftaf selaku momod khawatir oorang-orang diatas sudah tidak mendengar fatwa-fatwa geografi. Ketika geografi tidak dihargai pemerintah, akan terjadi kebenaran ini: “Bila ruang tidak dipasrahkan ahlinya maka tunggulah kerusakannya”. Daydeh mencoba menengahi bahwa geografi sendiri akan menang pada suatu hari dengan personality bukan dengan mengedepankan prestasi atau pencapaian. Kita akan jaya kalau liar, termasuk tidak nurut kepada asing. Karena itu musik penting untuk keliaran kita juga mengembangkan otak kanan kita.

Kami kemudian menyanyikan lagu Slank yang berjudul tong kosong nyaring bunyinya, karena otak hampir njebluk. Setelah adem kami membahas bahwasanya kita jangan menjadi alat produksi bagi ilmu dan filsafat barat. Kita harus banyak belajar dari kegagalan-kegagalan nasional. Seperti pesan Filsuf Indonesia Tan Malaka: “Hanya cara berpikir & bekerja yang rasional kita bisa membawa manusia dari ketakhayulan, kelaparan, wabah pnyakit & perbudakan menuju pada kebenaran yang bukan logika mistik”.

“Banyak bapak-bapak kita di pemerintahan yang masih awam IT, kita harus membantu mereka. Juga disana peta dan software dianggap mewah karena impor. Kita dijajah bro! kita harus mengembangkan sendiri peralatan-peralatan kita. Supaya kita juga bekerja sedikit tapi bermanfaat.” Daydeh berapi-api ring of fire.

“Tahu nggak Tafsir dari Qur’an surat Al Isra? Hidup itu jangan jelas karena otak kita, bahkan data geografi hanya bisa memproses masa lalu dan masa kini. Masa depan itu misteri, termasuk masa depan kita geografi. Kita harus selalu meluruskan niat baik ketika berjalan” Kata Daydeh

“Kesendirian itu membahayakan. Saya buktinya. Kita perlu ingat bahwasanya gila proyek pun membuat kita tidak rasional, saya gila proyek juga loh. Tapi sedang berimajinasi bagaimana membuat konsultan geografi yang tanpa syarat, tanpa sogokan. Transaksi-transaksi siluman bisa menghancurkan kita. Kitalah yang harus mengubah system ini. Saya tidak ingin menggunakan pendekatan perusahaan karena perusahaan itu sudah wataknya membesarkan perusahaan, bukan membesarkan manusia. Sehingga manusia hanya digunakan sebagai onderdil”

Kami yang tepar terus mendengarkan Daydeh ngoceh. “Ngomong opo sakjane sampeyan???” Kata Budi. Daydeh melanjutkan imajinasinya “Kerja itu tidak harus sesuai jurusan, yang penting azaz manfaatnya. Juga kerja apapun kita harus seneng seperti pacaran. Manusia ada 3: fisik, jiwa, pikiran. Di geografi, kita kenali ruang apapun pekerjaan kita. Temukan kegelisahan ruang dan jawablah. Seni penting disini sebagai kekuatan berpikir, menjawab kegelisahan itu”

Kami semakin mumet. Jam menunjukan pukul 00.00 tengah malam. Untuk menyingkat semua ini penulis teringat Gendro pernah bercerita, ketika terlalu abstrak ruang, maka ingatlah Prof. I Made Sandy pernah dengan sederhana menafsirkan ruang adalah tanah. Perjuangan kita Geograf adalah perjuangan tanah. Lalu pesan Pramoedya: “Orang yang tak pernah mencangkul tanah, justru paling rakus menjarah tanah dan merampas hak orang lain”

Waktu berlalu dalam kenyerian jomblo. Kami terpaksa harus berpisah dan saling mendoakan berjumpa dalam bahagia yang lain. Selamat menunaikan ibadah ruang.

(Ditulia oleh Budi Mulyawan, Taman Suropati, Sabtu 6 Maret 2015)